Tuesday 8 March 2011

Kata Pengantar dari Penulis

Kata Pengantar Dari Penulis

Saya dilahirkan di Guyana, Amerika Selatan pada tahun 1947 dan tinggal disana sampai saya berusia 12 tahun. Guyana pada tahun 1950-an, juga pada masa kini, sangat diwarnai oleh percampuran antara etnisitas, budaya dan agama. Ada orang-orang Muslim, Hindu dan Kristen, dan orang-orang keturunan Afrika, Asia dan Eropa sebagaimana juga para penduduk asli Amerika-Indian.

Namun kami semua hidup bersama dalam damai dan harmoni. Kami saling berbagi makanan dan turut merayakan hari raya orang yang mempunyai keyakinan lain. Tidak ada keyakinan yang berusaha untuk mempunyai dominasi religius atau politik. Tidak ada agama yang merasa terancam atau terintimidasi oleh agama lain. Tidak ada agama yang lebih diuntungkan secara legal dari agama-agama lainnya; demikian pula tidak ada agama yang kurang dihargai daripada agama-agama lainnya. Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Muslim dan mulai diajari Qur’an pada usai empat setengah tahun. Imam yang menjadi guru kami tidak mengajari kami untuk membenci atau menghina keyakinan-keyakinan lain, dan tidak mengatakan bahwa adalah kewajiban kami untuk menyerang agama lain; ia hanya mengajari kami bagaimana membaca dan melantunkan Qur’an.

Sekarang saya adalah seorang Kristen dan tinggal di tengah masyarakat plural lainnya yang diwarnai dengan keragaman budaya, etnis dan religi, yaitu Inggris Raya. Saya terkenang pada tahun 1960-an bagaimana kami para imigran sungguh-sungguh berusaha untuk berbaur dengan budaya mayoritas dan dengan sesegera mungkin menjadi orang Inggris sejati dengan segenap kemampuan kami. Saya sedih dan sekaligus was-was melihat bagaimana kesetaraan, damai dan harmoni dalam masyarakat Inggris pudar dengan cepat, dan sebab utama hal ini terjadi nampaknya adalah tingkah-laku sekelompok minoritas dalam agama Islam. Ada semacam ketakutan terhadap Islam radikal sehingga hanya sedikit orang yang berani berbicara mengenai apa yang sedang terjadi.

Mestinya tidak harus seperti ini. Saya tahu akan hal ini berdasarkan pengalaman pribadi saya. Ratusan ribu orang Guyana lainnya seusia saya memiliki kenangan yang sama. Harmoni antar agama juga eksis di tempat-tempat lain pada masa yang berbeda. Bukan hal yang mustahil bila berbagai keyakinan berbeda hidup berdampingan dalam damai, dan yang satu tidak menundukkan yang lainnya.

Penulis Muslim liberal berkebangsaan Iran, Amir Taheri, mengemukakan betapa politisasi Islam di Barat telah menjadi-jadi, hingga ke titik dimana Tuhan hampir-hampir tidak disebutkan lagi dalam khotbah-khotbah. Ia mengatakan bahwa sekitar 2000 mesjid di Inggris pada dasarnya adalah “sebuah selubung untuk pergerakan politik”, yaitu Islam Inggris telah menjadi “suatu pergerakan politik berkedok agama”. Taheri memberikan 3 alasan terjadinya hal ini. Pertama-tama, orang Muslim di Barat berasal dari beragam latar belakang. Namun disini mereka tidak mampu meneruskan pertikaian-pertikaian sektarian mereka yang telah ada sejak lama. Oleh karena itu mereka mengesampingkan isu-isu teologis dan bersatu dalam isu-isu lain seperti kebencian terhadap pernikahan sejenis atau terhadap Israel. Kedua, kebebasan Barat telah mengijinkan pergerakan-pergerakan politik Islam berkembang, pergerakan-pergerakan yang dikekang atau dilarang di banyak bagian dunia Muslim. Ketiga, ada semacam kemajuan dalam hubungan baik antara Islam Inggris dengan ekstrim Kiri, yang bekerja bersama dalam isu-isu seperti anti perang, anti Amerika dan anti Israel.[1]

Kita harus menjaga kemerdekaan kita, dan tidak menerimanya dengan percuma atau menganggap remeh. Walaupun kita mengetahui bahwa pintu-pintu gerbang neraka pada akhirnya tidak akan berhasil mengalahkan Gereja yang dibangun oleh Tuhan, ada beberapa bagian dari Gereja-Nya yang benar-benar telah terhilang atau dikalahkan di hadapan tantangan Islam. Sebagai contoh, Afrika Utara yang dahulu merupakan pusat kekristenan yang besar. Orang-orang Kristen di Victoria State – Australia dalam kepahitan menyesali sikap mereka yang tidak menentang diloloskannya Undang-undang Toleransi Religius dan Rasial pada tahun 2001 yang kini mengekang khotbah dan pengajaran mereka. “Ketika itu kami tidak terlalu memikirkannya”, kata beberapa orang diantara mereka kepada saya pada Januari 2006.

Tantangan besar lainnya yang diberikan Islam kepada Gereja adalah penanganan para petobat. Menjadi seorang Kristen adalah pengalaman yang sulit untuk saya, dengan banyak persidangan dan pengasingan yang harus saya jalani. Menjadi seorang Kristen yang berasal dari latar belakang bukan dunia Barat juga sangat sulit, mengingat saya telah menjalani hidup pada masa akhir kolonialisme dan juga telah menghadapi sikap membedakan ras yang ditunjukkan oleh komunitas Kristen kulit putih.

Saya berharap dan berdoa agar buku ini dapat menolong orang-orang Kristen di Barat dalam memikirkan isu-isu yang ada di sekitar Islam, sehingga mereka dimampukan untuk meresponi tantangan dari Islam sebelum semuanya menjadi sudah sangat terlambat.

Patrick Sookhdeo

McLean VA

29 April 2008



[1] Amir Taheri, “We don’t do God, we do Palestine and Iraq,” The Sunday Times, February 12, 2006

No comments:

Post a Comment