Tuesday 8 March 2011

Bab 6 - Kesimpulan

Bab 6

Kesimpulan

Buku ini berusaha mendemonstrasikan Islam sebagai sebuah entitas yang mencakup bidang-bidang yang luas, termasuk di dalamnya, bukan hanya hidup batiniah tetapi juga, dan khususnya hidup bagian luar, yaitu peran seorang individu dalam keluarga, komunitas dan masyarakat. Tak ada hukum, atau politik atau urusan militer yang ada di luar Islam. Buku ini juga berusaha menunjukkan natur Islam yang kaku, dengan spesifikasi yang tinggi dan tak bisa dirubah, yang memberi hanya sedikit bahkan hampir tidak ada kebebasan untuk mengekspresikan hati nurani atau personalitas individu, supaya dirubah atau diadaptasi oleh Islam itu sendiri. Inilah yang coba diterapkan oleh gerakan pembaharuan Islam kontemporer – jika memungkinkan, yaitu penerapan kembali norma-norma masyarakat Islam mula-mula, bahkan dengan paksaan, sehingga tidak mengejutkan bahwa inilah sesungguhnya esensi dasar Islam, yaitu untuk mengontrol struktur-struktur dunia.

Krisis yang muncul pada permulaan tahun 2006 karena publikasi kartun-kartun Muhammad, sang Nabi Islam, mengilustrasikan dengan baik bagaimana cara Islam beroperasi. Islam memiliki kapasitas untuk berpikir secara strategis, bertindak terstruktur dan bekerja demi menundukkan orang-orang non-Muslim. Hal ini terutama dilakukan melalui ketakutan (teror). Barat saat ini ada di persimpangan jalan dalam hubungannya dengan Islam. Ancaman-ancaman dan intimidasi menyebabkan pemerintah-pemerintah menjadi takut, media pun menjadi tunduk dan Gereja menjadi tawar hati. Perasaan takut yang mulai membentuk pemerintah dan media, sedihnya, saat ini sudah masuk ke dalam Gereja, dimana semakin banyak saja orang Kristen yang tidak mau atau tidak lagi berani mengkritik Islam. Dalam apa yang disebut sebagai toleransi, mereka lebih percaya pada dialog dan hubungan-hubungan antar-iman, dan setuju tanpa protes kepada tuntutan-tuntutan Muslim berdasarkan terminologi Muslim atau mereka menarik diri ke dalam sebuah mentalitas ghetto yang lahir dari perasaan takut. Sebagai orang-orang Kristen, kita diajar bahwa kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan, sebab di dalam kasih tidak ada ketakutan (1 Yohanes 4:18). Orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan Juru Selamat mereka Tuhan Yesus Kristus, tidak akan menjadi takut dengan apa yang mungkin akan dilakukan oleh orang-orang atau ideologi atau agama yang palsu. Waktunya sudah tiba bagi gereja untuk berdiri tegak dan memiliki keteguhan hati menghadapi kegelapan yang sedang mendekat. Gereja membutuhkan iman yang besar dan keberanian untuk menjadi kuat pada hari-hari ini. Ia bisa melakukannya dengan keyakinan dan kepastian bahwa Tuhan sendiri yang membangun gerejaNya dan bahkan pintu gerbang maut tidak akan tahan menghadapi Gereja itu. Bagi sebuah Gereja, ia harus mempunyai sebuah kepastian bahwa Yesus itu sendiri adalah Sang Kebenaran, dan karena itu Gereja harus bersedia mati demi Kebenaran itu, yaitu Yesus Kristus. Jika kita tidak memiliki keberanian untuk menyuarakan kebenaran dalam kasih dan menyaksikan iman kita, maka kita akan menjadi seperti Gereja yang hidup di awal-awal kelahiran Islam, yang dikalahkan bahkan dihapuskan sama sekali.

Pada masa kita hidup hari-hari ini, kita harus mengucap syukur kepada Tuhan, untuk semakin banyak orang-orang Muslim yang datang pada Kristus – lebih daripada yang pernah terjadi dalam sejarah. Tetapi kita pun harus waspada akan keberhasilan inisiatif-inisiatif dakwah Islam, apakah melalui lembaga-lembaga formal maupun informal, yang sedang berusaha memurtadkan orang-orang Barat/Kristen kepada Islam, terkadang bahkan orang-orang Kristen yang berkomitmen. Salah satu metode yang paling efektif adalah melalui pernikahan, dimana pria-pria Muslim menikahi wanita-wanita Barat/Kristen. Jika orang-orang Kristen semakin tidak pasti dengan iman mereka. Apabila konsep yang mengatakan bahwa iman Islam dan Kristen merupakan iman ‘Abrahamik’ semakin ditekankan, banyak wanita-wanita Kristen yang tampaknya tidak melihat adanya keberatan teologis untuk menikahi seorang Muslim, dan sangat sering bahkan mereka sendiri memeluk iman si pria.[1] Kita juga harus mengenali perkembangan inisiatif dakwah pada sebuah level masyarakat maupun struktural. Sementara orang-orang Muslim di Barat mengembangkan sebuah kesadaran dan pandangan Islamik, mendirikan institusi-institusi mereka sendiri, dan bekerja demi pengakuan politis dari komunitas iman mereka, maka kesemuanya ini adalah tahapan-tahapan dari usaha mereka mengislamkan masyarakat secara menyeluruh – setidaknya dalam pemikiran sejumlah orang-orang Muslim. Bahkan ada dari mereka yang bahkan telah siap menggunakan kekerasan jika diperlukan, demi meraih tahap akhir yaitu terciptanya sebuah negara Islam.

Orang-orang Muslim yang paling saleh dan tulus termasuk mereka yang paling aktif dalam meraih kekuasaan politik. Memperdulikan kesejahteraan Muslim tak boleh membuat kita mengabaikan pentingnya memperhatikan negara dimana kita hidup. Etika Yudeo-Kristen merupakan dasar dari masyarakat kita, dan oleh sebab itu tak boleh diabaikan atau semakin dikurangi, melainkan harus semakin dipertegas. Kebangunan politik Islam dalam beberapa dekade terakhir seharusnya mendorong kita untuk melakukan sebuah evaluasi ulang berkaitan dengan krisis dewasa ini dalam hubungan Kristen-Islam. Tidaklah bijaksana jika kita terus-menerus kembali pada memori ‘periode baik pada masa lampau’ yang muncul di bawah kolonialisme dan sebelum kebangkitan Islam radikal, yang jika diamati lebih dekat, kemungkinan tidak lagi terlalu harmonis.

Meskipun mirip di permukaannya, Islam dan Kristen sangatlah jauh dari anggapan sebagaian orang bahwa keduanya merupakan agama sepupu. Tidak hanya bahwa Islam itu menyangkali sejumlah keyakinan dan kredo teologis yang utama dari Kekristenan, tetapi bahwa juga keseluruhan dasar iman dari kedua agama ini berbeda. Kekristenan menekankan pada dasar pemikiran bahwa Tuhan adalah kasih. “Hanya dari perspektif kasih Tuhan yang sempurna, yang dinyatakan di dalam diri Yesus Kristus, manusia pada akhirnya dapat mengakui bahwa kasih itu merupakan makna dari realitas (Yohanes 3:16; Roma 5:6-11).”[2] Kewajiban dan pekerjaan baik tidak bisa menyelamatkan kita. Dalam Islam, melaksanakan kewajiban dan melakukan pekerjaan baik adalah jalan menuju surga, meskipun orang-orang Muslim tidak pernah bisa meyakini nasibnya dalam kekekalan, apakah mereka akan masuk surga atau neraka.

Jika ‘kasih merupakan makna dari realitas’ bagi orang-orang Kristen, maka kekuasaan adalah makna dari realitas untuk orang-orang Muslim. Kekuasaan dan prestise yang menyertainya harus diperoleh dengan harga apapun. Tak ada tempat dalam Islam untuk Tuhan yang menderita, dan kelemahan manusia pun ditolak. Tetapi kemuliaan Kekristenan terletak pada kelemahan dan penderitaan manusia, yang lahir dari pemahaman akan Tuhan yang menderita di dalam diri Yesus Kristus. Bagi orang Muslim, ini adalah sebuah pemikiran yang menjijikkan.

Dalam Injil kita bertemu dengan Tuhan yang melalui Kristus telah memperdamaikan dunia dengan diriNya sendiri. Kristus yang menderita tidak lain adalah Sang Penebus dunia. Membagikannya artinya kita menyaksikan penebusan dan kematianNya yang Ia buat demi orang lain, bahkan bagi teman-teman dan tetangga Muslim kita. Kita dipanggil untuk menemukan kembali apa yang dimaksudkan Paulus tentang memahami seluruh hikmat Tuhan dengan air mata dan sikap gemetar. Kasih Kristus harus memperbaharui dan menggerakkan Gereja agar bisa melihatNya dengan lebih jelas, semakin mengasihiNya, mengikutiNya lebih dekat, dan mengakuinya dengan lebih berani lagi di zaman dimana kita hidup saat ini. Inilah jalan untuk memulihkan sebuah keyakinan yang baru dalam Injil.

Spiritualitas Kristen diperoleh melalui Tuhan yang menderita, yang mengutus AnakNya yang tunggal ke bumi, mengambil rupa seorang hamba dan mengorbankan diriNya bagi seluruh umat manusia. Kerapuhan dan ketidakberdayaan yang menjadi karakteristik dari iman Kristen harus mendefinisikan hubungan antara orang-orang Kristen dengan Muslim. Tak boleh ada sikap benci, fanatik atau takut. Bagaimana orang Kristen meneladani TuhanNya yang lemah lembut dan rendah hati itu, menjadi usaha untuk menyelamatkan orang-orang Muslim; meminjam kata-kata Raymond Lull, ”Melalui kasih, melalui air mata dan dengan memberi diri.” Sebagai kesimpulan, setelah kita mengeksplorasi hubungan antara orang-orang Muslim dan Kristen, adalah penting bagi kita untuk mengusahakan keakuratan akademis, supaya hati kita dipenuhi dengan belas kasihan terhadap orang-orang Muslim sebagai sesama umat manusia, sementara kita pun tetap beriman teguh pada Kristus dan pewahyuanNya.



[1] For more information, see Rosemary Sookhdeo, Why Christian Women Convert to Islam (McLean VA: Isaac Publishing, 2007)

[2] John M. McDermott The Bible on Human Suffering (Slough: St Paul Publications, 1990) p.141

No comments:

Post a Comment