Tuesday 8 March 2011

APPENDIKS

APPENDIKS

Tanggapan Barnabas Fund Terhadap Pernyataan Yale Center for Faith and Culture (“Loving God and Neighbor Together”...)

24 Januari 2008

Sejarah

Ceramah Paus di Regensburg. Pada 12 September 2006, Paus Benediktus XVI memberi kuliah mengenai iman dan nalar di Universitas Regensburg, Jerman. Orang Muslim di seluruh dunia tersinggung oleh satu kalimat yang dikeluarkan dari konteksnya, yaitu ketika Paus mengutip pernyataan Kaisar Byzantium mengenai Islam dan kekerasan. Demonstrasi-demonstrasi orang Muslim yang penuh dengan kemarahan dan kekerasan meledak di seluruh dunia. Orang-orang Kristen di negara-negara Muslim menanggung akibat unjuk rasa orang Muslim yang penuh dengan kekerasan: gereja-gereja dirusak dan ada orang-orang Kristen yang dibunuh. Banyak pemimpin Muslim, termasuk International Union for Muslim Scholars (IUMS) yang sangat berpengaruh, menuntut permintaan maaf dari Paus.

Surat kepada Paus dari 38 sarjana Muslim. Pada Oktober 2006, 38 sarjana Muslim menulis surat untuk Paus Benediktus XVI, mengoreksi apa yang menurut mereka merupakan kesalahan-kesalahan Paus dalam presentasinya mengenai Islam di Regensburg. Satu pernyataan menarik yang mereka sampaikan adalah ayat Qur’an “Tidak ada paksaan dalam agama...” (Sura 2:256) yang diwahyukan pada masa Muhammad di Medina ketika ia mempunyai posisi yang kuat. Mereka mencantumkannya namun tidak menyatakan dengan jelas bahwa ayat itu tidak dibatalkan oleh ayat-ayat lain yang datang kemudian (ini adalah pendapat mayoritas kelompok tradisional). Vatikan tidak menulis balasan untuk surat tersebut, tetapi menyatakan bahwa Paus telah salah dimengerti oleh orang Muslim, dan bahwa maksud ceramahnya adalah himbauan untuk melakukan kerjasama dan dialog dengan orang Muslim.

Tim Winter, seorang Inggris yang memeluk Islam (juga dikenal sebagai Abdul Hakim Murad), yang adalah pengajar Sheikh Zayed dalam studi mengenai Islam di Divinity School, Universitas Cambridge, menjelaskan bahwa surat tersebut merupakan usaha para pemimpin Muslim untuk meluruskan kesalahpahaman mengenai Islam belakangan ini di Barat, yang diakibatkan oleh munculnya aliran keras dalam Islam. Nampaknya para pemimpin Muslim merasa mereka gagal dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang Kristen di Barat, sebagian karena Islam kurang memiliki tokoh otoritas terpusat untuk menjadi juru bicara mereka sebagaimana Vatikan dan Paus mereka anggap sebagai juru bicara orang Kristen. Nampaknya para sarjana ini, yang mewakili lebih dari 20 negara dan 8 aliran berbeda dalam Islam, yang dikumpulkan oleh Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought di Amman, Yordania, berusaha menetapkan diri mereka sendiri sebagai otoritas Islam lintas denominasi – tentunya ini merupakan inovasi dalam Islam.

“A Common Word”, surat kepada para pemimpin Kristen dari 138 sarjana Muslim. Pada 13 Oktober 2007, 138 sarjana Muslim menulis sebuah surat terbuka, “A Common Word Between Us and You”, yang ditujukan kepada para pemimpin Kristen dunia. Surat tersebut diorganisir oleh Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought di Amman, Yordania, yang didukung oleh Jordanian Royal House dan Royal Academy di Yordania. Organisasi ini berusaha untuk memperkuat dewan sarjana religius Muslim internasional yang bersifat inter denominasi yang akan mewakili kepentingan Islam kepada pemerintah, agama-agama lain dan lembaga-lembaga internasional. Ketua Dewan Penyantunnya adalah Pangeran Ghazi bin Muhammad bin Talal dari keluarga Kerajaan Yordania. Tujuannya adalah agar terlihat berbicara atas nama semua orang Muslim dan menetapkan kebijakan dan doktrin untuk semua (aliran) Islam. Pada saat yang sama, para sarjana yang berafiliasi dengan kelompok Persaudaraan Muslim seperti Yusuf al-Qarawi, ulama Sunni yang paling berpengaruh di dunia Muslim, dan Tariq Ramadan (seorang sarjana Muslim Eropa yang sangat terkenal) tidak tercantum di dalam daftar para penanda-tangan kedua surat tersebut. Ini mengindikasikan adanya kompetisi internal Muslim untuk mendapatkan status perwakilan internasional di seluruh dunia Islam.

Dua permasalahan yang jelas kelihatan dari dokumen tersebut adalah:

1. Dokumen tersebut sama sekali mengabaikan agama-agama non monoteis seperti Hinduisme, Budha dan yang lainnya. Impikasinya adalah, hubungan Islam dengan agama-agama tersebut masih sama dengan para penganut politeisme pada jaman dahulu, yang hanya diberi pilihan masuk Islam atau dibunuh.

2. Dokumen tersebut hampir-hampir benar-benar mengabaikan orang Yahudi dan sikap Islam kepada mereka. Ini nampaknya sesuai dengan upaya-upaya Muslim kontemporer untuk membuat jurang pemisah antara orang Kristen dengan Yahudi dan membentuk sebuah aliansi orang Muslim dengan orang Kristen melawan orang Yahudi yang semakin terpinggirkan akibat dari penyebaran sikap anti Semitis yang dilakukan orang Muslim.

Pernyataan Yale. Pada 18 November 2007, sebagai tanggapan terhadap surat Muslim yang dikeluarkan pada Oktober 2007, beberapa teolog Kristen Injili di Yale Center for Faith and Culture, Yale Divinity School, New Haven, Connecticut, menerbitkan sebuah surat yang kemudian ditandatangani oleh lebih dari 100 orang kaum Injili dan teolog Kristen, serta para pendeta dan pemimpin pelayanan lainnya. Secara formal surat ini berjudul: “Loving God and Neighbor Together: A Christian Response to ‘A Common Word Between Us and You’”, surat ini dikenal sebagai “Pernyataan Yale”. Dr. Miroslav Volf, Henry B. Wright yang adalah Profesor Teologi di Yale Divinity School dan Direktur Center for Faith and Culture, mendapatkan ucapan terimakasih dari para sarjana Muslim atas penerimaan positif terhadap inisiatif Muslim pada sebuah konferensi pers yang diadakan pada 26 November 2007 di Cultural Foundation of Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Jumlah penandatangan melonjak hingga lebih dari 300 orang pada pertengahan Januari 2008.

Para penandatangan mewakili sejumlah besar pemimpin Kristen, termasuk perwakilan-perwakilan dari National Association of Evangelicals (NAE) seperti Leith Anderson, yaitu presidennya yang sekarang; perwakilan dari world Evangelical Alliance seperti Geoff Tunnicliffe, Direktur Internasional, dan Bertil Ekstrom, direktur Eksekutif komisi misi lembaga tersebut; dan para pengajar agama, teologi dan bidang studi Biblika di universitas-universitas bergengsi Amerika seperti Princeton, Yale, Hartford dan Harvard, juga seminari-seminari Injili seperti Seminari Teologi Fuller (termasuk J. Dudley Woodberry, dosen Injili bidang Islamologi dan Dekan Emeritus Fuller).

Daftar tersebut juga memuat para pemimpin masyarakat misi Injili dan Pusat-pusat misi Injili, termasuk George Verwer dan Peter Maiden dari Operation Mobilization (OM); Lynn Green dari Youth With a Mission (YWAM); pendiri Frontiers, Greg Livingstone (Frontiers terlibat dalam misi kontekstualisasi kepada orang Muslim); dan Dwight P. Baker, Associate Director of Overseas Ministries Study Center (OMSC).

Mereka adalah pendeta-pendeta beberapa gereja Injili yang terbesar di Amerika, termasuk Bill Hybels dari Willow Creek dan Rick Warren dari Saddleback. Ada pula segelintir kelompok Lutheran, Metodis, Presbiterian, Church of Christ, Assemblies of God, Menonit, dan para pemimpin Baptis. Beberapa tokoh Injili Inggris juga menandatangani surat tersebut, termasuk Christopher J.H. Wright, Direktur Internasional Langham Partnership International.

Daftar tersebut juga memuat para pemimpin Episkopal di Amerika seperti Uskup Barry Beisner dari Episcopal Diocese di California Utara dan Peter J. Lee dari Virginia; dan sejumlah pemimpin Katolik Roma Amerika dan para akademisi serta beberapa pemimpin Ortodoks.

Mengapa ada begitu banyak pemimpin Kristen yang menandatangani Pernyataan Yale? Tentunya mereka melakukan hal itu karena berniat baik dan dengan keyakinan yang positif, namun menarik sekali jika diperhatikan ada berbagai motivasi yang mereka kemukakan sebagai alasan mengapa mereka menandatangani pernyataan itu:

1. Ada yang percaya bahwa inilah cara yang benar dalam berespon dengan kasih dan kebajikan Kristen.

2. Ada yang termotivasi oleh takut akan potensi konflik global dengan Islam, atau jelasnya konflik dengan Islam akan berdampak pada wilayah tempat tinggal mereka.

3. Ada yang berharap tanggapan ini akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi antara Islam dengan Kristen.

4. Ada yang mengambil pendekatan percaya dengan naif, menerima surat Muslim tersebut mentah-mentah tanpa menduga akan adanya agenda yang tersembunyi.

5. Ada yang sangat terkesan dengan keberagaman spektrum orang-orang yang menandatangani surat itu dan oleh nada marah yang terkandung dalam surat itu, dan melihatnya sebagai sebuah kesempatan historis yang unik untuk memperbaiki hubungan dengan Islam.

6. Ada yang berpandangan pragmatis bahwa dalog yang sedang berkembang dapat membuka jalan bagi misi-misi Kristen dan penginjilan di negara-negara Muslim dan agar orang Muslim dapat memperoleh kebebasan menerima Kristus dan bertobat kepada kekristenan.

7. Ada yang tidak mempelajari dokumen itu dengan terperinci tetapi mempercayai nasehat orang lain yang menganjurkan mereka untuk memberi tanda tangan.

Analisa Barnabas Fund terhadap “A Common Word”. Barnabas Fund menerbitkan tanggapannya pada 28 November 2007 yang menganalisa surat Muslim tersebut dengan seksama. Penjelasan terperinci dari Barnabas Fund terhadap tanggapan tersebut, termasuk pemikiran-pemikiran dari orang-orang Kristen yang tinggal di dunia Muslim, diterbitkan pada 7 Januari 2008. Analisa Barnabas memandang surat Muslim tersebut sebagai sesuatu yang mengarah kepada dakwah Muslim (yaitu panggilan untuk memeluk dan tunduk kepada Islam) yang seringkali berdasarkan sejarah dikaitkan dengan ancaman kekerasan perang dan penaklukkan (jihad), jika panggilan itu ditolak. Surat Muslim tersebut dengan jelas mengindikasikan sentralitas konsep tauhid (keesaan monolitik Tuhan) dan finalitas kenabian Muhammad yang dipertentangkan dengan doktrin Kristen mengenai keilahian Kristus dan Trinitas. Yesus direndahkan dan diislamkan hingga hanya menjadi seorang nabi yang adalah manusia biasa yang tunduk kepada Muhammad. Banyak bagian Qur’an dan hadith yang dikutip membicarakan serangan terhadap orang-orang yang mempersekutukan Tuhan dengan yang lain – dalam eksegese, Islam ortodoks tradisional selalu ditafsirkan sebagai serangan terhadap “pemalsuan” Kristen. Dengan demikian, apa yang nampaknya memberikan landasan yang sama berkenaan dengan mengasihi Tuhan dan sesama manusia, dalam kenyataan sebenarnya adalah sebuah pamflet misi yang menyanjung Islam dan merendahkan inti kekristenan. Nampaknya para penulis Muslim berasumsi bahwa para pembaca Muslim akan memahami niat yang terselubung itu sementara para pembaca Kristen yang asing terhadap tradisi Muslim akan mengalami ketidakmengertian.

Pesan Natal dan Tahun Baru dari 138 sarjana Muslim: sebagai tanda ucapan terima-kasih untuk tanggapan Kristen yang umumnya bersifat positif, para sarjana Muslim menerbitkan “A Muslim Message of Thanks and of Christmas and New year Greetings, December 2007”, yang diantara tulisan-tulisan lain terbit sebagai iklan satu halaman penuh di The Daily Telegraph, 29 Desember 2007. Dalam pesan ini, tema orisinil dakwah yang terkandung dalam surat itu diulangi, yaitu: sentralitas konsep tauhid dalam Islam dan menghardik orang-orang Kristen dalam kutipannya yang menyebutkan “tidak mempersekutukan”.

Vatikan sedikit lamban dalam memberi respon secara resmi terhadap inisiatif Muslim tersebut. Vatikan nampaknya tidak terlalu berminat dengan dialog teologi murni, namun lebih kepada hal-hal praktis dan mendiskusikan kenyataan yang terjadi di lapangan, yang dialami oleh orang-orang Kristen yang tinggal di negara-negara Muslim. Menyusul korespondensi antara Sekretaris Dalam Negeri Vatikan, Tarcisio Bertone, yang mewakili Paus, dan pangeran Yordania Ghazi bin Muhammad bin Talal, mengklarifikasi isu di antara kedua belah pihak, membuka jalan bagi diselenggarakannya pertemuan. Paus menekankan bahwa ia menginginkan untuk mendiskusikan sikap menghormati kewibawaan semua umat manusia, kepedulian terhadap agama orang lain, dan komitmen bersama untuk mempromosikan saling toleransi di kalangan generasi muda. Dengan kata lain, Paus tidak akan menerima batasan-batasan yang ditetapkan oleh para pemimpin Muslim yang hanya mendiskusikan implikasi-implikasi teologis pernyataan mereka mengenai kasih kepada Tuhan dan sesama, tetapi Paus menginginkan agar hal itu meluas hingga kepada implementasi praktis dalam dunia Muslim, termasuk diskusi mengenai hak azasi manusia dan kesetaraan bagi non Muslim. Paus juga menekankan bahwa kesamaan antara orang Muslim dan Kristen adalah keyakinan mereka akan Satu Tuhan yang adalah Sang Pencipta dan Hakim, dan tidak hanya menerima surat Muslim yang memuat definisi palsu mengenai kesamaan antara kedua keyakinan tersebut, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama manusia. Pangeran Yordania berkeras agar dialog tersebut dibatasi hanya pada tema-tema teologis dan spiritual. Pada 2 Januari 2008, Kardinal Jean-Louis Tauran, Presiden Pontifical Council for Interreligious Dialogue, mengumumkan bahwa sebuah pertemuan “bersejarah” akan berlansung pada musim semi 2008 antara Paus Benediktus XVI dengan perwakilan delegasi 138 sarjana Muslim, para penulis surat tersebut. Para perwakilan Muslim juga akan bertemu dengan institusi-institusi Vatikan lainnya.

Pdt. Christian W. Troll, seorang sarjana Yesuit terlibat dalam dialog dengan orang Muslim, Profesor Kehormatan di St. Georgen Graduate School of Theology dan Philosophy, Fankfurt am Main, mengumumkan bahwa belum pernah ada inisiatif seperti surat ini sebelumnya dalam 1400 tahun sejarah Muslim-Kristen. Ia menyambut “nada hangat dan ramah” dalam surat itu yang “sangat menguatkan”. Ia melihat himbauan Muslim itu sebagai tanggapan terhadap ceramah Paus di Regensburg yang mengandung maksud untuk menganjurkan adanya dialog yang lebih mendalam antara Kristen dan Islam. Ia menunjukkan kutipan-kutipan dari Alkitab dan bertanya-tanya apakah ini menandakan adanya pemisahan dengan doktrin tradisional Islam dan suatu pendekatan baru orang Muslim terhadap kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen. Dengan kata lain, apakah para sarjana Muslim menolak doktrin pemalsuan Alkitab yang masih banyak diterima dalam pandangan Muslim? Atau, Troll bertanya, apakah mereka hanya menggunakan kutipan-kutipan Alkitab tertentu untuk menekankan pandangan Muslim mengenai Tuhan dan kasih? Troll juga memperhatikan, beberapa kutipan Qur’an digunakan dalam komentari Muslim tradisional untuk mengekspresikan kritik terhadap doktrin Kristen mengenai keilahian Yesus. Ia memperingatkan, orang Muslim yang ingin terlibat dalam dialog dengan orang Kristen harus memahami keilahian Yesus dan monoteisme Trinitas yang merupakan doktrin mendasar yang “tidak dapat dinegosiasikan”. Akhirnya, Troll berpendapat bahwa selain dari kesepakatan mengenai “hukum kasih ganda” masih ada banyak permasalahan dalam hubungan Muslim-Kristen, termasuk pemberlakuan Syariah, hubungan antara negara dengan agama, dan situasi memburuk yang banyak dialami oleh orang-orang Kristen yang tinggal di negara-negara mayoritas Muslim.

Samir Khalil Samir, seorang sarjana Yesuit Islam dan pengajar di Universitas St. Joseph, Beirut. Samir menyetujui adanya kesehatian yang berkembang di antara kelompok-kelompok Islam yang beragam, dan ini jelas terlihat dari orang-orang yang menandatangani surat tersebut, yang mengandung adanya gerakan yang mengarah kepada konsensus yang lebih besar (ijma’). Ia juga menyambut keinginan mereka untuk berdialog dengan orang Kristen, dan melihat hal ini sebagai hasil dari taktik “hebat” Paus. Samir memperhatikan tekanan bahasa Arab yang menggunakan kata “Injil” dan bukan Alkitab seperti yang digunakan oleh versi Inggris. Lebih jauh lagi, ia mengatakan surat tersebut menggunakan kata bahasa Arab jar untuk sesama (yang berarti kedekatan geografis) dan bukannya istilah Kristen Arab qarib yang mengandung makna saudara dan tidak terkait pada kedekatan geografis. Samir menjelaskan bahwa kata “kasih” jarang sekali digunakan dalam Qur’an, dan apa yang ditekankan para sarjana Muslim sebagai kasih di bagian pertama surat itu sebenarnya adalah ketaatan kepada Tuhan dan bukan kasih kepada-Nya. Ia mengatakan, walaupun pembicaraan mengenai kasih pada Tuhan dan sesama masih merupakan angan-angan dalam Islam, “hal itu jelas menunjukkan adanya keinginan untuk mendekat kepada cara berbicara orang Kristen, walaupun pada saat yang sama ada resiko memberi makna ganda kepada kata yang sama”. Ia menunjukkan bahwa deklarasi yang mengatakan orang Yahudi, Kristen dan Muslim memiliki kasih kepada Tuhan dan sesama di jantung hati agama masing-masing, belum pernah dinyatakan sebelumnya oleh orang Muslim. ia juga memperhatikan, ketika para sarjana Muslim mengutip Qur’an mereka mengatakan “Allah berfirman”, sedangkan ketika mengutip Alkitab mereka hanya mengatakan “seperti yang terdapat dalam Perjanjian Baru” atau “seperti yang dibaca dalam Injil”. Samir mengemukakan pandangan Katolik bahwa hukum natural adalah kesamaan yang riil antara kekristenan dengan agama-agama lain. Ia menolak tuduhan bahwa orang Kristen memerangi orang Muslim, dan menjelaskan bahwa hal-hal yang berkenaan dengan perang terhadap terorisme adalah isu-isu politik: “Sekalipun kita mengetahui bahwa Presiden Amerika Serikat adalah seorang Kristen dan bahwa ia dituntun oleh keyakinannya, kita tidak dapat mengklaim bahwa orang Kristen memerangi orang Muslim”. Sikap orang Muslim diwarnai oleh kecenderungan mereka untuk melihat Barat sebagai kekuatan Kristen, tidak menerima realita sekularisasi yang terjadi di Barat dan pemisahan Barat dari etika Kristen. Anggapan Muslim seperti itu hanya memperkuat teori pertikaian budaya dengan peradaban. Samir mengakhiri dengan pertanyaan, perbedaan apakah yang akan dihasilkan oleh surat tersebut di dunia Muslim, dimana orang Kristen terus-menerus ditindas, imam-imam Kristen diculik dan orang-orang yang meninggalkan Islam dibunuh. Ia mengatakan, adalah penting supaya tahap berikutnya dari dialog itu berfokus pada isu-isu kebebasan beragama, nilai-nilai hak azasi manusia yang absolut, dan penggunaan kekerasan atas nama agama.

Dari berbagai gereja Ortodoks hampir-hampir tidak ada tanggapan resmi terhadap inisiatif Muslim ini. Sebuah perwakilan Timur Tengah mengeluh mereka tidak menerima tanggapan terhadap pendekatan yang mereka bawa dari 138 sarjana tersebut, dan menyimpulkan bahwa mereka hanya ingin berdialog dengan orang-orang Kristen Barat.

Metropolitan of All America Ukrainian Autocephalous Orthodox Church dan Uskup Agung New York, Mykhayil Javchak Champion. Perwakilan Ortodoks ini memperhatikan kurangnya respon Ortodoks kepada inisiatif Muslim, dan ia mempersalahkan adanya sikap ketidakpedulian dan ketidakamanan. Ia juga ingin melihat Ortodoksi menjadi lebih inklusif, baik kepada kelompok Kristen lainnya dan kepada agama-agama lain, termasuk Islam. Ia menyambut surat itu dan himbauan dalam surat itu untuk mencari kesamaan atas dasar kasih kepada Tuhan dan sesama. Ia dikuatkan oleh penerimaan Muslim terhadap Yesus sebagai Mesias (nampaknya ia tidak mengetahui bahwa istilah itu digunakan dalam Qur’an). Ia sepakat dengan ke-138 sarjana Muslim bahwa kedua agama tersebut “dibuat dari bahan yang sama”, dan bahwa kedua agama sebenarnya tidaklah terlalu berbeda. Ia mengakhiri dengan refleksi pada hubungan damai antara Muslim dengan Kristen di negara Ukraina yang kontemporer.

Uskup Agung Rowan Williams, Ketua All England dan Uskup Senior Worldwide Anglican Communion. Sementara menyambut surat Muslim sebagai dasar perkebangan dialog lebih lanjut dan tindakan bersama Kristen dengan Muslim, Williams dengan cerdik menyatakan keprihatinannya terhadap kelompok minoritas Kristen di dunia Muslim:

“dasar teologis surat itu dan himbauannya untuk ‘berhubungan satu sama lain hanya dalam kebenaran dan perbuatan baik; saling menghormati, adil, dan baik satu sama lain dan hidup dalam damai yang tulus, harmoni dan saling mensejahterakan’, mengindikasikan bentuk relasi yang kami dambakan di berbagai belahan dunia, dan terutama dimana orang Kristen dan orang Muslim hidup berdampingan. Sangatlah penting untuk menggarisbawahi kebutuhan akan respek terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam konteks baik Islam maupun Kristen sebagai kelompok mayoritas”.

Uskup Mark Hanson, Presiden Lutheran World Federation. Hanson sangat menyambut baik ketulusan yang diekspresikan oleh para penulis Muslim, dan penekanan mereka pada warisan yang sama dalam “teks-teks sakral yang dimiliki agama-agama Abraham”. Ia mengekspresikan pengharapan agar orang Yahudi, Muslim dan Kristen akan menerima wahyu yang hidup dari Tuhan, tanpa perasaan takut akan sesama mereka.

Evangelical Alliance, Inggris: Direktur Jenderal Joel Edwards menyambut himbauan Muslim agar ada pertemuan damai di antara agama-agama. Namun demikian, pernyataan EA mengakui adanya perbedaan-perbedaan antara kedua agama tersebut. “Baik keristenan maupun Islam tidak dibangun atas pemikiran abstrak mengenai kasih atau iman. Melainkan, kekristenan dibangun di atas dasar Yesus Kristus, Tuhan yang menjadi manusia dan hidup di antara kita”.

Profesor David Ford, Direktur Cambridge University’s Inter Faith Program, dengan hangat menyambut surat itu sebagai pernyataan positif persahabatan dengan orang Kristen yang belum pernah terjadi sebelumnya, suatu “panduan untuk masa depan... pencapaian solidaritas yang mengagumkan, yang dapat dibangun pada masa depan”.

David Coffey, Presiden Baptist World Alliance. Coffey menyambut surat Muslim tersebut sebagai inisiatif terobosan yang dapat membuat kontribusi besar bagi pemahaman yang lebih baik dalam relasi Kristen-Muslim, dan yang mendatangkan kebebasan beragama dan perdamaian dunia.

Namun demikian, ia juga mengekspresikan keprihatinannya terhadap orang Kristen dan juga penganut agama lain, yang tidak mendapatkan kebebasan beragama secara penuh.

Zein al-Abdeen Al Rekabi, seorang sarjana Muslim, menerbitkan sebuah artikel “An Opportunity to Discuss Our Knowledge of Mohammed and Jesus”, dalam Asharq Alawsat, 9 Januari 2008. Menanggapi himbauan Uskup Agung Canterbury kepada orang Muslim untuk mempelajari budaya Kristen, Al-Rekabi mengemukakan pandangan tradisional Muslim bahwa semua yang harus diketahui mengenai Yesus telah ada dalam Islam dan merupakan bagian dari iman Muslim. Ia memberikan daftar kutipan dari Qur’an dan hadith mengenai Yesus dan ibu-Nya Maria, dan menyimpulkan bahwa orang Muslim mempunyai “pengetahuan ekstensif dalam buku-buku sumber mereka mengenai Yesus, Perawan Maria, Alkitab dan Rasul-rasul yang dimuliakan”. Jadi, orang Muslim bukan tidak peduli kepada kekristenan. Melainkan, orang Kristenlah yang harus belajar lebih banyak mengenai Islam dan toleransinya. Pandangan Al-Rekabi mewakili sikap orang Muslim pada umumnya, yang mengklaim bahwa Islam telah mengatasi kekristenan dan bahwa teks-teks sumber Islam memuat semua hal yang harus diketahui dari teks-teks asli yang terdahulu tetapi telah mengalahkan wahyu-wahyu dalam kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen. Kitab-kitab suci ini kemudian dipalsukan oleh orang Yahudi dan Kristen dan tidak dapat lagi dipercayai. Oleh karena itu orang Muslim tidak perlu mempunyai pengetahuan tambahan apapun mengenai kekristenan kontemporer.

Ringkasan dan tanggapan singkat

Nampaknya ada perbedaan tanggapan jelas antara kaum Injili Barat, dan Katolik, Ortodoks dan orang Kristen non Barat terhadap surat dari orang Muslim tersebut. Orang-orang Kristen non Barat jelas mencemaskan implikasi-implikasinya pada keberlangsungan hidup mereka di negara-negara mayoritas Muslim; arus utama Katolik dan Ortodoks lebih bersifat konservatif dalam teologi mereka, dan menyadari bahaya dan cobaan dari pendekatan yang dilakukan Muslim. Ironisnya, tanggapan kaum Injili nampak lebih bersesuaian dengan kelompok liberal oikumenis dan pendekatan inklusif lintas agama, yang mengarah kepada menerima Islam sebagai satu cara yang sah untuk mencapai Tuhan, Muhammad adalah nabi Tuhan dan Qur’an adalah wahyu dari Tuhan.

Analisa Pernyataan Yale

“Jalan menuju ke neraka dibuat dengan niat baik” (pepatah abad 16)

"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati(Matius 10:16)

Introduksi

Dalam relasi antar agama, simbol-simbol sangatlah penting. Demikian pula pengakuan dan respek terhadap perbedaan-perbedaan mendasar dalam doktrin, teologi dan praktek. Sementara pencarian kesamaan penting untuk melahirkan sikap saling menghormati kekhasan pihak lain dan keharusan adanya kesetaraan dan ketersalingan. Kemauan untuk mendapatkan kesamaan yang dikemukakan oleh surat Muslim jelas terlihat dalam Pernyataan Yale, dan nampaknya telah membutakan para penulisnya akan implikasi-implikasi negatif surat Muslim. Para pemimpin Muslim mengetahui kerinduan besar orang Kristen untuk menemukan kesamaan, dan memanipulasinya demi keuntungan mereka.

Nada surat Muslim tersebut merendahkan, menempatkan diri pada posisi superior dan merasa kuat. Nampaknya surat itu mengatakan bahwa walaupun orang Kristen bersalah karena telah berperang dan menyerang orang Muslim, para sarjana Muslim menawarkan damai dan harmoni kepada orang Kristen, hanya jika mereka bersedia menerima persyaratan-persyaratan yang secara eksplisit juga implisit tertera dalam dokumen tersebut. Di sisi lain, nada dari tanggapan Yale menunjukkan kerendahan, rasa bersalah dan penundukkan diri.

Tidak asing lagi kita ketahui bahwa bagi Islam, kehormatan dan kuasa adalah hal-hal yang sangat penting. Islam, yang memandang dirinya sendiri sebagai wahyu final dan yang terakhir dari Tuhan kepada umat manusia, tidak bersedia menerima saingan. Pandangan tradisional mengatakan bahwa Allah telah meninggikan Islam dan orang Muslim di atas semua agama lainnya dan menjadikan mereka superior dari semua yang lain. Menurut Qur’an, orang Muslim adalah “umat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia” (Sura 3:110). Berdasarkan sebuah hadith yang sangat terkenal, “Islam bertambah dan tidak punah”. Versi lainnya dari hadith ini menyatakan bahwa “Islam ditinggikan dan tidak ada yang lain yang ditinggikan melebihinya”. Semua relasi dengan non Muslim harus sesuai dengan prinsip peninggian dan penguatan Islam dan orang Muslim dari komunitas-komunitas non Muslim. Istilah yang paling tepat untuk menjelaskan relasi ini adalah dominasi-bawahan: orang Muslim mendominasi, semua yang lainnya adalah bawahan.

Para sarjana Muslim sangat memahami pentingnya simbol-simbol dan istilah-istilah, menggunakan setiap kesempatan untuk meninggikan Islam dan pendirinya, kitab suci dan doktrin-doktrin dasarnya sambil merendahkan semua hal mengenai kekristenan. Para sarjana Kristen nampaknya telah jatuh ke dalam jebakan ini, menanggapi apa yang menurut mereka adalah terminologi Islam yang tepat, dan bukannya menggunakan istilah-istilah alkitabiah dan kristiani, dalam usaha untuk menyenangkan sensibilitas Muslim. Selanjutnya ini merendahkan kekristenan dan meninggikan Islam – inilah salah satu tujuan yang jelas dari upaya Muslim.

Nampaknya ini merupakan hasil akhir jalan panjang menuju relativisme dalam teologi dan kontekstualisasi teologis, yang ditempuh oleh beberapa penulisnya, dalam upaya untuk tampil relevan terhadap kepentingan-kepentingan sekuler dan multikultural dalam masyarakat dan dalam misi. Sikap ini akan menyampaikan pesan kepada orang Muslim bahwa orang Kristen berada di posisi yang lebih lemah, yang menerima superioritas Muslim dalam agama. Inilah yang jelas merupakan sikap tunduk yang diwajibkan atas kaum dhimmi (orang Kristen dan Yahudi), yang adalah kelompok minoritas yang tinggal di negara Islam.

Dewasa ini ada banyak kekacauan di kalangan kaum Injili. Ada yang nampaknya membawa agenda liberal sekitar tahun 1960-1980. Mereka meninggalkan doktrin-doktrin dasar alkitabiah mereka dan menerima perspektif post-modernis dan Islam mengenai banyak hal. Ada yang setuju dengan pemikiran bahwa secara keseluruhan misi Kristen adalah program proselitasi agresif yang berkaitan dengan jaman kolonial yang seharusnya dilarang. Proselitasi agresif dilihat sebagai suatu tindak kekerasan terhadap orang Muslim dari posisi berkuasa. Dalam pandangan Muslim, bantuan Kristen dan upaya-upaya pengembangan juga merupakan bagian dari program misi agresif Kristen, dan harus dilarang. Ini sangat cocok dengan agenda kaum sekuler post-modern yang menghapus kebenaran dan nilai yang terkandung dalam semua agama. Dalam dialog lintas agama, orang Muslim senantiasa menyerang penginjilan Kristen sebagai tindakan yang bersifat agresif dan menyakiti orang Muslim, tanpa mengkritik dakwah Muslim. Orang Muslim selalu menuntut dihentikannya penginjilan Kristen di negara-negara Muslim, masyarakat Muslim dan kelompok minoritas Muslim. Sebaliknya mereka tidak pernah berjanji untuk menghentikan dakwah. Ini hanyalah satu contoh mengenai penyerahan diri beberapa kaum Injili di Barat terhadap tuntutan-tuntutan seperti itu, yang menghasilkan usaha melemahkan kekristenan dan memperkuat Islam.

Apakah semua kaum Injili memberi tanda tangan dengan sukarela dan tanpa paksaan?

Nampaknya para penulis Pernyataan Yale berhasil membujuk beberapa pemimpin Injili untuk menandatangani dokumen tersebut walaupun mereka tidak mempunyai pengetahuan yang komprehensif mengenai Islam dan sikap serta pendekatan Islam kepada agama-agama lain.

Leith Anderson, Presiden National Association of Evangelicals (NAE) mengakui bahwa ia menandatangani Pernyataan Yale karena adanya tekanan dari para pemimpin lain, walaupun ia tidak terlalu suka dengan beberapa butir isi dokumen itu, dan walaupun permintaannya untuk mengubah beberapa butir tidak menganjurkannya untuk memberi tanda tangan. Ia melakukannya karena “sama sekali tidak ada jalan yang mudah untuk memproses kerumitan komunikasi lintas agama hanya dengan sepotong surat”.

Mungkinkah para pemimpin Injili lainnya juga telah dibujuk untuk memberi tandatangan tanpa mempedulikan penilaian mereka yang lebih baik? Anderson, dalam usahanya untuk memperkecil kerusakan yang ada, menambahkan bahwa tanda tangannya diberikan atas nama pribadi, bukan sebagai Presiden NAE. Ia menjelaskan bahwa ia berharap agar dialog dengan orang Muslim akan menghasilkan sikap saling menghormati, kebebasan untuk berkeyakinan tanpa berpura-pura mencapai kesepakatan bersama yang sama sekali tidak eksis, dan kebebasan beragama termasuk pertobatan. Ia menyimpulkan:

“Sebagai seorang Kristen Injili saya mempercayai Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan saya. Saya bersungguh-sungguh menempatkan Alkitab sebagai aturan iman dan prakteknya. Itulah orang yang Injili dan itulah yang dipercayai orang Injili. Sama seperti orang Muslim yang ingin agar kita mengenal Islam, saya ingin orang Muslim (juga) mengetahui Injil Yesus Kristus”.

Sayangnya ia tidak dapat menegaskan pendapatnya, pengharapannya dan keyakinannya dalam dokumen itu.

Keinginan untuk berespon secara positif dalam kasih terhadap “ranting zaitun” yang disodorkan oleh para sarjana Muslim, nampaknya telah mengatasi kecurigaan apapun atau pengujian yang lebih mendalam terhadap implikasi-implikasi surat tersebut. Salah seorang penulis mengklaim bahwa Pernyataan Yale akan memulai sebuah proses yang akan memuncak pada rekonsiliasi antara Kristen dengan Islam. Sementara kita boleh mendoakan damai dan harmoni antara orang Muslim dan Kristen di wilayah-wilayah konflik fisik, tidak ada peringatan Alkitab untuk mengusahakan rekonsiliasi antara Kristen dengan agama-agama non Kristen seperti Islam. Orang non Kristen dipanggil untuk didamaikan dengan Tuhan melalui iman kepada Yesus Kristus – karena diluar Yesus tidak ada keselamatan – inilah berita Alkitab. Mengabaikan doktrin fundamental Kristen dan menerima klaim Muslim dan mengharapkan adanya rekonsiliasi dengan orang Muslim hanya akan membawa kepada sinkretisme.

Marjinalisasi terhadap Kristus dan Alkitab

Para sarjana Muslim dalam surat terbuka mereka dengan hormat menyebut Muhammad “Nabi Muhammad”, menambahkan SAW (= damai ada atasnya) setiap kali menyebut namanya, menempatkannya tepat setelah Allah dalam kalimat pembukaan: “Dalam nama Allah, Yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan kiranya damai dan berkat ada pada Nabi Muhammad”, juga mengutip kalimat Syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah”, disini sekali lagi Muhammad disebutkan langsung setelah Allah. Di sisi lain, para sarjana Kristen, hanya menyebutkan “Yesus Kristus” seperti yang dilakukan para sarjana Muslim, seakan-akan Ia hanyalah manusia biasa yang tidak mempunyai status spesial untuk orang Kristen. Tidak ada pengakuan akan keilahian dan ketuhanan-Nya. Tidak ada penyanjungan terhadap pribadi-Nya dan jabatan-Nya. Seakan-akan Ia bahkan bukan seorang nabi seperti status Muhammad bagi orang Muslim. Dengan demikian, secara tersamar mereka mengkonfirmasi pandangan Muslim mengenai superioritas Muhammad atas Yesus.

Ada disparitas serupa dalam perlakuan terhadap kitab suci masing-masing agama. Para sarjana Muslim dengan hormat menyebut kitab suci mereka “Qur’an yang suci” setiap kali mereka menyebutnya. Di sisi lain para sarjana Kristen hanya menyebut “Perjanjian Baru” alih-alih “Alkitab yang suci”.

Nampaknya bagi para sarjana Kristen, dasar-dasar agama mereka tidak lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang suci, berharga dan dihormati. Ini terlihat dari Pernyataan Yale yang sangat dipengaruhi oleh Kristen liberal yang telah sejak lama meninggalkan keyakinannya pada doktrin fundamental agama Kristen. Ini menggambarkan adanya pergeseran nyata dari doktrin ortodoks Kristen kepada sikap pluralis yang menyangkali eksklusifitas Kristus dalam rencana keselamatan Tuhan dan meninggalkan pandangan ortodoks Kristen mengenai Trinitas, pribadi Kristus, dan otoritas Alkitab.

Kemungkinan lain adalah, beberapa penulis dan penandatangan surat itu sangat dimotivasi oleh keprihatinan mereka terhadap penginjilan di kalangan orang Muslim sehingga mereka melangkah melampaui bentuk kontekstualisasi yang dapat diterima (mengadopsi cara-cara dan bahasa Muslim untuk diterapkan pada ibadah Kristen) menjadi kontekstualisasi teologis yang tidak dapat diterima, dengan demikian menerima klaim Muslim atas kenabian Muhammad dan Qur’an sebagai wahyu.

Pernyataan Yale mengalami masalah karena menggunakan istilah “Nabi” untuk menyebut Muhammad. Apakah para penulis dan penandatangan surat itu benar-benar menerima Muhammad sebagai nabi Tuhan yang sejati? Jika demikian, maka secara logis mereka harus mengikuti pengajaran-pengajaran Muhammad dan wahyu yang diklaim telah dibawanya, yaitu mereka harus menjadi Muslim. Jika mereka benar-benar percaya pada finalitas wahyu Tuhan dalam Kristus, maka Muhammad sama sekali bukanlah nabi atau ia adalah seorang nabi palsu, maka adalah salah jika memberikan kesan pada orang Muslim bahwa orang Kristen menerima statusnya sebagai nabi Tuhan yang sejati. Istilah yang lebih tepat yang dapat digunakan adalah “Muhammad pendiri Islam” atau istilah yang mirip dengan itu. Jika ketersalingan menjadi syarat bagi dialog ini, maka para sarjana Muslim semestinya menggunakan gelar Kristen untuk Yesus seperti “Tuhan” atau “Juruselamat”, sedangkan mereka tidak melakukannya. Jadi mengapa orang Kristen harus memberikan Muhammad gelar Muslimnya sebagai seorang “Nabi”?

Menyetujui konsep Muslim mengenai kasih kepada Tuhan dan sesama manusia

Para penulis Pernyataan Yale telah menegaskan pernyataan Muslim bahwa kasih kepada Tuhan dan sesama adalah jantung hati Islam, sebagaimana di dalam kekristenan. Namun demikian, suara terkeras dari dokumen Muslim itu membuktikan apa yang sebenarnya menjadi sentral bagi Islam yaitu kesatuan monolitik Tuhan yang menyangkali keilahian Kristus, dan status Muhammad sebagai satu-satunya nabi yang final dan valid, serta satu-satunya utusan Tuhan, maka dengan demikian menyangkali finalitas wahyu Tuhan dalam Kristus. Mereka mengklaim bahwa kedua kesaksian ini adalah “sine qua non Islam”. Ini adalah sub-teks yang riil dari surat Muslim, dan siapapun yang mahir dalam studi mengenai Islam semestinya dapat langsung melihat hal ini. Sedih sekali melihat para pemimpin Kristen yang menulis Pernyataan Yale secara sadar mengabaikan implikasi-implikasinya atau boleh jadi mereka tidak melihatnya. Bagaimanapun, mereka telah gagal menjadi juru bicara sejumlah besar orang Kristen yang masih percaya pada pengajaran Kristen ortodoks mengenai Kristus, Trinitas, dan Alkitab yang suci. Tanggapan yang lebih tepat semestinya adalah menegaskan kembali doktrin-doktrin dasar Kristen mengenai keilahian Kristus, Trinitas dan finalitas wahyu Tuhan dalam Kristus, yang merupakan doktrin sentral iman Kristen, ditambah dengan wahyu Tuhan yang adalah Kasih. Mengabaikan sub-teks Muslim mengesankan adanya pengakuan Kristen terhadap kebenaran klaim Muslim.

Uskup Anglikan di London, Richard Chartres, dalam tanggapannya kepada surat Muslim menyatakan:

“Ini adalah surat yang substansial yang berbicara mengenai keesaan Tuhan dari perspektif Muslim. Surat ini menuntut adanya tanggapan substansial yang membicarakan tema yang sama dari perspektif Kristen”.

Para penulis Yale tentunya akan melakukan yang terbaik seandainya mereka memperhatikan rekomendasi ini. Surat Muslim tersebut sungguh-sungguh menghimbau adanya tanggapan balik yang mengklarifikasi posisi Kristen ortodoks berkenaan dengan tema-tema ini. Hanya dengan memberikan posisi Kristen ortodoks yang jelas, maka kemajuan dalam berdialog dapat dibuat, menuju kepada rekonsiliasi yang sepenuhnya menerima hak pihak lain untuk berbeda tanpa menderita kerugian apapun karena menjadi berbeda.

Konferensi Institut Aal al-Bayt mengenai “Kasih dalam Qur’an yang suci”

Pada September 2007, Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought di Amman, Yordania, menyelenggarakan sebuah konferensi mengenai topik “Kasih dalam Qur’an yang suci” untuk mempersiapkan landasan bagi surat Oktober 2007 dari para sarjana Muslim kepada para pemimpin Kristen. Salah satu dari ke-32 makalah yang diberikan dalam konferensi ini adalah “Perbedaan Antara Konsep Muslim dengan Kristen Mengenai Kasih Ilahi” oleh seorang mualaf Jerman, Dr. Murad Wilfried Hofmann. Makalah ini mendefinisikan konsep kasih kepada Tuhan dan sesama dalam Islam dengan istilah-istilah yang sangat mirip dengan yang digunakan analisa Barnabas Fund terhadap surat Muslim. (Makalah tersebut direproduksi dalam Appendiks 1).

Hofmann menyatakan bahwa konsep Muslim mengenai kasih kepada Tuhan berbeda dengan konsep Kristen karena orang Muslim tidak menerima bahwa Tuhan berinkarnasi dalam manusia Yesus. Ia mengulangi pandangan tradisional Muslim ortodoks yang mengatakan bahwa Allah itu sepenuhnya transenden, “Dia yang melampaui ruang dan waktu dan yang Keberadaan-Nya tidak tercakup dalam kategorisasi kita... Ia tetap tidak terukur, tidak terbayangkan, tidak dapat diperkirakan, tidak terfahami, tidak terlukiskan”. Atribut-atribut Allah, seperti yang terdapat dalam 99 Nama Indah hanya “sedikit menolong, karena kita tidak boleh menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan (Sura 6:74)”. Allah hanya dapat didefinisikan dengan istilah-istilah negatif, mendaftarkan apa yang tidak boleh dikatakan mengenai Dia. Bagi orang Muslim, mengasihi Tuhan adalah “kemungkinan yang sangat naif”. Upaya-upaya Sufi untuk mengembangkan sebuah mistisisme Islam mengenai kasih memang dihargai, tetapi mereka mengalami kesulitan dalam memvisualisasikan Tuhan, dan karena hal itu dilarang. Pendekatan Sufi, yang secara emosional lebih memuaskan daripada pendekatan filosofis, digambarkan sangat spekulatif (membawa nuansa bahwa hal itu tidak boleh dipercayai atau diikuti).

Hofmann juga menyatakan bahwa “kemandirian” Allah menjauhkan-Nya dari gambaran sikap mengasihi ciptaan-Nya, karena sebuah hubungan kasih harus memiliki rasa kebergantungan, dan ini tidak terdapat pada Allah. Mengasihi ciptaan-Nya adalah “tidak sesuai dengan natur dasar Allah yang utuh dan mandiri”. Ia mengakui bahwa Qur’an menyatakan Allah “mengasihi” orang yang baik dan adil. Ia memberikan daftar orang-orang yang dikasihi Allah:

· Orang-orang yang berbuat baik (Sura 3:31, 148; 5:93)

· Orang-orang yang sabar dalam kesukaran (Sura 3:146)

· Orang-orang yang percaya kepada-Nya (Sura 3:159)

· Orang-orang yang ingat kepada-Nya (Sura 9:7)

· Semua orang yang menyucikan diri (Sura 9:108)

· Orang-orang yang beriman dan beramal (Sura 19:96)

· Orang-orang yang berlaku adil (Sura 60:8)

Namun demikian Qur’an juga mendaftarkan orang-orang yang tidak dikasihi Allah:

· Orang-orang yang tidak beriman (Sura 3:32)

· Orang-orang berdosa (Sura 5:87; 7:55)

· Orang yang berlebih-lebihan (Sura 7:31)

· Para pengkhianat (Sura 8:58)

Walau Hofmann tidak menyatakannya, perlu disebutkan bahwa orang Kristen dan Yahudi, walau disebut sebagai “Para Ahli Kitab”, seringkali digambarkan oleh Islam ortodoks sebagai orang-orang yang termasuk ke dalam kategori orang-orang yang sangat tidak beriman (kafir, kafirun) karena mereka menolak kenabian final Muhammad dan wahyu Allah yang diberikan kepadanya dalam Qur’an. Oleh karena itu mereka tidak dikasihi Allah, melainkan dibenci-Nya.

Menurut Hofmann, orang Muslim tidak terlalu suka menggunakan istilah “kasih” dan lebih menyukai istilah “persaudaraan” dalam hubungan dengan sesama manusia. Hofmann juga mengakui bahwa konsep mengasihi musuh adalah murni konsep Kristen, dan sama sekali tidak ditemukan dalam Islam.

Makalah lainnya yang dipresentasikan dalam konferensi itu ditulis oleh Arif Kamal, Duta Besar Pakistan untuk Yordania, 2003-2007. Kamal mengklaim bahwa manusia yang bertindak adil, adalah suci, dan yang melakukan kebenaran layak untuk mendapatkan kasih Allah. Ini menjadikan semua orang lain tidak mendapatkannya. Menurut Kamal, kasih Allah adalah hasil usaha manusia dalam mendirikan masyarakat yang berkeadilan. Pertama-tama adalah tindakan manusia; lalu kasih Allah sebagai tanggapan atas inisiatif manusia. Orang Muslim diperintahkan untuk mengasihi saudara mereka – dalam konteks ini, yang dimaksudkan sebagai saudara adalah sesama Muslim. betapa berbedanya gagasan ini dari konsep Alkitab mengenai kasih Tuhan yang dicurahkan ke atas orang berdosa yang tidak pantas, dan tidak tahu berbuat baik; konsep bahwa Tuhanlah yang pertama-tama berinisiatif mengasihi kita tanpa syarat.

Menarik sekali untuk mengetahui apakah para penulis Pernyataan Yale telah membaca makalah-makalah ini, yang dapat dilihat di website Aal al-Bayt. Nampak jelas bahwa konsep kasih dalam Islam, seperti yang dijelaskan oleh Hofmann dan Kamal, sangat berbeda dari konsep Kristen. Oleh karena itu, klaim dalam surat Muslim bahwa konsep kasih dalam kedua agama tersebut adalah sama, terdengar sangat aneh.

Kita sebagai orang Kristen dipanggil untuk mengasihi musuh kita, memberikan pipi yang satu lagi, merendahkan diri dan melayani. Orang Muslim tidak demikian. Dalam kekristenan, Tuhan itu kasih dan kasih itu sentral dan tidak bersyarat; tidak demikian dalam Islam.

Mengasumsikan tanggung-jawab dan rasa bersalah atau Perang Salib dan perang terhadap terorisme

Para penulis Pernyataan Yale meletakkan tanggung-jawab atas Perang Salib perang kontemporer terhadap terorisme Islam atas nama semua orang Kristen. Dengan ini sekali lagi mereka memperkuat sikap Muslim yang melihat semua non Muslim sebagai satu blok, satu umma berdasarkan keyakinan Muslim: al-kufar kullahu milatun wahida (semua orang yang tidak beriman adalah satu bangsa). Seorang individu hanya diakui dalam hubungannya dengan komunitasnya, ia tidak mempunyai nilai diri sebagai individu yang bebas di hadapan Tuhan, yang diciptakan menurut citra Tuhan.

Pandangan komunal mengenai masyarakat manusia ini masih mendasari tanggapan Muslim terhadap non Muslim, yang jelas terlihat dalam tanggapan kejam dan penuh kemarahan umat Muslim terhadap Salman Rushdie, kartun Muhammad dari Denmark dan ceramah Paus di Regensburg. Ini mengiringi pandangan yang mengatakan bahwa jika satu orang non Muslim melakukan pelanggaran, maka seluruh komunitas non Muslim di seluruh dunia bertanggung-jawab dan harus dihukum hingga impas dan memulihkan orang Muslim yang terhina karena pelanggaran itu. Ini selalu menjadi sikap yang ditunjukkan kepada kaum dhimmi di negara-negara Muslim. Bukan si individu yang harus dihukum setelah adanya proses hukum, namun seluruh komunitas dimana ia menjadi anggotanya harus menerima kekerasan, hingga para pemimpinnya merendahkan diri di hadapan orang Muslim dan membayar kompensasi atas pelanggaran yang telah dilakukan. Bagi banyak orang Muslim, semua orang Kristen nominal di seluruh dunia masih merupakan satu komunitas, dan orang-orang Kristen di negara-negara Muslim masih menderita penganiayaan dan kekerasan untuk setiap kesalahan terhadap Islam yang dilakukan oleh seorang Kristen atau institusi Kristen tertentu di negara lain.

Penerimaan segelintir orang Kristen – terutama orang Barat – terhadap kesalahan komunal dalam sejarah akan memperkuat tren Muslim untuk menghukum orang Kristen yang adalah penduduk asli di negara-negara Muslim – yang tidak diajak bicara untuk meminta maaf – atas semua dosa yang diduga dilakukan terhadap Islam yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di sepanjang sejarah. Ini sangat jelas terlihat dalam tahun-tahun belakangan ini di tempat-tempat seperti Irak, Indonesia, Sudan, Nigeria, dan yang lainnya. Penerimaan kesalahan Kristen secara umum oleh para penulis Yale kemudian akan mendatangkan efek yang menghancurkan pada orang-orang Kristen yang tinggal di tengah masyarakat yang mayoritas Muslim di berbagai tempat, yang sekarang bahkan sedang menderita oleh karena kesetiaan mereka kepada Kristus.

Sementara ada orang-orang Kristen yang berpandangan bahwa keterlibatan orang-orang Kristen, dan terutama Gereja Katolik dalam Perang Salib bertentangan dengan pengajaran Tuhan Yesus Kristus, banyak pula yang menyadari bahwa perlu adanya pembelaan terhadap orang-orang Kristen yang lemah di Tanah Suci. Dengan demikian, Perang Salib yang pertama merupakan tanggapan terlambat yang dapat dimengerti (kemungkinan juga dapat dibenarkan) terhadap agresi Muslim dalam upaya ekspansi jihad untuk menaklukkan dan menundukkan banyak wilayah Kristen dan yang terus memberikan ancaman pada orang-orang Kristen di Timur Tengah dan Eropa itu sendiri. Namun demikian, mereka yang terlibat dalam Perang Salib juga tidak terlalu mudah dibenarkan, dan bila kita memperhatikan cara mereka berperang berdasarkan norma-norma yang berlaku pada masa itu, yang pada jaman sekarang terlihat sangat mengejutkan/tidak dapat diterima. Permintaan maaf atas nama semua orang Kristen tidak mempunyai arti apa-apa bagi orang Kristen di Timur Tengah, seperti orang Armenia dan Asyur, yang telah mengalami genosida di tangan pasukan Islam dan kelompok fanatik Islam. Lebih jauh lagi, permintaan maaf semacam itu hanya akan memperkeras sikap Muslim yang membenarkan diri sendiri, mengkonfirmasi keyakinan mereka bahwa mereka tidak melakukan kesalahan apapun. Isu ini seharusnya menjadi bahan diskusi lebih lanjut dengan para pemimpin Muslim dimana semua pihak merasa menyesal dan ada saling mengampuni.

Orang Muslim telah menyambut permintaan maaf dalam Pernyataan Yale dan melaporkannya dengan luas dalam website mereka, memperhatikan bagaimana orang Kristen telah mengakui kesalahan mereka. Nampaknya sama sekali tidak ada referensi mengenai kekerasan Muslim apapun, baik di masa lalu maupun di masa kini, yang menjadi hutang bagi orang Muslim dan mereka harus meminta maaf untuk itu.

Mengklaim bahwa orang Kristen bertanggung-jawab atas ekses-ekses dalam “perang terhadap terorisme” sekali lagi memperkuat persepsi Muslim terhadap tanggapan-tanggapan negara-negara Barat mengenai terorisme Islam sebagai perang Kristen terhadap Islam. Ini dikompori oleh teori konspirasi Muslim mengenai konspirasi Kristen di seluruh dunia yang sudah ada pada masa lalu dan masih sampai sekarang (bersekutu dengan Yahudi) untuk menghancurkan Islam. Kecuali para penulis Yale sepakat dengan konsepsi-konsepsi Muslim yang keliru ini, setidaknya mereka harus mengklarifikasi isu ini. Ini termasuk menjelaskan bahwa negara-negara Barat bersifat sekuler, dan bukan negara Kristen, dan bahwa “perang terhadap terorisme” semata-mata adalah tanggapan politik dan militer negara-negara sekuler atas serangan terhadap mereka dan warga negara mereka.

Dalam “A Common Word” para sarjana Muslim menyatakan:

“Apabila kebebasan untuk beribadah kepada Tuhan sesuai dengan nurani tiap orang dibatasi, maka Tuhan tidak dihormati, sesama ditindas, dan Tuhan serta sesama tidak dikasihi”.

Jelas ini merupakan pernyataan yang pasti disetujui oleh semua orang. Namun demikian, para penulis Yale gagal melihat kesempatan ini untuk menuntut agar orang Muslim menghidupi klaim ini dan mempraktekkan apa yang mereka khotbahkan. Inggris mempunyai lebih dari 1700 mesjid untuk sekitar 3 juta orang Muslim; mesjid dalam jumlah yang sama juga terdapat di Perancis, Jerman dan Amerika. Arab Saudi bahkan tidak mengijinkan satu gereja pun bagi hampir sejuta orang Kristen yang tinggal disana, namun sejumlah sarjana Wahabian Saudi menandatangani surat Muslim tersebut. Di banyak negara Muslim, orang Kristen mengalami larangan-larangan yang penuh penghinaan jika akan membangun dan memperbaiki gereja, juga penghinaan terhadap simbol-simbol dan ekspresi kekristenan di depan umum. Orang Muslim di Barat umumnya tidak mengalami pelarangan seperti itu. Ada banyak ketidakseimbangan yang telah terjadi. Efek hukum Islam mengenai murtad, yang tidak disebutkan oleh para sarjana Muslim, dirasakan oleh banyak orang Muslim yang bertobat kepada kekristenan; mereka menderita penganiayaan berat di dunia Muslim manapun, bahkan di negara-negara Barat, sedangkan orang-orang yang memeluk Islam diberikan pengakuan dan kebebasan total serta keamanan di Barat. Orang Muslim bebas untuk mempropagandakan Islam di Barat, tetapi misi Kristen sangat dibatasi, atau dilarang sama sekali. Bukankah telah menjadi tanggung-jawab para pemimpin Kristen untuk mengambil setiap kesempatan yang ada untuk membahas masalah-masalah ini dan menolong saudara-saudari mereka yang menderita di negara-negara Muslim yang umumnya tidak berdaya menolong diri mereka sendiri?

Para penulis Yale mengekspresikan keinginan adanya pertemuan-pertemuan lanjutan di masa depan antara pemimpin Muslim dan Kristen pada segala tingkat untuk mengimplimentasikan prinsip kasih kepada Tuhan dan sesama yang telah mereka tunujukkan. Apakah mereka siap untuk menghadapi tuntutan pertama yang akan diajukan oleh para pemimpin Muslim, yaitu agar orang kristen menghentikan semua usaha-usaha penginjilan terhadap orang Muslim sebagai tanda niat baik mereka? Sudah tidak asing lagi diketahui bahwa misi Kristen terhadap orang Muslim dipandang sebagai agresi terhadap Islam, sementara dakwah Islam dipandang sebagai perintah yang ditetapkan Allah dan hak orang Muslim di segala tempat. Nampaknya ada semacam tren dalam misi Injili belakangan ini yang membedakan antara penginjilan yang diijinkan dan proselitasi yang dilarang. Orang Muslim dengan cerdik mendefinisikan ulang banyak bentuk penjangkauan Kristen sebagai proselitasi dan telah berhasil mencapnya sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima di media Barat, dunia akademi dan beberapa lingkaran Kristen. Skenario yang muncul di seluruh dunia adalah misi Kristen semakin dibatasi baik oleh negara-negara sekuler dan di negara-negara Muslim, sedangkan kegiatan dakwah Islam maju dengan pesat dan meluas di seluruh dunia. Bagaimanakah orang Kristen dapat menghadapi serangan kelompok militan Islam ketika kekristenan telah menjadi sangat terpecah dalam pendekatannya kepada Islam? Walaupun ada retorika damai di dalam “A Common Word”, Islam masih merupakan jalan satu arah dalam relasi praktisnya dengan orang Kristen dan orang non Muslim lainnya yang tinggal di tengah-tengahnya.

Konklusi

Belakangan ini tanggapan Kristen terhadap Islam banyak dan beragam. Ada yang menyarankan adanya dua posisi yang berlawanan: satu adalah menerima cita-cita Islam dan yang berikutnya adalah memandang Islam itu sendiri secara intrinsik jahat dan tidak usah berurusan dengannya. Tetapi Barnabas Fund percaya bahwa ada cara ketiga bagi orang kristen untuk berhubungan dengan orang Muslim, yaitu mengakui adanya dua bidang utama untuk didiskusikan. Bidang yang pertama berkaitan dengan orang Muslim dan Kristen yang hidup di tengah masyarakat dan yang satunya berkaitan dengan teologi dan spiritualitas. Barnabas Fund meyakini bahwa pilihan yang kedua bukanlah prioritas bagi dunia kita sekarang. Kita harus mengakui adanya perbedaan-perbedaan vital dalam teologi antara Islam dengan kekristenan yang tidak dapat dijembatani, dan oleh karena itu diskusi-diskusi teologi tidak bisa cukup produktif, walaupun dapat menghasilkan pertambahan pemahaman dan respek terhadap satu sama lain. Diskusi mengenai orang Muslim dan Kristen yang tinggal di tengah masyarakatlah yang merupakan prioritas dan urgensi, dan dari hal ini perubahan praktis dan positif dapat diharapkan terjadi. Oleh karena itu, seperti yang dikemukakan oleh Paus, diskusi dengan orang Muslim harus mencakup kesetaraan, hak azasi manusia dan kebebasan beragama secara penuh bagi kelompok-kelompok minoritas Kristen; bukan hanya kebebasan untuk beribadah tapi juga kebebasan untuk menyampaikan iman Kristen dan kebebasan untuk bertobat kepada kekristenan.

Para pemimpin Kristen dalam Pernyataan Yale akhirnya menyerahkan semuanya tanpa menerima apapun sebagai balasan. Para sarjana Muslim telah berhasil membuat orang-orang Kristen terpecah belah, sehingga melemahkan gereja dan memperkuat Islam. Sementara para sarjana Muslim telah menciptakan suatu front persatuan dan konsensus di kalangan orang Muslim, mereka juga berhasil memecah kekristenan, dan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Efek negatif surat ini akan sangat dirasakan oleh orang-orang Kristen yang adalah penduduk asli di negara-negara mayoritas Muslim dan masyarakat yang telah menderita berbagai bentuk tekanan Muslim, pelecehan dan penganiayaan secara langsung. Pernyataan Yale tidak menangani masalah serius hak azasi manusia dan kebebasan beragama yang dialami kelompok-kelompok minoritas Kristen, padahal itu tercantum dalam Artikel 18 dari United Nations Universal Declaration of Human Rights.

Dialog lintas agama belakangan ini membawa resiko yang harus jelas dipahami sebelum hal itu menjadi masalah:

1. Ada resiko orang-orang Kristen menjadi pihak yang senantiasa memberi dan orang Muslim hanya menjadi penerima semata. Ini terkandung dalam sifat dasar kedua agama tersebut. Kekristenan menekankan kelembutan, kerendahan, pengakuan, pertobatan, pengorbanan dan penyangkalan diri. Islam menjunjung tinggi kuasa, dominasi dan kehormatan. Kerendahan dan kelembutan di satu sisi dilihat sebagai hal yang memalukan dan tanda kelemahan yang harus disingkirkan dan dimanfaatkan. Orang Muslim mengalami kesulitan bila berada di pihak yang harus dipersalahkan oleh karena rasa malu, penghinaan dan kehilangan muka yang kemudian juga akan mereka alami. Orang Muslim biasanya akan mengedepankan diri mereka sebagai korban, membuat tuduhan terhadap kekristenan dan menuntut tindakan pembalasan sebagai kompensasi. Pada saat yang sama, mereka dengan keras akan menolak semua diskusi mengenai kesalahan Muslim seperti sejarah jihad yang bergelimangan darah dan penganiayaan terhadap orang-orang Kristen di negara-negara Muslim.

2. Orang Muslim seringkali terlibat dalam dialog dengan tujuan dakwah, atau memenangkan orang lain. Kedua agama ini percaya akan misi. Banyak orang Kristen merasa senang melihatnya sebagai proses dua arah, dimana masing-masing agama tersebut mempunyai kebebasan untuk menyampaikan ajarannya dan berusaha untuk meyakinkan orang lain. Muslim melihat dakwah sebagai jalan satu arah: hanya Islam yang merupakan wahyu Allah yang final dan sejati, dan yang berhak memunculkan diri. Orang-orang Kristen hanya mempunyai hak yang terbatas untuk beribadah di dalam gereja mereka masing-masing. Orang Muslim menolak semua upaya misi Kristen dan berusaha menekan mereka dan mencap mereka penipu dan jahat.

3. Orang-orang Kristen mempresentasikan diri mereka sebagai pihak yang rapuh dan terbuka mengenai pandangan, sikap dan tujuan-tujuan mereka. Orang Muslim mempunyai tradisi panjang menggunakan taqiyya (dusta, penipuan) jika mereka berada pada posisi inferior dan lemah; ini diijinkan oleh doktrin religius. Mengucapkan perkataan yang berbeda kepada pendengar yang berbeda adalah praktek yang sangat diterima orang Muslim. apa yang dikatakan pada suatu hari dalam sebuah konteks tertentu akan sangat berkontradiksi pada hari yang lain dan dalam konteks yang lain pula, padahal diucapkan oleh pemimpin yang sama. Dengan demikian pernyataan-pernyatan retorikal Muslim dan deklarasi bersama dengan orang Kristen mempunyai nilai yang terbatas, seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang Muslim sebagai agenda tersembunyi di belakangnya.

4. Perbendaharaan kata tertentu dipahami lain oleh orang Muslim. Ada resiko besar kesalahpengertian dan pembicaraan dengan arah tujuan yang berbeda. Sebagai contoh, kata “damai” bagi orang Muslim mengandung konotasi menegakkan damai dan keteraturan melalui penyebaran aturan dan otoritas Islam di seluruh dunia. Dalam surat Muslim kata “kasih” digunakan dalam Islam untuk mengekspresikan kesatuan monolitik Allah (tauhid) dan kewajiban untuk menaatinya secara implisit untuk medapatkan berkat-Nya, dan bukan seperti pandangan Kristen akan kasih Tuhan Trinitas yang tidak terbatas dan tanpa syarat kepada orang berdosa. Demikian pula, ketika orang Muslim mengklaim bahwa masyarakat Islam dalam sejarahnya bersikap toleran kepada non Muslim, yang mereka maksudkan adalah orang non Muslim tidak dibunuh atau diusir tetapi diijinkan untuk hidup dan tetap menjalankan keyakinan non Muslim mereka dengan syarat mereka menjalankan pembatasan-pembatasan yang diberlakukan pada mereka yang berstatus dhimmi. Ini sangat berbeda dengan pemahaman Kristen Barat modern mengenai toleransi yang berimplikasi kesetaraan penuh.

Sedihnya, kelihatannya tanggapan Katolik terhadap surat Muslim lebih sensitif terhadap isu-isu riil dalam relasi Muslim-Kristen daripada Pernyataan Yale. Orang Katolik menanggapi isu konteks sosial kebebasan beragama dan hak azasi manusia di dalam masyarakat Muslim dengan sangat serius, terutama karena hal itu berhubungan dengan kelompok-kelompok minoritas Kristen. Para penulis Yale nampaknya telah kehilangan atau mengabaikan sub-teks Muslim dan pesan implisitnya, serta realita penderitaan orang-orang Kristen di negara-negara Muslim. Apakah kelompok-kelompok minoritas Kristen ini harus dikorbankan lagi demi kepentingan pribadi orang-orang Kristen Barat?

No comments:

Post a Comment