Tuesday 8 March 2011

Bab 5 - Hubungan Antara Kristen dan Muslim

Bab 5

Hubungan Antara Kristen Dan Muslim

Setelah memperjelas hubungan antara kekristenan dan Islam secara teologis dan spiritual, dan setelah menggarisbawahi beberapa isu kontemporer penting yang harus diperhatikan orang Kristen mengenai Islam, lalu bagaimanakah seharusnya orang Kristen berinteraksi dan berelasi dengan orang Muslim?

Membangun persahabatan

Sejumlah batu sandungan dan komplikasi membuat tugas membangun persahabatan dengan orang Muslim agak sedikit lebih sulit dari membangun persahabatan dengan orang-orang non Kristen lainnya. Orang Kristen akan dibingungkan oleh cara orang Muslim yang mudah berubah dan tidak terduga dalam berhubungan dengan mereka. Tetapi seringkali ada rasionalisasi teologis di balik tindakan-tindakan dan reaksi-reaksi orang Muslim.

Banyak orang Muslim beranggapan bahwa Allah tidak senang jika mereka menjadikan orang Kristen sebagai sahabat. Ini berdasarkan sebuah ayat dalam Qur’an yaitu Sura 5:51 sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi Auliya’ (sahabat, pelindung, penolong), sebahagian mereka adalah Auliya’ bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi Auliya’ maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”

Bahkan ada hadith yang melarang orang Muslim memberi ucapan selamat kepada orang Kristen (Misalnya mengucapkan selamat merayakan Hari Natal – red), dan ada orang-orang Muslim yang memahami ayat ini secara harafiah.

“Utusan Allah (damai ada atasnya) berkata: Jangan menyalami/menyapa orang Yahudi dan orang Kristen sebelum mereka menyalami/menyapa kamu dan ketika kamu bertemu seorang diantara mereka di jalan, paksalah ia untuk pergi ke jalan yang paling sempit”.[1]

Sikap antipati terhadap orang Kristen didukung dengan kenyataan bahwa orang-orang Muslim yang saleh yang menunaikan sembahyang lima waktu sudah barang tentu, dalam doa-doa mereka, yang diulangi 17 kali sehari dalam bahasa Arab, mengucapkan Sura pertama dalam Qur’an yang dikenal dengan fatiha, yang dipandang sebagai Sura yang terpenting dari keseluruhan Qur’an. Ayat ke-6 dan 7 dari fatiha berbunyi sebagai berikut:

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Engkau telah anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (yaitu orang Yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (yaitu orang-orang Kristen)”

Walaupun dalam bahasa Arab ayat tersebut tidak memuat kata-kata yang ada dalam kurung, kata-kata tersebut ditambahkan dalam Qur’an terjemahan Inggris untuk menunjukkan pada orang Muslim bagaimana mereka harus menafsirkan teks ini berdasarkan tuntunan hadith, yaitu mereka harus berpikir bahwa orang Yahudi adalah orang-orang yang pantas dimurkai Allah dan orang Kristen adalah orang yang tersesat. Pesan seperti ini, diulangi 17 kali sehari, tidak mempermudah upaya membangun persahabatan dengan non Muslim.

Orang Kafir

Orang-orang yang berada di luar umma cenderung dihina dan ditolak sedangkan mereka yang berada di dalam umma akan diterima. Seorang non Muslim adalah seorang kafir (bentuk jamak kafirun atau kuffar). Dalam bahasa Inggris sulit sekali untuk menggambarkan penghinaan besar yang terkandung dalam istilah teknis ini. Menerjemahkannya sebagai “infidel” mengandung pengertian “musuh” namun masih kurang mencakup/menggambarkan kualitas penindasannya.

Kebiasaan orang Muslim menggunakan kata ini dalam percakapan dengan sesama Muslim menumbuhkan sikap penghinaan terhadap non Muslim. Walaupun Sir Iqbal Sacranie, Sekretaris Jendral Muslim Council of Britain, telah menghimbau agar orang Muslim Inggris tidak menggunakan istilah ini, namun kata ini telah digunakan dalam hidup sehari-hari. Dr. Taj Hargey mengatakan bahwa kata ini terdengar:

...ad infinitum dan ad nauseam. Kata itu ada disini. Kata itu ada bersama kita. Kami melihatnya sejak anda masih kanak-kanak, anda diajari gagasan bahwa orang-orang itu adalah kafir, mereka adalah orang-orang tidak beriman. Mereka tidak setara dengan anda. Mereka berbeda dari anda. Anda lebih superior daripada mereka karena anda mempunyai kebenaran, sedangkan mereka tidak mempunyai kebenaran...Jadi kita telah memiliki kata ini sejak kita masih kecil”.[2]

Penghalang yang ditimbulkan oleh penggunaan kata “kafir” ini dapat dibandingkan dengan penghalang yang lebih besar lagi dalam bersahabat dengan orang Pakistan, karena orang-orang Inggris berkulit putih biasanya menyebut mereka dengan sebutan “Paki”, meskipun biasanya orang Inggris kulit putih menggunakan perbendaharaan kata yang lebih sopan. Di Amerika Serikat sebutan-sebutan bernada rasial mengandung penghinaan yang serupa, dan dalam beberapa kasus mengemukakan superioritas suatu kelompok atas kelompok lainnya. Istilah kafir sama kasarnya dan sangat menyakitkan.

Pemberian-pemberian dan keramahtamahan

Di dunia Timur keramahtamahan dan pertukaran hadiah/pemberian adalah dua hal penting dalam menjaga relasi (demikian pula di Barat). Tetapi apa yang terjadi apabila seorang Kristen berusaha melakukan hal ini terhadap orang-orang Muslim konservatif? Seringkali mereka akan mendapati bahwa mereka diterima dengan sangat hangat dalam rumah-rumah orang Muslim dan dijamu dengan makanan yang enak, namun mereka tidak dapat membujuk orang Muslim untuk balik berkunjung ke rumah mereka. Jika seorang Muslim konservatif sampai berkunjung ke rumah seorang Kristen, maka mereka akan menolak untuk menikmati hidangan apapun yang disajikan tuan rumah. Ini lebih daripada sekadar menghindari makanan yang tidak halal karena ada jauh lebih banyak makanan “islami” yang dapat disajikan. Dua faktor penyebabnya adalah konsep kultural bahwa orang-orang Kristen secara religius “najis”, (dan ini timbul dari hukum-hukum yang bersifat diskriminatif mengenai orang Kristen dalam Syariah), dan kenyataan bahwa menerima jamuan/sajian makanan berarti berhutang kepada si tuan rumah. Sebagai tambahan, ada hadith-hadith yang mencatat mengenai ketidaksukaan Muhammad terhadap lukisan-lukisan yang biasa ditemukan di rumah-rumah orang Barat. Sebagai contoh:

“Abu Talha, seorang sahabat Rasul Allah dan salah seorang dari mereka yang berperang di Badr bersama Rasul Allah mengatakan padaku bahwa Rasul Allah berkata, ‘Malaikat-malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang mempunyai anjing atau lukisan’. Maksudnya adalah gambar-gambar binatang yang mempunyai jiwa”.[3]

Sementara orang Muslim di Barat menjadi semakin taat beragama, mereka semakin enggan memasuki rumah-rumah orang Kristen. Lebih jauh lagi, oleh karena anjing dianggap “najis”, seperti yang dikemukakan dalam hadith di atas, dan bersentuhan dengan anjing akan membuat seorang Muslim menjadi najis, banyak orang Muslim akan berusaha menghindari masuk rumah yang mempunyai anjing.

Berkenaan dengan pemberian-pemberian, seringkali orang Muslim adalah orang-orang yang suka memberi dengan murah hati namun tidak mau menerima. Imam lokal dengan senang hati akan memberikan Qur’an kepada pendeta lokal, namun akan menolak menerima Alkitab yang diberikan kepadanya sebagai balasan atas pemberiannya itu. Inilah yang dialami oleh Uskup dari Hildesheim, Jerman, yang dengan hangat diterima oleh imam mesjid. Sang Imam menghadiahkan Uskup tersebut sebuah Qur’an tetapi dengan sangat ketakutan menolak Alkitab yang berusaha diberikan oleh Uskup kepadanya sebagai pemberian balasan.[4]

Orang Muslim selalu siap menggunakan kesempatan-kesempatan misi, seperti memberikan Qur’an kepada orang non Muslim. tetapi mereka menjaga diri mereka sendiri terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan mereka dari Islam, seperti misalnya kitab suci agama lain. Sebuah fatwa dikeluarkan pada April 2008 oleh seorang mufti Afrika Selatan yang memberikan tuntunan bagi seorang Muslim di Uni Emirat Arab, yang kuatir karena telah menerima Alkitab yang diberikan padanya di tempat kerjanya, karena ia merasa ia tidak dapat menolaknya. Fatwa tersebut menasehatkannya agar ia menyerahkan Alkitab itu kepada seorang sarjana Muslim yang berkecimpung dalam bidang perbandingan agama, yang dapat menggunakannya sebagai sebuah referensi “demi menangkis keyakinan kekristenan modern yang bertujuan memberikan Dakwah kepada Islam”.[5]

Banyak orang Muslim merasa bahwa mereka telah berdosa apabila mereka sampai menyentuh Alkitab. Seorang pekerja Muslim di sebuah ritel besar di Inggris menolak melayani seorang pelanggan yang membeli buku anak-anak mengenai kisah-kisah Alkitab karena menurutnya buku itu “najis”.[6]

Buku panduan bagi orang-orang yang baru memeluk Islam mengatakan pada mereka sikap apa yang harus mereka miliki terhadap Alkitab:

“Kitab-kitab ilahi yang telah diwahyukan sebelumnya telah mengalami banyak pemalsuan, penambahan dan pembatalan, seperti yang dikatakan Allah dalam Qur’an. Oleh karena itu orang Muslim tidak diijinkan untuk membaca atau memandangnya. Kecuali bagi orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dan ingin menunjukkan apa yang telah terjadi (dalam kitab-kitab itu) yaitu distorsi-distorsi dan kontradiksi-kontradiksinya”.[7]

Di sisi lain, orang-orang Muslim yang mencari realita spiritual dan tidak menemukannya dalam Islam akan sangat berterimakasih ketika menerima Alkitab atau DVD film Yesus. Orang Kristen tidak boleh berhenti memberikan materi-materi semacam itu, karena merupakan sarana bagi orang Muslim untuk menjadi Kristen, namun harus menyadari akan kemungkinan pemberian mereka ditolak.

Tempat-tempat ibadah

Saling mengunjungi gereja lokal dan mesjid lokal nampaknya merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan hubungan antara Kristen dengan Muslim. Bahkan, nampaknya lebih baik lagi jika mengundang orang Muslim untuk mengikuti ibadah atau perayaan-perayaan Kristen. Namun demikian, bagi orang-orang Kristen yang berusaha untuk menaati pengajaran Alkitab, hal ini bukan saja merupakan kompromi namun mendekati murtad.

Para pemimpin Muslim kemungkinan besar akan lebih senang menerima undangan seorang Kristen untuk pergi ke gereja daripada diundang seorang Kristen ke rumahnya. Kadangkala saran awal untuk pergi ke gereja dapat datang dari orang Muslim. Biasanya polanya adalah imam akan berkhotbah di gereja dan pendeta hanya berdoa di mesjid. Ini dilihat oleh orang Muslim sebagai kemenangan bagi mereka. Sebagaimana dalam hal pertukaran kitab suci, orang-orang Muslim akan menggunakan setiap kesempatan untuk menyaksikan keyakinan mereka dan menghindari upaya kesaksian iman kristiani.

Dalam film dokumenter yang telah tersebar luas yaitu “Three Faiths, One God: Judaism, Christianity, Islam” (2005, Anteur Productions) para pemimpin Muslim seperti Imam Yahya Hendi, Ustad untuk Universitas Georgetown di Washington D.C, diperlihatkan sedang memberi ceramah di mimbar-mimbar Kristen dan memimpin sekelompok anak Kristen untuk bersembahyang secara Islam. Sementara itu para pemimpin Kristen seperti Uskup John Chane dari Episcopal Diocese di Washington DC, dan yang lainnya terlihat di sepanjang film dokumenter itu diwawancarai di hadapan para jemaat lintas agama mengenai kebenaran dan keindahan Islam, dan apa yang mereka sebut sebagai “kesamaan antara teks-teks kitab suci dan praktek-praktek religius” dalam “agama-agama Abraham”.[8] Film dokumenter ini telah ditayangkan di stasiun televisi publik (PBS) di Amerika, ditayangkan secara terbuka di acara-acara resmi seperti acara yang diadakan oleh Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat,[9] dan digunakan dalam berbagai acara gereja dan lintas agama.

Sangatlah mengejutkan melihat “pertukaran” yang berat sebelah ini seringkali terjadi. Nampaknya orang Kristen hanya diharapkan untuk belajar dan orang Muslimlah yang bertugas untuk mengajar. Orang-orang Kristen yang terlibat dalam inisiatif-inisiatif seperti itu harus berupaya keras agar ada keseimbangan antara Kristen dan Muslim dalam hal menyaksikan iman mereka dan mendengar apa yang hendak disampaikan pihak lain.

Menyedihkan sekali melihat mengapa beberapa pemimpin gereja nampaknya menganjurkan semacam relasi yang timpang dengan mengundang orang-orang Muslim untuk menyaksikan iman islami mereka dari mimbar gereja tanpa menjamin adanya kesempatan yang sama bagi orang Kristen untuk menyaksikan iman kristiani mereka kepada orang Muslim. David Gillett, Uskup Anglikan di Bolton dan ketua II dari Forum Kristen-Muslim di Inggris, menyarankan 5 cara untuk mengembangkan relasi dengan orang Muslim di Inggris, yang dimulai dengan “Berapa banyak di antara kita yang telah mengundang seorang Muslim untuk berbicara di tengah jemaat kita mengenai keyakinan mereka?”[10] Banyak orang Kristen yang mempunyai kerinduan untuk mengatakan kepada Uskup Gillett agar tidak membangun hubungan Kristen-Muslim dengan cara mengijinkan Islam berkhotbah kepada orang-orang Kristen, dengan alasan Islam tidak hanya berkontradiksi dengan iman Kristen tapi lebih jauh lagi Islam menyerukan pembunuhan atas orang-orang Muslim yang menjadi Kristen. Mereka akan memintanya untuk mencari cara yang lebih netral dan cara yang lebih seimbang dalam mengembangkan relasi yang baik tanpa adanya dominasi yang berat sebelah dari satu agama terhadap agama yang lainnya. Pada puncaknya, kebenaran Alkitab mengatasi baik pragmatisme politik maupun hidup komunitas yang baik, serta relasi-relasi antar agama. Orang-orang yang tidak memperhatikan hal ini akan mendapati diri mereka berada di jalan menuju murtad.

Kepemimpinan Muslim di acara-acara Kristen tidaklah sama dengan mengundang inividu-individu Muslim untuk serta dalam ibadah jemaat Kristen. Stephen Lowe, Uskup di Hulme, mendesak orang-orang Kristen di Manchester, Inggris, untuk mengundang orang-orang Muslim untuk menyaksikan iman islami mereka kepada orang Kristen, untuk mendirikan organisasi gabungan seperti dewan sekolah Kristen/Muslim, dan mengganti perayaan tahunan “June Whit Walk” sebuah perayaan orang Kristen di Whitsun) di tahun berikutnya dengan acara gabungan Kristen –Muslim “Walk of Faiths”.

“Salah satu hari terbaik bagi saya dalam setahun adalah saat perayaan June Whit Walks karena itulah hak istimewa bagi saya untuk berjalan bersama Ketua Muslim Manchester dan Walikota Salford dalam acara yang merupakan inti perayaan kristiani”.

Mengapa kita tidak menjadikan perayaan ini setiap tahunnya sebagai “Walk of Faiths” dimana kita bersama merayakan di jalan-jalan Manchester apa yang menyatukan kita dan bukan memperhatikan apa yang memecah-belah kita? Betapa ini akan menjadi kesaksian mengenai kesatuan kita dalam dunia yang sudah terpecah-belah dan hancur ini.[11]

Hanya sedikit pemimpin Muslim yang bermimpi mengkompromikan iman mereka demi perasaan orang Kristen atau menunjukkan solidaritas lintas agama. Jadi sangat sulit dimengerti mengapa Uskup Lowe ingin membalikkan kesempatan-kesempatan bagi kesaksian Kristen menjadi kesempatan-kesempatan mempromosikan iman islami, yang secara efektif sebenarnya berarti menetralisir pengajaran Kristen. Lebih jauh lagi, “mengedit” iman Kristen dapat sangat ditafsirkan oleh orang Muslim sebagai pengakuan akan superioritas Islam. Situasi yang kadangkala muncul adalah permintaan orang Muslim yang belum mempunyai mesjid mereka sendiri agar dapat menggunakan gedung gereja untuk mengadakan sembahyang Jumat. Mengiyakan permintaan ini nampaknya merupakan sikap bertetangga yang baik, terutama jika gereja tidak digunakan pada saat makan siang hari Jumat. Tetapi isu mengenai sikap orang Muslim terhadap teritorial (lihat halaman 21, 68) harus dipertimbangkan, demikian pula adanya realita dimensi spiritual dan terutama diucapkannya doa-doa kutuk (lihat halaman 37-39). Bahkan walapun doa kutuk tidak diucapkan, pengakuan iman Islam yang diucapkan setiap kali seorang Muslim bersembahyang, secara spesifik menyangkali kebenaran Injil Kristen dengan kalimatnya yang berbunyi “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah” (lihat halaman 50). Bolehkah gedung gereja menjadi tempat penegasan anti Kristen seperti itu? Faktor lainnya yang harus diperhatikan adalah pesan yang terkandung dalam penggunaan ganda gedung gereja ini mengatakan kepada komunitas lokal bahwa “Islam dan Kristen adalah satu dan sama”.

Dengan demikian hendaknya tidak menggunakan gedung gereja maupun mesjid untuk mengadakan pertemuan-pertemuan Kristen-Muslim, namun sebaiknya menggunakan tempat/gedung yang netral.

Mesjid-mesjid baru

Masalah sulit lainnya bagi orang Kristen adalah ketika orang Muslim berusaha mendirikan mesjid di wilayah lokal mereka. Dalam demokrasi liberal Barat, awalnya ini tidak terlihat sebagai suatu masalah – tentunya adil jika mengijinkan mereka membangun tempat ibadah mereka sendiri dan memfasilitasi mereka dalam mendapatkan ijin untuk mendirikan bangunan. Dengan pemikiran yang sama, orang Kristen akan merasa bahwa mereka sedang menunjukkan kasih Kristus jika mereka mendampingi orang Muslim dalam proyek pembangunan mesjid mereka, sebagai contoh dengan membantu mengumpulkan dana. Namun ada implikasi-implikasi yang harus diperhatikan dengan seksama.

Pertama-tama, adanya isu teritori religius, bukan hanya ideologi dan spiritualitas tapi juga hal-hal yang bersifat praktis. Sebuah mesjid mengkonsolidasi dan menguatkan komunitas Muslim, baik secara psikologis maupun fisik. Mesjid senantiasa akan melemahkan upaya-upaya penjangkauan apapun yang dilakukan gereja di wilayah itu, seperti menjangkau orang-orang muda Muslim melalui kelompok-kelompok remaja gereja. Harus diajukan pertanyaan mengenai apakah ukuran gedung tersebut proporsional dengan jumlah orang Muslim di wilayah itu. Pertanyaan lainnya adalah ukuran besarnya mesjid itu dibandingkan dengan gedung gereja yang terdekat (yang secara mengejutkan ternyata dapat sangat berdekatan). Orang Muslim seringkali mendirikan mesjid sangat dekat dengan gereja (bahkan berdampingan – red) dan lebih tinggi atau lebih besar daripada gereja – untuk mengilustrasikan melalui bata dan semen akan superioritas mereka. Orang Kristen akan merasa bahwa berkompetisi dalam hal status yang kelihatan seperti itu bukanlah sikap yang kristiani, namun setidaknya mereka harus menyadari bagaimana cara berpikir orang Muslim di lingkungan mereka, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah persuasi teologis mesjid – apakah akan menganjurkan radikalisme? Akhirnya, berkenaan dengan isu mengenai keadilan dan kesetaraan. Sah-sah saja jika kita mengalihkan perhatian kita dari komunitas lokal dan mengarahkan pandangan kita kepada tempat-tempat ibadah di seluruh dunia. Ada banyak konteks dan daerah dengan penduduk mayoritas Muslim yang mempersulit orang Kristen dalam mendapatkan ijin untuk mendirikan bangunan gereja yang memadai. Ini terjadi di negara-negara yang menjadi tujuan utama para wisatawan Barat untuk berlibur, sebagai contoh, Malaysia, dan Mesir. Di Arab Saudi tidak ada satupun gedung gereja boleh didirikan. Dapatkah ini menjadi argumen dalam usaha untuk mendapatkan ijin bagi kelompok minoritas Kristen di tengah masyarakat Muslim (untuk membangun gereja – red) sebelum mengijinkan kelompok minoritas Muslim di Barat membangun sebanyak mungkin mesjid sesuka hati mereka?

Rt. Rev. James Jones, Uskup Anglikan di Liverpool, Inggris, yang adalah seorang yang injili, telah setuju untuk menjadi pendukung renovasi sebuah mesjid lokal. Keputusannya itu diambil berdasarkan perintah “Kasihilah sesamamu manusia”. Ia juga berharap tindakannya itu akan memberikan contoh dalam hal mendukung dan menghargai kelompok religius minoritas. Pertanyaan-pertanyaan kemudian muncul mempersoalkan tindakannya yang meminjamkan namanya untuk mendukung pembangunan tempat ibadah sebuah keyakinan yang ajarannya berkontradiksi dengan ajaran Alkitab. Ada keraguan akankah ia juga akan menerima undangan untuk menjadi pendukung pembangunan tempat ibadah non Kristen lainnya, seperti gereja Mormon, dan oleh karena itu sulit dimengerti mengapa ia membuat pengecualian terhadap Islam.

Ikut serta dalam ibadah Islam

Kadangkala orang Kristen mengembangkan hubungan yang baik dengan orang Muslim dengan cara turut melakukan disiplin-disiplin spiritual Islam. Niat baik yang juga merupakan sebuah pengorbanan ini harus dipikirkan dengan kewaspadaan besar. Sebagai contoh, ada orang-orang Kristen yang berpuasa bersama orang Muslim selama bulan Ramadan. Namun apakah artinya tindakan ini dalam ranah spiritual? Penekanan spiritual utama bulan Ramadan adalah “Malam Kuasa” (Lailatul Qadar – red) yang menandai tanggal Muhammad menerima wahyu Qur’an yang pertama.[12] Bolehkah seorang Kristen terlibat dalam perayaan sesuatu yang sangat bertentangan dengan Injil? Sebagai contoh, ada orang-orang Kristen yang berdoa bersama orang Muslim pada saat berbuka puasa juga sebelum memulai puasa setiap hari. Memang tidak ada masalah bila seorang Kristen berdoa sebelum ia mengakhiri puasanya, namun situasinya sangat berbeda dimana si Kristen ikut serta dalam doa sebelum memulai puasa. Dalam doa yang diucapkan sebelum memulai puasa Islam ada pengucapan pengakuan iman Islam (kalimat Syahadat) dan fatiha, dan orang Kristen yang mengucapkan kata-kata ini secara efektif telah menyangkali imannya. Relasi Kristen-Muslim harus bebas dari “sentimentalitas terhadap Kristen” dan roh dhimmi yang mewajibkan orang Kristen untuk tunduk dan senantiasa harus menyenangkan Muslim. Mengaburkan batasan-batasan yang ada sama sekali tidak menolong terbangunnya hubungan yang baik. Sama halnya dengan kehidupan bertetangga, batasan-batasan yang jelas akan membawa kepada hubungan yang lebih baik.

“Dialog”

Dalam gereja Barat, dan terutama di kalangan kaum Injili, ada perdebatan sengit mengenai bagaimana seharusnya “berdialog” dengan orang Muslim. Orang-orang Kristen Barat semakin menyadari adanya kebutuhan untuk memahami Islam dan orang Muslim, untuk memupuk relasi, mengupayakan toleransi, dan mencari kesamaan demi tercapainya perdamaian.

Namun demikian, kebanyakan debat kontemporer di gereja Barat terfokus pada isu-isu praktis mengenai bagaimana berelasi dengan orang Muslim, yang nampaknya sangat mendesak dan dengan demikian menjadi lebih penting daripada bagaimana memahami Islam dan ekspresi-ekspresi kontemporernya, yang seringkali diabaikan atau tidak diteliti.

Jika kita mendengar tentang inisiatif-inisiatif “dialog” lintas agama antara para pemimpin Kristen dengan para pemimpin Muslim, biasanya yang dimaksudkan adalah debat dan diskusi, boleh jadi mengenai hal-hal tertentu yang mendapat perhatian yang sama dari kedua belah pihak. Pendekatan ini mengandung beberapa resiko, yang pertama adalah ambiguitas istilah “dialog”.[13] Istilah dalam Perjanjian Baru dialegomai, seperti yang digunakan Paulus (Kisah 17:17) berarti argumen dengan sudut pandang yang meyakinkan para pendengar. Bagi Paulus, dialog adalah suatu bentuk penginjilan. Paulus tidak mengumpulkan para pemimpin pagan di sekitar meja bundar untuk berdiskusi mengenai kesamaan religius untuk saling memperkaya. Melainkan, ia berargumentasi dengan mereka dalam usaha untuk menyadarkan mereka (Kisah 17:22-31). Paulus mempunyai keinginan yang membara untuk membawa orang agar berjumpa dengan Tuhan yang telah disalibkan dan bangkit.

Namun demikian, banyak orang Kristen yang terlibat dalam dialog, tidak mempunyai niat untuk mengajak orang Muslim yang berbincang dengan mereka untuk menjadi Kristen, dan hanya berharap mendapatkan kesamaan-kesamaan yang dapat disepakati oleh semua pihak. Pendekatan yang mereka lakukan seperti mengadakan pertemuan-pertemuan lebih merupakan perbincangan, dan bukan dialog seperti yang dipahami oleh Perjanjian Baru. Hanya ada sejumlah kecil orang Kristen yang menggunakan dialog sebagai titik untuk memulai penginjilan. Oleh karena itu, mungkin lebih baik menggambarkan pertemuan-pertemuan seperti itu, dengan lebih netral dan akurat, sebagai “pertemuan-pertemuan diskusi”.

Di sisi lain, orang Muslim biasanya akan mengambil semua kesempatan yang ada untuk memperjuangkan tujuan Islam, dan hal itu juga mencakup menggunakan inisiatif untuk berdialog dalam upaya untuk memenangkan orang Kristen kepada Islam. Sura 29:46 menginstruksikan orang Muslim agar:

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang lalim di antara mereka, dan katakanlah: ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang telah dturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri’”.

Studi yang dilakukan oleh World Assembly of Muslim Youth (WAMY) mengenai Dialog Kristen Muslim menunjukkan bagaimana orang Muslim harus menggunakan kesempatan-kesempatan dialog untuk meyakinkan orang Kristen akan superioritas Qur’an terhadap kitab-kitab suci Kristen. “”Menggunakan Qur’an sebagai standar...Kamu dapat menjelaskan Alkitab dan mengoreksi prasangka orang Yahudi dan Kristen dengan konteks Qur’an. Si penulis mengemukakan bahwa Qur’an sebagai ‘Kitab Suci yang diwahyukan terakhir’”, dapat digunakan sebagai standar untuk menghakimi kitab-kitab suci lain karena Qur’an “tidak pernah dipalsukan atau diselewengkan” ia mengutip Sura 2:2 dan Sura 15:9 yang berbicara mengenai reabilitas isi Qur’an, sedangkan “semua kitab suci lainnya (Taurat, Mazmur, Injil, dan lain-lain) telah dipalsukan dengan cara menambahkan, menghapus atau mengubah aslinya”.[14] Argumen bahwa kita suci orang Muslim adalah “yang diwahyukan terakhir” (adalah wahyu penutup) dari semua kitab suci lainnya sangat penting bagi orang Muslim karena itu merupakan dasar superioritas agama mereka terhadap agama-agama lainnya. Dengan demikian ini berimplikasi pada misi dan pertobatan.[15]

Ironisnya, pemahaman orang Muslim mengenai “dialog” lebih sejalan dengan pemahaman Paulus mengenai kata tersebut, sedangkan banyak orang Kristen sendiri tidak sejalan dengan pemahaman Paulus. Orang Muslim merasa sulit percaya bahwa orang Kristen tidak berusaha untuk memenangkan mereka selama proses dialog; mereka tidak dapat mengerti mengapa orang Kristen tidak menggunakan kesempatan yang baik ini untuk penginjilan. Sebagai akibatnya, seringkali mencurigai dialog semacam ini adalah suatu bentuk penipuan Kristen.

Beberapa resiko lainnya bagi orang Kristen yang terlibat dalam perjumpaan-perjumpaan seperti itu adalah sebagai berikut:

1. Ada kecenderungan orang-orang Kristen akan senantiasa menjadi pihak yang memberi, sedangkan orang Muslim hanya menerima. Hal ini merupakan sifat dari kedua agama tersebut. Seperti yang telah kita lihat, kekristenan menekankan kelembutan, kerendahan hati, pengakuan, pertobatan, pengorbanan dan penyangkalan diri. Islam meninggikan kuasa, dominasi, dan kehormatan. Orang Muslim biasanya akan menampilkan diri sebagai korban, menuduh kekristenan dan menuntut tindakan-tindakan penebusan. Pada saat yang sama, mereka akan dengan keras menolak diskusi apapun mengenai kesalahan orang Muslim seperti sejarah jihad yang bergelimang darah (yang biasanya mereka sangkali) dan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Kristen di tengah lingkungan Muslim.

2. Kata-kata kunci dipahami secara berbeda oleh orang Muslim dan orang Kristen, sehingga ada resiko kesalahpahaman yang besar dan perbincangan yang tujuannya saling berseberangan. Sebagai contoh, kata “damai” bagi orang Muslim mengandung konotasi menegakkan damai dan keteraturan dengan menyebarkan pemerintahan dan otoritas Islam di seluruh dunia.[16] Demikian pula, ketika orang-orang Muslim mengklaim bahwa berdasarkan sejarah, masyarakat Islam telah bersikap toleran terhadap non Muslim, yang mereka maksudkan adalah orang non Muslim tidak dibunuh, diusir atau dipaksa memeluk Islam. Ini sangat berbeda dengan pemahaman yang dimiliki oleh orang-orang Kristen modern mengenai toleransi, yang berimplikasi adanya kesetaraan penuh status dan hak manusia. Kata lain yang memiliki pengertian dan konotasi yang berbeda adalah “kesetaraan” itu sendiri, “pembelaan diri”, “terorisme”, “tidak bersalah”, “puasa” dan “Roh Kudus”, serta masih banyak yang lainnya.

3. Ada orang-orang Muslim yang memandang interaksi apapun dengan orang Kristen sebagai pembenaran terhadap penggunaan taqiyya (penipuan) demi tujuan Islam. Seperti yang telah dibahas, ada yang berpandangan bahwa orang Muslim diijinkan untuk membatalkan kesepakatan yang telah dibuat dengan non Muslim. Jadi, kesepakatan atau sumpah yang dibuat oleh orang Muslim tidak dapat sungguh dipercayai, demikian pula dengan informasi faktual yang diberikan tidak dapat langsung diterima sebagai kebenaran.

Dengan mengingat faktor-faktor ini, sangat sulit menjamin bahwa diskusi-diskusi formal Kristen – Muslim tidak hanya semata-mata menjadi perbincangan. Diskusi semacam ini – yang sangat kurang diwarnai kejujuran, integritas, transparansi atau kebenaran – hanya akan menghasilkan perdamaian jangka pendek. Hanya jika diskusi tersebut membahas isu-isu riil dalam masyarakat dan dengan kejujuran serta keterbukaan berusaha untuk mengembangkan metode-metode untuk hidup berdampingan dan memperbaiki perlakuan terhadap kelompok minoritas di kedua belah pihak, maka proses diskusi ini akan menjadi sesuatu yang sangat bermakna.

Ketidakadilan besar yang diderita kelompok-kelompok minoritas Kristen di dunia Muslim tidak boleh dilupakan oleh orang-orang Kristen Barat yang terlibat diskusi dengan orang Muslim di Barat. Jika hal ini tidak dimunculkan dalam diskusi, maka kelompok-kelompok minoritas tersebut akan dikhianati oleh saudara-saudari Kristen mereka yang ada di Barat; mereka telah dikorbankan demi kedamaian di jalan-jalan yang ada di Barat.

Ini sama dengan menambahkan penghinaan kepada cedera yang telah dialami jika “dialog” orang-orang Kristen di Barat dengan otoritas Muslim di negara-negara Muslim tidak melibatkan orang-orang Kristen nasional. Orang-orang Kristen di Barat harus menolong dan menguatkan gereja-gereja nasional di negara-negara Muslim, yang berada pada posisi yang sangat rapuh. Gereja-gereja Barat harus berhati-hati menempatkan posisi mereka agar dalam berdialog dengan orang Muslim mereka tidak mengabaikan gereja nasional. Jelasnya dengan memperlakukan orang-orang Kristen nasional sebagai anak-anak, yang kurang berhikmat atau tidak mampu berbicara pada pemerintah Muslim mereka.

Lebih jauh lagi, sebuah “perjumpaan” dapat diuji kemurniannya dengan cara apakah kedua belah pihak, yaitu Kristen dan Muslim, bersedia menerima para petobat baru dari kedua belah pihak untuk berbicara. Yang seringkali terjadi adalah orang-orang Muslim yang terlibat dalam sebuah dialog akan menampilkan orang-orang kulit putih yang baru memeluk Islam, tetapi kelompok Kristen tidak diijinkan untuk menampilkan orang Kristen yang berasal dari latar-belakang Muslim.

Contoh dahsyat mengenai dialog Kristen-Muslim terjadi sekitar tahun 2007-2008 yang dimulai dengan dikeluarkannya sebuah surat publik formal (“A Common Word Between Us And You”) yang diorganisir oleh Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, Yordania, dan ditanda-tangani oleh 138 ulama Muslim. pada 13 Oktober 2007 surat terbuka tersebut dikirimkan kepada para pemimpin Kristen di seluruh dunia.[17]

Pada bulan berikutnya, pada 18 November 2007, para sarjana dan pemimpin Kristen, yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, merespon melalui satu halaman penuh di The New York Times. Surat itu, yang berjudul “Loving God and Neighbor Together: A Christian Response to ‘A Common Word Between Us and You’”, ditulis oleh orang-orang Kristen Injili di Yale Center for Faith and Culture, dan ditandatangani oleh lebih dari 300 pemimpin Kristen, sejumlah besar diantara mereka adalah kaum Injili Barat.[18] Namun demikian, ada banyak orang Kristen lainnya yang menolak pernyataan Yale Center oleh karena ambiguitas teologinya dan karena dengan naif dan tidak kritis telah mengikuti agenda yang dirancang oleh orang Muslim. Beberapa diantara orang-orang yang menandatangani pernyataan Yale kemudian menarik kembali dukungan mereka. Sementara para penulis pernyataan Yale sangat meyakini teologi mereka, dapat dikatakan bahwa mereka telah bertingkah seperti kaum dhimmi, membungkukkan badan untuk menyenangkan orang Muslim. “Pragmatisme teologis” seperti itu hanya akan mengolok-olok orang Kristen di mata orang Muslim yang berdialog dengan mereka. Oleh karena orang Muslim akan beranggapan orang Kristen tidak bersungguh-sungguh dengan keyakinan mereka, atau sedang melakukan “taqiyya Kristen”, atau berusaha menyenangkan orang Muslim karena mereka takut. (analisa terperinci terhadap pernyataan Yale Center terdapat dalam bagian Apendiks, halaman 107-128)

Pemerintah-pemerintah Barat semakin banyak menggunakan “dialog” sebagai sebuah metode untuk menangani perang ideologi antara Islam dengan Barat. Dengan kata lain, mereka berusaha menggunakan gereja sebagai sebuah sarana untuk mendekati dunia Muslim guna menetralisir teologi kekerasan, menganjurkan toleransi, dan membangun hubungan-hubungan kerjasama. Bahayanya adalah, praktek ini akan membangkitkan keyakinan yang keliru di kalangan orang Muslim bahwa semua bangsa Barat berideologi Kristen, dan oleh karena itu membenarkan penganiayaan terhadap kelompk-kelompok minoritas Kristen di negara-negara Muslim oleh kelompok-kelompok islamis radikal. Politisasi gereja demi kepentingan politik Barat seperti ini terjadi pada masa kolonial dan mendatangkan konsekuensi yang berat bagi gereja yang ada di dunia Muslim dewasa ini. Ini juga akan menghilangkan keefektifan gereja Barat berkaitan dengan kesaksiannya kepada kelompok minoritas Muslim di Barat.

Kerjasama Kristen-Muslim dalam Proyek-proyek Non-religius

Kadangkala dikatakan bahwa adalah baik bagi orang Kristen dan orang Muslim untuk berusaha menemukan bidang-bidang yang dapat sama-sama diperhatikan, dimana mereka dapat bekerja bersama. Bidang-bidang tersebut mencakup melindungi keluarga tradisional, isu-isu anti aborsi, ekologi, dan pemberantasan kemiskinan. Logika di balik saran ini adalah baik orang Kristen maupun orang Muslim sama-sama adalah anggota masyarakat dan harus berusaha mengupayakan kesejahteraan bersama. Dalam kerjasama semacam ini, orang Kristen dapat kurang memahami tujuan-tujuan orang Muslim; penting bagi orang Kristen untuk pertama-tama mempunyai pengetahuan yang realistis mengenai natur Islam, agendanya dan bagaimana orang Muslim memandang hubungan mereka dengan orang Kristen.

Secara tradisional ada dua sudut pandang berkenaan dengan orang Kristen yang bekerja bersama kelompok-kelompok lain untuk mencapai perubahan sosial. Pertama adalah menghindari bekerja bersama orang non Kristen dan semata-mata mengandalkan Tuhan dan percaya bahwa Ia akan bekerja melalui orang-orang Kristen. Yang kedua adalah bekerja bersama orang-orang yang bersehati yang dimotivasi oleh prinsip-prinsip Kristen apakah mereka adalah orang Kristen yang sungguh-sungguh atau tidak. Contoh untuk pandangan yang kedua ini adalah William Wilberforce dan penghapusan perdagangan budak di Kerajaan Inggris.

Namun demikian, pada jaman sekarang pendapat yang kedua ini telah diperluas dengan memasukkan orang-orang dari agama lain, terutama orang Muslim. Muncul pertanyaan sehubungan dengan mengapa ada batas yang harus ditarik terhadap agama-agama lain. Mengapa tidak melibatkan juga Saksi Yehovah, atau orang-orang yang mempunyai niat yang tulus yang adalah kaum humanis dan ateis? Mereka juga sama mampunya dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan baik yang dimotivasi oleh nilai-nilai yang baik. Kita harus benar-benar berpikir dalam menentukan batasan-batasan orang-orang yang kita ajak bekerja bersama. Kekacauan besar akan tercipta jika mementingkan kelompok-kelompok agama seakan-akan mereka mempunyai kesamaan nilai, sedangkan orang yang tidak beragama tidak memilikinya, atau seakan-akan semua agama mempunyai nilai-nilai yang sama dengan kekristenan. Ini akan mengirimkan pesan bahwa pada dasarnya semua agama adalah sama. Dimana kita harus terlibat dalam tujuan-tujuan umum – dan ini menjadi semakin diperlukan dalam dunia dewasa ini – bukankah kitapun harus bekerja bersama orang-orang yang berniat baik (apakah mereka beragama atau tidak) dan bukan hanya secara spesifik dengan orang beragama, misalnya orang Muslim? Sulit sekali menemukan dalam Alkitab adanya anjuran untuk melakukan kerjasama lintas agama. Kenyataannya, dapat dikatakan bahwa kerjasama dengan agama-agama lain sebenarnya membawa kemerosotan bagi Israel dan mendatangkan penghakiman ke atas umat Tuhan.

Kerjasama Kristen-Muslim dalam Bantuan Lintas Laut, Tanggap Bencana dan Pengembangan

Bencana alam seperti kelaparan, gempa bumi dan tsunami mempengaruhi seluruh populasi, apapun agama mereka. Bantuan-bantuan dalam situasi seperti itu nampaknya merupakan sarana ideal bagi orang Kristen untuk menunjukkan kasih mereka dengan bekerja bersama dan turut mendanai proyek-proyek inisiatif Muslim. Namun demikian, harus diingat bahwa ketika orang Muslim memberikan zakat, ini digunakan untuk kepentingan sesama mereka orang Muslim (lihat halaman 23). Berdasarkan teologi ini, lembaga-lembaga bantuan Muslim biasanya tidak membantu semua korban bencana alam tanpa memandang agamanya. Aturannya, lembaga Muslim hanya membantu orang Muslim. Setelah tsunami pada 26 Desember 2004, banyak orang Kristen di Propinsi Aceh (NAD) di Indonesia (yaitu propinsi yang sangat islami) mendapati bahwa mereka tidak mendapat bantuan kecuali mereka setuju untuk masuk Islam. Ini sudah biasa terjadi.

Sangat sulit bagi orang Kristen untuk memahami cara berpikir yang demikian, yang sangat mendarah-daging dalam jiwa Muslim, dan ini seringkali tidak dikatakan namun diterima begitu saja. Dalam Islam sama sekali tidak ada konsep mengasihi orang di luar umma atau mengasihi musuh (demikian pula sangat sulit bagi orang Muslim untuk mengerti mengapa orang Kristen suka memberi bantuan kepada orang yang beragama lain, tanpa ada ikatan apapun – suatu kebijakan yang seringkali mendatangkan kecurigaan orang Muslim). Juga penting disadari bahwa walaupun suatu lembaga bantuan Muslim mengatakan di website-nya bahwa lembaga itu membantu semua orang dari berbagai agama, namun tidaklah demikian yang terjadi di lapangan. Tentu saja, kelompok minoritas Kristen di negara mayoritas Muslim tidak berharap menerima bantuan dari lembaga-lembaga Islam. Bahkan bantuan pemerintah tidak akan sampai pada mereka jika pejabat lokal yang berwenang menyalurkannya memutuskan untuk tidak memberikannya kepada desa-desa Kristen atau keluarga-keluarga Kristen.

Faktor lainnya yang diberlakukan oleh beberapa lembaga bantuan Muslim adalah keterkaitan yang erat (tumpang tindih) dalam pikiran Muslim antara menolong orang Muslim yang berkekurangan dengan mendukung tujuan Muslim secara umum. Ini berarti sumbangan bagi “fakir miskin” pada akhirnya akan digunakan untuk mendanai dakwah atau bahkan jihad.

Jika orang Kristen hendak memberikan sumbangan ke lembaga-lembaga bantuan Muslim atau berhubungan dengan lembaga-lembaga tersebut, mereka harus menyadari bahwa mereka turut melakukan diskriminasi terhadap saudara-saudari Kristen mereka sendiri, bahkan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang sangat anti Kristen. Ketika yayasan Christian Aid menyumbangkan £250.000 kepada Islamic Relief untuk menolong para korban gempa bumi di Pakistan pada Oktober 2005, apakah mereka sadar jika orang-orang yang telah memberikan sumbangannya melalui sebuah yayasan Kristen tidak menginginkan agar sumbangan mereka itu disalurkan (digunakan) oleh sebuah yayasan Muslim?

Pada Juni 2007, US-based United Methodist Committee on Relief (UMCOR), yaitu lembaga bantuan dari United Methodist Church, mengumumkan rekanan baru dengan UK-based Muslim Aid yang berhasil menyumbangkan $ 15 juta ke berbagai tempat seperti Sri Lanka dan Indonesia. Sekjen Global Ministries, organisasi yang melahirkan UMCOR, menjelaskan betapa indahnya organisasi ini bekerja bersama Muslim Aid di kota yang berpenduduk mayoritas Muslim di Sri Lanka, yang membawa kepada “terobosan rekanan baru”.[19] Tidak jelas apakah juga ada perhatian kepada kelompok-kelompok minoritas Kristen di Sri Lanka atau Indonesia, tetapi menurut Sekjen UMCOR rekanan tersebut dimaksudkan untuk menjadi sebuah model percontohan baru dalam “bekerja bersama untuk membantu kemanusiaan”.

Ketika seorang Uskup Injili senior dari Church of England mengunjungi Afghanistan dengan sebuah lembaga kemanusiaan Islam, pesan dan kesan apakah yang akan diterima karena tindakannya ini, oleh sebuah negara dimana orang Kristen mengalami penganiayaan besar dan orang-orang yang meninggalkan Islam dibunuh? Ketika seorang Uskup lainnya dari Church of England mengunjung Aceh, Indonesia, dengan Muslim Aid pada Juli 2005 dan menggunting pita pada upacara peresmian perumahan baru untuk para korban tsunami yang didanai oleh Muslim Aid, pesan apakah yang diterima oleh orang-orang Kristen Aceh yang menderita? Banyak orang Muslim Aceh telah jelas menyatakan bahwa mereka ingin menggunakan kekacauan setelah tsunami untuk membersihkan propinsi mereka dari orang-orang Kristen. Uskup Inggris, yang mempunyai peranan penting dalam relasi Kristen-Muslim di Inggris, mengetahui bahwa ada juga non Muslim di Aceh yang terkena dampak tsunami. Tetapi nampaknya ia tidak berusaha untuk menemui mereka, menghibur mereka, atau menguatkan mereka.[20] Dapat dimengerti bahwa ia sangat terkesan dengan “hak istimewa” baginya untuk berbicara pada upacara peresmian perumahan yang dibangun oleh Muslim Aid, dan “sangat terharu” karena telah diminta untuk menggunting pita “bergandengan tangan dengan seorang teman Muslim”. Tapi sikapnya ini sangat sulit dipahami ketika ia sama sekali tidak menunjukkan kepedulian apapun terhadap kesejahteraan saudara-saudarinya sesama orang Kristen di Indonesia, juga tidak meluangkan waktu untuk melihat penderitaan mereka.

Menarik sekali bila kita perhatikan kelompok orang Muslim dan Kristen Inggris mengunjungi Aceh untuk memberi bantuan kemanusiaan setelah tsunami disponsori oleh Departemen Luar Negeri Inggris. Ini adalah sebuah contoh betapa pemerintahan Barat telah terlibat dalam memajukan agenda lintas agama.

Kerjasama Kristen-Muslim dalam Proyek-proyek Religius

Seperti yang telah kita lihat, di jaman yang sangat diwarnai oleh sekularisme ini, ada orang-orang Kristen yang mulai merasa bahwa mereka mempunyai keterikatan dengan orang dari agama mana saja, sebagai sesama orang beragama yang berdiri bersama menentang ateisme, materialisme, imoralitas, dan fitur-fitur lainnya yang ada dalam masyarakat sekuler. Kemungkinan besar inilah sebabnya mengapa ada orang-orang Kristen Barat yang bersedia mendukung saran yang dibuat oleh seorang imam di Woking, Inggris, untuk membuat kalender 2007 yang bertuliskan teks-teks dari Alkitab dan Qur’an untuk diberikan kepada semua orang Muslim dan Kristen di Woking. Pelayanan Kristen lintas budaya setempat, yang bertujuan untuk “menjangkau bangsa-bangsa di Woking”, berpendapat ini akan menjadi “sebuah cara yang hebat untuk menyebarkan Injil”. Kita dapat meragukannya jika kita memikirkan implikasi-implikasinya. Sebagai contoh, apakah kalender itu akan memuat Sura 4:171 (yang menyangkali status Kristus sebagai Putera Tuhan) di sebelah Yohanes 3:16, seakan-akan menjadi “penyeimbang” klaim-klaim kebenaran? Sejauh mana orang Kristen dapat terlibat dalam mempromosikan Qur’an, sebuah kitab yang menyangkali kematian dan kebangkitan Kristus (lihat halaman 50). Proyek semacam itu akan membawa resiko yang sangat besar, mengirimkan pesan kepada orang-orang Kristen bahwa Alkitab dan Qur’an sama-sama valid sebagai firman Tuhan.

Kelompok Injili di Washington DC-based International Center for Religion and Diplomacy (ICRD) sejak 2003 telah bekerjasama dengan organisasi-organisasi religius dan sipil Pakistan dalam “membantu guru-guru madrasah Pakistan” dalam memberikan pendidikan yang lebih baik dan meningkatkan tuntunan moral bagi para murid dengan mengadakan pelatihan-pelatihan guru.[21] Madrasah-madrasah ini adalah lahan pembibitan yang sangat baik bagi kelompok-kelompok Islam radikal dan umumnya hanya sedikit mengajarkan mata pelajaran umum (yang tidak berkaitan dengan Qur’an). ICRD menggunakan dana dari pemerintah dan swasta dalam upaya mempromosikan damai dan toleransi melalui reformasi madrasah, rekanan dengan dua pemimpin Islam ternama dari Pakistan, seorang yang beraliran Wahabian dan yang lainnya seorang Deobandi. (Walaupun tidak seekstrim Wahabian, kelompok Deobandi juga merupakan sebuah cabang radikal Islam Sunni. Mereka menolak semua pengaruh Barat dan berusaha kembali ke Islam klasik).

Direktur ICRD, Douglas M. Johnston yakin bahwa keberhasilan “telah terwujud (1) dalam menyelenggarakan proyek tersebut sedemikian rupa sehingga madrasah-madrasah tersebut merasa bahwa itu adalah upaya reformasi yang mereka lakukan sendiri dan bukan sesuatu yang dipengaruhi oleh pihak luar (dengan memberikan kepemilikan yang signifikan kepada mereka dalam proses tersebut) dan (2) menginspirasi mereka dengan warisan mereka sendiri, menekankan banyaknya terobosan-terobosan pionir dalam bidang seni dan sains, termasuk toleransi religius, yang terjadi di bawah (pemerintahan) Islam seribu tahun yang lalu”.[22] Berdasarkan sebuah laporan berita pada Maret 2008, hampir 15.000 madrasah telah didaftarkan pada Kementerian Urusan Agama Pakistan pada tahun sebelumnya, berjanji “tidak mengajarkan atau mempromosikan militansi atau kebencian religius”.[23] Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurikulum tidak kelihatan dengan mencolok, tetapi jika rekan-rekan utama ICRD di Pakistan adalah kelompok Wahabian dan Deobandi, apakah yang kemungkinan besar akan menjadi natur dari “reformasi” yang diperkenalkan di madrasah-madrasah?

Ini menggambarkan kesulitan yang dihadapi orang-orang Kristen yang bekerjasama dengan orang orang Muslim dalam proyek-proyek religius: bagaimana mereka dapat yakin bahwa mereka sedang bekerjasama dengan kelompok moderat dalam mengupayakan moderasi dan modernitas, dan bukannya dengan kelompok konservatif seperti Wahabian dan Deobandi yang bertujuan untuk mendirikan ekstrimisme?

Upaya-upaya lintas agama seperti ini, dalam bentuk kerjasama publik-swasta, telah meningkat tajam di Amerika sejak tragedi 11 September. Middle East Initiative yang disponsori oleh Departemen Dalam Negeri Amerika dan para anggota Kongres, adalah upaya lain semacam itu, yang dimaksudkan untuk “menggabungkan ekonomi dengan iman”.[24] Direktur komponen iman, mantan anggota Kongres Toni Hall, menggambarkan tujuan inisiatif tersebut yaitu “menghubungkan orang-orang yang berminat terhadap perdamaian dan yang berasal dari tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan orang Muslim”.[25] Hall melanjutkan, “Kita telah mengupayakan diplomasi; kita telah menggunakan kekuatan. Mengapa kita tidak berusaha bertanya pada Tuhan apa pendapat-Nya dan berusaha bekerja melalui orang-orang yang beragama?” Jika ada orang yang bertanya apakah upaya ini akan mendatangkan keberhasilan, Hall menjelaskan dengan mengemukakan sebuah pilar pemahaman lintas agama yang berdasarkan niat baik tetapi belum dibuktikan kebenarannya,[26] yaitu “Perintah yang terbesar dari ketiga agama tersebut adalah mengasihi sesama kita seperti kita mengasihi diri kita sendiri”.

Pemerintah Amerika dan negara-negara Barat lainnya semakin prihatin akan perkembangan ekstrimisme dalam dunia Islam dan tindakan-tindakan terorisme yang menyertainya, yang lahir dari agama tersebut. Oleh karena itu mereka menciptakan sebuah kebijakan dan semakin banyak menggunakan organisasi-organisasi Kristen dan para pemimpin gereja untuk mewujudkan agenda tersebut. Bahaya yang mengintai gereja adalah, dengan membiarkan diri menjadi perpanjangan tangan pemerintah, gereja akan ada dalam kekacauan lintas agama dan mengikat dirinya sendiri dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga dengan demikian gereja mendiskreditkan dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, gereja mengirimkan pesan kepada dunia Muslim bahwa kekristenan benar-benar adalah tangan negara, karena orang Muslim cenderung meyakini hal itu. Gereja juga mengirim pesan kepada orang-orang kristen di dunia Muslim, yang seringkali sangat konservatif dalam teologi dan iman mereka, bahwa gereja di Barat rela mengorbankan keyakinannya demi mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah.

Di Amerika kecenderungan ini telah mendatangkan efek-efek negatif pada misi dan program-program penginjilan dua seminari teologi yang ternama. Dalam sebuah artikel mengenai Seminari Teologi Fuller, The Los Angeles Times mengumumkan bahwa:

“Salah-satu seminari Injili di negara ini telah meluncurkan sebuah proyek yang mendapat dana federal untuk mengadakan perdamaian dengan orang Muslim, dengan mengedepankan sebuah kode etik yang menolak pernyataan-pernyataan ofensif mengenai masing-masing agama, menegaskan kesamaan keyakinan akan satu Tuhan dan berjanji untuk tidak memproselitkan umat”.[27]

Sang reporter mengatakan bahwa itu merupakan “Upaya terakhir dari upaya-upaya sebelumnya yang telah diluncurkan oleh Fuller sejak tragedi 11 September untuk membangun jembatan dengan orang Muslim”.

Seminari tersebut berupaya memperhatikan masalah-masalah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diterimanya setelah dimuatnya berita tersebut melalui sebuah webpage[28] informasi yang diperkenalkan oleh Direktur Relasi Publiknya. Setelah menjelaskan “kemahiran dalam resolusi konflik dan juga dalam bidang pendidikan dan pelayanan lintas budaya” yang dimiliki fakultasnya, seminari tersebut juga memperhatikan pelarangan penginjilan:

“Tujuan proyek ini bukanlah untuk memproselitkan. Dirasakan bahwa tujuan untuk saling memahami antara Kristen dan Muslim tidak akan tercapai jika masing-masing kelompok mempunyai fokus tambahan. Namun kerja kami dalam proyek dua tahunan ini hanyalah sebagian dari keseluruhan upaya studi mengenai Islam, dan sama sekali tidak mengabaikan atau mengurangi komitmen kami terhadap penginjilan dalam (bentuk) upaya-upaya lain”.

Presiden Seminari Fuller, Dr. Richard Mouw menjelaskan betapa “ini adalah saat yang sangat penting bagi kita untuk mengupayakan kebaikan bersama dengan saudara-saudara Muslim kita, terutama dalam menekankan pemikiran-pemikiran Muslim yang sangat menggarisbawahi bagian-bagian Qur’an yang berbicara mengenai bagaimana mewujudkan damai”.

Dalam sebuah bagian yang berjudul “Apakah Orang Muslim Dan Orang Kristen Menyembah Tuhan Yang Sama”, ia menyatakan:

“Kenyataannya adalah, Kristen, Yudaisme dan Islam menapak balik iman mereka kepada Abraham. Bersama orang Muslim kita harus mengeksplorasi dimana titik awal kita menjadi berbeda dalam pemahaman iman kita, yang awalnya dilahirkan oleh Abraham. Keyakinan Muslim kepada Tuhannya Abraham memberikan pada kita dasar yang sama sehingga kita dapat berbicara dengan mereka mengenai perlunya anugerah yang hanya dapat masuk ke dalam hidup kita melalui penumpahan darah di Kalvari”.

Namun demikian, di bawah aturan-aturan proyek tersebut, seperti yang dijelaskan dalam The Los Angeles Times, membicarakan hal-hal semacam itu sudah pasti dilarang. Reporter tersebut mengatakan, “Para pemimpin Muslim, yang memandang ketegangan dengan orang-orang Kristen Injili sebagai salah satu tantangan yang mereka hadapi dalam bidang lintas agama, mengatakan bahwa mereka dilegakan oleh inisiatif yang diambil Fuller”.

Bagi Seminari Hartford di Connecticut, hal ini telah dirancang jauh sebelumnya. Hartford, yang adalah salah satu sekolah teologi tertua di Amerika, didirikan pada 1834 oleh para penganut Calvinis yang meninggalkan Yale College untuk membuka sebuah institusi baru pembelajaran Kristen. Hartford adalah institusi yang mempelopori penginjilan terhadap orang Muslim. Samuel M. Zwemer (1867-1952), misionari untuk orang Muslim yang sangat terkenal, menulis:

“Kami berharap dapat menunjukkan...solusi yang sesungguhnya terhadap permasalahan Muslim, yaitu penginjilan terhadap orang Muslim dan untuk membangkitkan simpati, kasih dan doa bagi dunia Muslim hingga ikatan-ikatannya dilepaskan, luka-lukanya dipulihkan, penderitaannya disingkirkan dan keinginan-keinginannya dipuaskan dalam Yesus Kristus”.

Pada tahun 1911, Zwemer meluncurkan ulasan akademis yang berjudul The Moslem World, yang memberikan informasi mengenai Islam dan merupakan forum bagi strategi misi Kristen di kalangan orang Muslim. Ia menjabat sebagai editornya selama 36 tahun, dan kemudian menyerahkan tanggung-jawab penyelenggaraannya kepada orang-orang lain di Seminari Hartford dengan syarat mereka tetap memiliki semangat penginjilan dan komitmen yang sama terhadap kebenaran Injil.

Salah satu pengajar di Hartford pada abad 20 adalah seorang Skotlandia, Duncan Black Macdonald (1863-1943), yang mengajar bahasa Arab dan Islam. Sebagai seorang sarjana mengenai Islam yang sangat dihormati, Macdonald berpendapat bahwa para siswa seminari tersebut harus mempelajari bahasa dan warisan Islam jika mereka ingin berhasil dalam menginjili orang Muslim. Prinsip-prinsip Macdonald yang kontroversial pada masa hidupnya tersebut kemudian menjadi bagian yang penting dalam pelatihan misi yang dilakukan Hartford. Namun demikian, hasilnya tidaklah seperti yang ia antisipasi, karena, seperti yang dikatakan oleh Presiden Hartford yang sekarang, Heidi Hadsell, “Para misionaris yang kita utus, kembali ke tanah air dengan mengatakan [orang-orang Muslim] sudah percaya kepada Tuhan. Yang kita perlukan adalah dialog antara orang Muslim dan orang Kristen”.

Tiga puluh tahun setelah wafatnya Macdonald pada 1973, Hartford mendirikan Duncan Black Macdonald Center for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations. Misinya adalah untuk menumbuhkan pemahaman Kristen-Muslim. pada 1998, lembaga ini mempekerjakan Ingrid Mattson, seorang kelahiran Kanada yang memeluk Islam (mualaf), dan mempunyai gelar Doktor dalam studi mengenai Islam dari Universitas Chicago, untuk memimpin program kependetaan. Mattson juga adalah presiden wanita pertama untuk Masyarakat Islam Amerika Utara. Pada tahun 2000 program keimaman islami dibuka di Hartford untuk melatih orang-orang Muslim menjadi imam atau ustad di berbagai institusi – militer, medis atau penjara. Sejak saat itu jumlah siswa yang mengambil program ini terus bertambah.

Saat ini, orang Muslim berjumlah sekitar 35% dari dewan siswa di Seminari Hartford, sebuah institusi yang beberapa generasi yang lampau melatih orang-orang Kristen untuk menginjili orang Muslim.

Kasus Seminari Hartford menunjukkan betapa besarnya keinginan untuk memahami Islam dan orang Muslim telah membawa sebuah seminari yang sangat menekankan misi untuk menggunakan sumber-sumber daya yang dimilikinya guna melatih dan memperlengkapi orang Muslim untuk menguatkan sesamanya orang Muslim dalam keyakinan mereka.

Rekonsiliasi

Banyak inisiatif Kristen terhadap Muslim belakangan ini memaparkan tujuan mereka sebagai “rekonsiliasi”. Walaupun tidak jelas apa dasar pembenaran Alkitabiah untuk pemilihan terminologi ini. Tidak ada ruang untuk studi mendalam mengenai konsep rekonsiliasi dalam Alkitab, tetapi bagian penting yang sering dikutip dalam konteks relasi Kristen-Muslim adalah “pelayanan pendamaian” (2 Korintus 5:18-10), jelas didefinisikan sebagai rekonsiliasi antara manusia yang berdosa dengan Tuhan, bukan rekonsiliasi antara umat yang berbeda keyakinan. Demikian pula, kebanyakan referensi Perjanjian Baru lainnya mengenai rekonsiliasi didefinisikan dalam teks yang memuatnya sebagai rekonsiliasi dengan Tuhan (Roma 5:10; 11:15; Efesus 2:16; Kolose 1:20,22). Satu-satunya pengecualian adalah rekonsiliasi antara pasangan yang berpisah (1 Korintus 7:11) dan antara sesama orang percaya yang bertengkar (Matius 5:24). Sedangkan dalam Perjanjian Lama, yang dibicarakan adalah pemisahan antara umat Tuhan dengan para penganut keyakinan lain. Kata rekonsiliasi digunakan dalam beberapa terjemahan dalam konteks penebusan dosa, yaitu rekonsiliasi orang berdosa dengan Tuuhan. Satu pengecualian terdapat dalam 1 Samuel 29:4 dimana orang Filistin mengantisipasi Daud akan didamaikan dengan Saul dan kemudian akan mengkhianati mereka.

Sementara kita dipanggil untuk mengasihi semua orang tanpa memandang pengakuan iman, ras atau budaya mereka, dalam Alkitab tidak ada panggilan untuk orang Kristen sebagai satu tubuh untuk berekonsiliasi dengan keyakinan-keyakinan lain (malahan tindakan seperti itu akan dihakimi, setidaknya menurut Perjanjian Lama). Ini tidak dimaksudkan sebagai penyangkalan akan perlunya orang Kristen dan orang Muslim mencari cara untuk menangani apa yang menjadi penyebab konflik kontemporer dan bagaimana dapat hidup berdampingan di planet bumi ini dengan harmonis. Dalam wilayah konflik ini penting bagi orang Kristen untuk menjadi para pembawa damai (Matius 5:9). Tetapi damai semestinya tidak boleh diwujudkan dengan mengorbankan perbedaan-perbedaan teologis atau mengorbankan kebenaran dan keadilan.

Hans Küng beralasan, “Tidak ada damai di antara bangsa-bangsa tanpa adanya damai di antara agama-agama”. Yang menjadi masalah dengan argumen ini adalah, pendapat ini mereka-reka semacam lingkup permasalahan. Ketika kekristenan (yaitu beberapa aspek denominasi Ortodoks) telah mengabaikan teritorial religius, Islam tidak melakukan hal itu. Oleh karena itu, akan sia-sia saja jika mengemukakan damai tanpa adanya perubahan yang berarti dalam pemahaman Islam mengenai teritori.

Ada juga orang-orang Kristen yang mengemukakan perlunya rekonsiliasi dalam konteks ketidakadilan yang telah terjadi dalam sejarah yang dilakukan orang Kristen terhadap orang Muslim, misalnya Perang Salib dan kolonialisme. Metodologinya biasanya meminta maaf atas apa yang telah dilakukan bangsa Eropa atau orang-orang Kristen Barat lainnya. Tanggapan kristiani Yale Center terhadap surat para ulama Muslim benar-benar melakukan hal ini, yaitu “mengakui bahwa pada masa lalu (yaitu dalam Perang Salib) dan pada masa kini (Misalnya Dalam ekses-ekses ‘perang terhadap teror’) banyak orang Kristen telah berdosa terhadap sesamanya orang Muslim”.[29]

Biasanya motivasinya adalah untuk menyiapkan jalan bagi penginjilan terhadap orang Muslim dengan meminta maaf pada mereka atau juga dengan memfasilitasi relasi Kristen-Muslim yang harmonis. Ada juga yang percaya bahwa permintaan maaf seperti itu akan membersihkan negeri dimana darah telah ditumpahkan di atasnya dan dengan demikian akan mendatangkan berkat Tuhan. Sedihnya, posisi seperti ini didasarkan atas teologi yang lemah dan pemahaman sejarah yang tidak akurat.

Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa orang Kristen tidak pernah gagal dan permintaan maaf bukanlah hal tepat. Namun meminta maaf atas Perang Salib dan kolonialisme menyampaikan sinyal-sinyal budaya yang tidak tepat dan akan lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan, oleh karena hal itu akan menumbuhkan kepahitan orang Muslim terhadap orang Kristen. Dalam kasus pernyataan Yale Center, “pengakuan” tersebut menjadi titik penting di banyak dunia Muslim yang melaporkan penerbitan surat publik tersebut.[30] Hasil tragisnya seringkali adalah munculnya kekerasan Muslim terhadap kelompok-kelompok minoritas Kristen yang lemah di negara-negara Muslim. rekonsiliasi tidak bernilai jika ia mengabaikan kebenaran dan keadilan.

Tidak ada teologi rekonsiliasi dalam Syariah, namun yang ada hanyalah teologi kesepakatan sementara. Damai permanen hanya ada di dalam Dar al-Islam, yaitu dimana orang Muslim memegang kendali. Komplikasi lebih lanjut adalah situasi dimana orang Muslim diperbolehkan berbohong, berdasarkan doktrin taqiyya (lih. Hal 35).

Misi dan Penginjilan

Spiritualitas Kristen tidak dapat menggeser misi dari intinya. Dikatakan bahwa gereja harus melakukan misi – gereja yang tidak melakukan misi adalah gereja tanpa Kristus. Perjumpaan gereja dengan Islam harus membawa dimensi misi. Dimensi ini akan mencakup pelayanan yang penuh kasih dan belas kasihan, serta kesaksian yang dengan yakin memproklamirkan kebenaran-kebenaran Injil, mempercayakan hasilnya kepada Tuhan.

Misi kepada orang Muslim harus berakar dalam doa dan syafaat serta akan menantang penguasa-penguasa dan kekuatan-kekuatan spiritual yang membentuk Islam. Misi tersebut akan terlibat dalam perjumpaan dengan kuasa-kuasa (roh-roh jahat) seperti yang dilakukan Yesus dalam pelayanan-Nya.

Tidak satupun peringatan di atas mengenai relasi Kristen-Muslim boleh menghalangi orang-orang Kristen Barat dari berteman dengan orang Muslim, menunjukkan kasih dan belas kasihan kepada orang Muslim, membagikan iman mereka kepada orang Muslim atau mengundang orang Muslim ke gereja sebagai anggota jemaat (ini tidak sama dengan mengundang orang Muslim untuk berkhotbah atau memimpin doa dalam sebuah kebaktian atau pelayanan gerejawi).

Mengingat ada banyak upaya yang dilakukan untuk memberi masukan kepada orang-orang Kristen berkenaan dengan kepraktisan dalam membagikan iman mereka kepada orang Muslim, subyek ini tidak akan diulas secara terperinci disini.[31] Banyak metode misi untuk menolong anda dapat diperoleh dari pengalaman para misionaris yang melayani di kalangan orang Muslim di dunia Muslim dan di Barat, juga dari para pakar Kristen dari dunia Muslim yang tinggal di Barat. Satu peringatan yang harus diperhatikan disini adalah metode-metode misi yang bergantung pada kontekstualisasi harus digunakan dengan sangat berhati-hati. Oleh karena metode-metode ini mengandung resiko kontekstualisasi bukan hanya budaya tetapi juga teologi. Ini sama sekali akan kontra produktif, sehingga misi Kristen tanpa disadari akan menjadi bagian dari dakwah Islam. Ini juga akan menciptakan sejumlah besar masalah bagi para petobat baru.

Pada akhirnya, yang penting bukan metode kita, namun yang penting adalah sikap kita yang harus lahir dari kasih. Kita harus mempunyai hidup yang dipenuhi dengan Roh Kudus. Kita harus percaya kepada Tuhan bahwa Dia-lah yang akan mentobatkan orang.

Berkenaan dengan “bagaimana”, mungkin tidak ada pola yang lebih baik bagi kita selain dari mengikuti teladan Tuhan Yesus sendiri, yang adalah kasih yang berinkarnasi. Cara Ia berhubungan dengan orang lain dapat menjadi contoh bagi kita dalam berhadapan dengan orang Muslim. Hidup kita, sebagai para murid-Nya, harus mencerminkan keindahan-Nya dan keelokan-Nya ketika kita melayani orang Muslim.

1. Sebagaimana Yesus telah datang dan tinggal di antara kita, demikianlah para murid-Nya pada masa kini berinkarnasi dalam banyak konteks berbeda. Dalam situasi-situasi bahaya, kesulitan, kemiskinan dan bencana, para pengikut Kristus harus hadir disitu.

2. Sebagaimana Yesus berkeliling melakukan perbuatan baik, sebagaimana Ia telah datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani, demikian pula para pengikut-Nya harus bekerja dalam komunitas mereka, memegang teguh kasih Kristus melalui pelayanan mereka kepada sesama.

3. Seperti Yesus, para pengikut-Nya mengajar dan berkhotbah tentang kabar baik kepada mereka yang tidak mengerti, kepada mereka yang telah salah memahami natur iman Kristen. Ini mencakup pembelaan doktrin iman Kristen terhadap serangan orang Muslim, sebagai contoh, ketuhanan dan kematian Kristus, reabilitas Alkitab, juga menjelaskan aspek-aspek iman Kristen yang keliru dipahami oleh Islam, seperti status Kristus sebagai Putera dan Trinitas.

4. Sebagaimana Kristus menghadapi kuasa-kuasa kegelapan, karena ia melihat bahwa dunia ada dalam tangan si Jahat, karena itu para pengikutNya pun harus melakukan peperangan rohani. Mereka menyadari bahwa perjuangan mereka bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan kuasa-kuasa spiritual yang jahat yang ada di udara (Efesus 6:12). Doa adalah hal vital yang harus dilakukan.

5. Sebagaimana Kristus menyembuhkan orang sakit dan mendemonstrasikan kuasa Tuhan dalam hidup manusia melalui tanda-tanda dan mujizat, maka RohNya pun bekerja melalui murid-muridNya dengan cara-cara ajaib, untuk membawa kesembuhan dan kepenuhan, visi serta mimpi-mimpi.

6. Sebagaimana Kristus menderita bagi umatNya di atas kayu salib, sebagaimana ia berdarah dan mati bagi mereka, maka dengan cara yang berbeda umatNya bersaksi melalui penderitaan mereka. Kata dalam bahasa Yunani untuk ‘saksi’ adalah ‘martus’, dan dari kata inilah kata dalam bahasa Inggris ‘martyr’ berasal, yang artinya seseorang yang memberikan kesaksian melalui kematiannya.. Komentar yang sangat terkenal mengenai darah kaum martir adalah benih gereja, berasal dari Tertulianus. Hal ini sudah terbukti selama 1800 tahun sejarah gereja.

7. Sebagaimana Tuhan Yesus mengasihi kepunyaanNya yang ada di dalam dunia, maka kasih mereka satu sama lain adalah sebuah kesaksian bagiNya (Yohanes 13:1,34,35). Ia memberikan perintah kepada mereka: “Sebagaimana Aku mengasihi kamu, demikian juga kamu harus saling mengasihi”, dan memberitahukan pada mereka apa yang akan terjadi jika mereka melakukannya. “Dengan ini maka semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jika kamu saling mengasihi.”

Salah satu elemen vital dalam penginjilan yang efektif adalah bahwa orang-orang Kristen harus diajar dengan baik perbedaan antara Islam dan Kristen. Dengan cara ini maka mereka akan diperlengkapi untuk menolak pendekatan-pendekatan orang-orang Muslim yang berusaha untuk memurtadkan mereka pada Islam, dan akan memiliki sebuah pemahaman yang seimbang akan seluruh doktrin dan praktek Islam. Hal ini penting karena apa yang dipresentasikan mengenai natur Islam di media sekuler dan oleh orang-orang Muslim sendiri seringkali hanya bersifat parsial dan kadang-kadang bahkan menyesatkan. Pengajaran harus menjawab kebingungan yang ada mengenai hubungan antara Islam dengan Kristen dan secara khusus membahas konsep populer mengenai Islam dan Kristen, saling membagi keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai moral dengan mengkontraskan perbedaan dengan dunia sekuler.

Sebuah aspek kepedulian yang tengah bertumbuh di antara orang-orang Kristen adalah tentang bagaimana memahami Akhir Zaman dan kaitannya dengan Islam. Sejumlah orang, sebagai contoh, mengatakan bahwa Islam adalah Anti Kristus sebagaimana yang disebut dalam surat Yohanes. Penting untuk dicatat bahwa kedatangan Kristus yang kedua sangat jelas digambarkan dalam eskatologi Islam, bersama-sama dengan munculnya binatang, anti Kristus dan Harmagedon (Lihat halaman 18). Meskipun Islam sangat jelas mengenai posisinya pada Akhir Zaman, adalah sulit bagi orang-orang Kristen untuk merasa sangat pasti sebab hal itu tidak dengan jelas digambarkan dalam Alkitab. Adalah jauh lebih penting bagi kita untuk meyakini bahwa Yesus akan datang kembali, bahwa Ia akan menang dan akan memerintah surga dan bumi, bahwa gerbang neraka tidak akan tahan melawan GerejaNya, dan bahwa Setan akan dikalahkan.

Penanganan Petobat

Subyek penting ini seharusnya tidak muncul dibawah isu mengenai hubungan antara Kristen dengan Muslim, sebab hal ini sepenuhnya berkaitan dengan relasi Kristen dengan Kristen. Namun demikian, hal ini ditempatkan di sini untuk memberikan penekanan bahwa ia seharusnya menjadi bagian yang integral dari misi kepada orang-orang Muslim.

Memperbandingkan orang-orang percaya baru dari sebuah latar belakang Kristen sekuler atau nominal, kebutuhan untuk bertobat dari Islam adalah jauh lebih penting. Ini merupakan kebutuhan-kebutuhan yang benar berdasarkan prakek, emosi dan spiritual. Tantangan bagi gereja adalah untuk mempedulikan para petobat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Banyak orang Muslim yang sudah bertobat, kembali lagi kepada Islam sebab kebutuhan mereka kurang diperhatikan, sementara iman Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk memperhatikan hanya sesamanya yang Muslim.

Hukum Kemurtadan dalam Islam

Berpaling dari Islam dipandang sebagai pengkhianatan terhadap komunitas Muslim dan inilah dasar untuk melakukan reaksi ekstrim yang dilakukan oleh teman-teman, keluarga, rekan sekerja sesama Muslim. Ketika hukum Islam menjatuhkan hukuman mati kepada pria dewasa yang murtad dari Islam, maka mereka pun akan dieksekusi sebagai pengkhianat. Ketika hukuman mati bagi mereka yang murtad hanya merupakan bagian dari hukum dari negara-negara tertentu saja (misalnya Saudi Arabia, Iran, Sudan, Mauritania), maka ia tak bisa ditekankan terlalu banyak bahwa hukum kemurtadan juga diakui oleh kebanyakan orang-orang Muslim sebagai bagian dari teologi mereka. Metode yang beragam dalam melakukan aniaya kepada mereka yang murtad dari Islam akan diberlakukan, misalnya menyerang yang bersangkutan secara fisik, merampas properti, hubungan-hubungan dan kebebasan mereka. Bahkan yang murtad itu pun acapkali dibunuh, yang mana bahkan sejumlah polisi Muslim menutup mata atas tindakan tersebut.

Seorang imam Inggris yang tengah berusaha mempromosikan hubungan-hubungan antar iman telah menawarkan sebuah skema dimana orang-orang Muslim diijinkan untuk berpaling pada denominasi Kristen tertentu (ia tidak akan dianiaya karena melakukan hal itu). Ia menawarkan supaya persetujuan ini bisa diadakan antara otoritas Muslim dan Gereja Ortodoks, juga gereja-gereja Katolik Roma. Para pemimpin denominasional harus mengikrarkan solidaritas mereka dengan sejumlah perkara yang berkaitan dengan Muslim internasional (misalnya soal Palestina, Irak dsb.), serta mengecam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pada kondisi ini, orang-orang Muslim setuju untuk tidak menganiaya setiap Muslim yang murtad dan menjadi anggota dari salah satu denominasi tersebut. Sang imam membayangkan bahwa orang-orang Anglikan – karena merupakan sebuah gereja yang besar – kemungkinan besar akan terpecah menjadi dua kelompok. Ia mengantisipasinya melalui kemungkinan untuk membuat persetujuan dengan Anglo-Katolik tetapi tidak dengan Anglikan Injili. Ia meragukan bahwa para petobat ke denominasi Protestan yang lain memenuhi syarat untuk melakukan perjanjian seperti itu. (Secara terpisah ia membuat persyaratan untuk melarang para missionaris luar negeri untuk menginjili negara-negara Muslim).

Inisiatif seperti ini seharusnya tidak disetujui oleh orang-orang Kristen, sebab dengan demikian membuat gereja menjadi tunduk pada persyaratan Islam dan secara efektif mengekalkan berlanjutnya penganiayaan terhadap orang yang murtad menjadi anggota salah satu gereja konservatif Injili, membuat gereja menjadi terpecah, dan memaksa gereja untuk mengabaikan Amanat Agung tanpa membuat kesepakatan dengan Muslim supaya mereka pun menghentikan dakwah-nya. Hal ini kontras dengan Artikel 18 Deklarasi Universal Hak Manusia PBB, yang menjamin kebebasan untuk merubah agama atau keyakinan seseorang.

Penderitaan Apa Yang Dialami Para Murtadin

‘Kejahatan’ yang dilakukan oleh mereka yang murtad dari Islam, membawa perasaan malu yang luar biasa terhadap para anggota keluarga dari si murtad, dan karena itu anggota keluarganya akan berusaha keras untuk membujuk orang yang bersangkutan untuk kembali ke Islam dan merestorasi kembali kehormatan keluarga. Seringkali, baptisan merupakan titik dimana penganiayaan yang berat dimulai.

Sebuah reaksi yang biasanya terjadi adalah ancaman-ancaman dan kemungkinan tindak kekerasan dari sejumlah anggota keluarga, atau surat kaleng yang menekan emosi orang yang murtad, misalnya adanya ancaman bahwa ibunya akan melakukan bunuh diri jika ia tidak kembali ke Islam. Ingatlah bahwa ikatan paling kuat dalam kebanyakan keluarga Muslim adalah antara ibu dengan anaknya laki-laki, dan ini menjadi hal yang sangat berat untuk ditanggung oleh seorang pria yang masih muda. Jenis ancaman atau tekanan lainnya adalah finansial, sebagai contoh, menolak untuk membayar uang sekolah si murtad. Mereka yang telah menikah dan kemudian murtad meninggalkan Islam, ada yang mengalami bagaimana pasangannya pergi, membawa serta anak-anak mereka. Banyak petobat yang harus meninggalkan rumah – apakah mereka diusir keluar atau mereka harus melarikan diri dari tekanan dan kekerasan. Bisa juga ada penolakan dan kekerasan dari komunitas Muslim yang lebih luas, sebagai contoh: dilempari dengan batu, rumah dengan sengaja dibakar, dipukuli – kesemuanya ini sudah pernah dialami oleh mereka yang sudah murtad dan tinggal di Inggris.

Karena itu gereja lokal harus menjadi keluarga baru dari si petobat. ‘Tanggung-jawab keluarga’ mereka haruslah seluas dan sedalam komitmen sebagaimana yang ada dalam keluarga-keluarga Muslim (Keluarga-keluarga Muslim cenderung lebih mendukung dibandingkan dengan sebuah keluarga Barat). Hal itu termasuk menyediakan akomodasi, persahabatan, persekutuan dan dukungan keuangan jika diperlukan. Sakit secara emosional akibat penolakan dari keluarga dan teman-teman, terkadang sangat sukar bisa disembuhkan dengan cepat, karena itu kasih yang penuh dengan kesabaran dari orang-orang Kristen memainkan peran yang sangat penting.

Di negara-negara Muslim, sangat beresiko bagi orang-orang Kristen untuk merawat orang-orang yang telah murtad dari Islam dan sedihnya sejumlah gereja karena itu tidak mau terlibat dalam pelayanan ini. Tetapi di Barat tak ada yang bisa menghentikan gereja untuk mengambil tanggungjawab untuk merawat para petobat seperti ini. Fakta bahwa sejumlah pemimpin gereja Inggris secara publik telah menolak untuk menerima para petobat dari latar belakang Muslim, memperlihatkan ketidaktaatan mereka pada perintah Yesus kepada murid-muridNya yaitu untuk saling mengasihi. Di sini motif yang kelihatan jelas adalah bahwa mereka takut merusak keharmonisan hubungan lokal antara Kristen dengan Muslim.

Hubungan antara Kristen dengan Muslim adalah penting, tetapi kebutuhan-kebutuhan para petobat dari Islam harus diutamakan oleh orang-orang Kristen yang sedang membawa salib yang berat. Aneh sekali dan sangat tidak sensitif jika mengabaikan kebutuhan orang-orang yang bertobat kepada Kristus dari latar belakang Islam, demi menjaga persahabatan dengan orang-orang Muslim. Kita tak boleh mengorbankan anggota-anggota dari keluarga kita sendiri di altar relativisme post-modern kita.

Orang-orang Kristen baru dari latar belakang Muslim seringkali merasa bahwa mereka membutuhkan bimbingan spiritual. Mereka sudah meninggalkan sebuah iman yang karakteristiknya adalah penuh dengan aturan-aturan yang sedemikian banyaknya, seperti kaki sebelah mana yang pertama harus melangkah pada ambang pintu, bagaimana membaringkan badan di atas tempat tidur, dan bagaimana cara meringankan beban seseorang.[32] Iman mereka yang baru tidak punya kerangkan peraturan yang seperti itu, karena itu para petobat bisa jadi merasa tidak pasti bagaimana seharusnya berperilaku di banyak situasi. Mereka membutuhkan pelatihan pemuridan untuk menolong mereka belajar untuk hidup dan bertumbuh sebagai orang-orang Kristen.

Para Pencari Suaka

Banyak gereja-gereja Inggris barangkali sudah punya hubungan dengan para petobat dari Islam yang bukan warga negara Inggris dan tidak punya ‘hak untuk tetap tinggal’ di Inggris. Orang-orang seperti ini bisa saja dikirimkan kembali ke negara asalnya, yang bisa membahayakan hidup mereka oleh karena adanya hukum kemurtadan Islam dan efek yang bisa ditimbulkan dalam masyarakat Muslim, karena situasi seperti ini. Situasi yang sama bisa muncul di negara-negara Barat lainnya namun tampaknya menjadi masalah yang akut di Inggris, dimana banyak petugas imigrasi tampaknya tidak memahami atau tidak percaya akan bahaya nyata yang kemungkinan akan dialami oleh orang yang murtad itu. Seringkali mereka gagal membedakan antara orang-orang Kristen dengan latar belakang Kristen dan orang-orang Kristen dengan latar belakang Muslim, dan tidak memahami bahwa yang pertama biasanya lebih aman sementara yang kedua biasanya punya resiko yang besar. Juga mereka seringkali tidak sadar bahwa apa yang hukum dan konstitusi dari negara si murtad katakan mengenai jaminan atas kebebasan beragama, acapkali berkontradiksi dengan praktek yang terjadi di lapangan.

Para petobat yang tidak bisa berbahasa Inggris secara fasih, masih menghadapi resiko tambahan dimana kemungkinan mereka mendapatkan seorang penterjemah Muslim yang bersikap tidak adil dengan apa yang mereka katakan, atau bisa jadi melaporkan mereka pada komunitas lokal Muslim, dan karena itu menempatkan mereka pada bahaya yang lebih jauh lagi. Gereja harus berbuat lebih banyak lagi untuk membantu individu-individu atau keluarga-keluarga seperti ini dalam peperangan legal mereka. Menyediakan seorang pengacara yang berpengalaman dalam kasus-kasus seperti ini adalah hal yang vital.

Keterlibatan dalam Masyarakat

Islam, sendirian di antara iman-iman dunia, mempunyai tujuan yang sangat jelas yaitu untuk mengorganisir ulang masyarakat agar sesuai dengan ajarannya. Karena itulah, minoritas Muslim, dengan cara-cara yang tidak dilakukan oleh iman-iman yang lain, sedang mempengaruhi masyarakat-masyarakat di Barat yang sesungguhnya adalah tuan rumah. Orang-orang Kristen yang peduli dengan masyarakat mereka dan yang memahami bahwa Islam lebih dari sekedar keyakinan personal, secara aktif berusaha memberikan peringatan pada para pengambil keputusan pada level nasional dan lokal, demi mengimplementasikan perubahan-perubahan, yang dibuat untuk mengakomodasi komunitas Muslim di area-area seperti hukum, keuangan dan pendidikan. Hal ini semakin melibatkan baik aksi sosial maupun politik.

Keadilan

Orang-orang Kristen di Barat memiliki kebebasan untuk berbicara dan melobbi isu-isu apa saja yang mereka sukai. Karena itu ada sebuah tantangan bagi gereja, dalam hal memanfaatkan kebebasan ini untuk menyuarakan aspirasi orang-orang Kristen yang teraniaya di negara-negara Muslim, dan yang tak bisa menyuarakan jeritan mereka. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Tuhan mengasihi keadilan, dan orang-orang Kristen di Barat ada dalam posisi untuk mengusahakan keadilan bagi saudara-saudari Kristen mereka yang menderita diskriminasi dan penindasan hanya karena mereka adalah orang-orang Kristen.

Isu-isu kunci adalah bahwa hukum kemurtadan dan status dhimmi diabadikan dalam Syariah, yang termasuk di dalamnya diskriminasi terhadap orang-orang Kristen dalam hal kesaksian dan kompensasi legal (Lihat halaman 66). Teologi jihad didasarkan pada kekerasan anti-Kristen, sebagaimana yang dialami oleh sejumlah provinsi di Indonesia (Poso – Sulawesi Tengah, Maluku dan Ternate) di awal abad ke-21. Isu penting lainnya adalah isu bahwa ‘penghujatan’ terhadap Muhammad, yang sedemikian dimuliakan di Pakistan, sebagaimana yang telah kita lihat, ada hukuman mati yang wajib dijatuhkan pada mereka yang ‘menghina’ namanya. Sebagaimana yang telah dicatat, dibawah hukum seperti ini, orang-orang Kristen sangat rentan terhadap tuduhan yang sebenarnya hanya didasarkan pada kebencian; karena sejumlah hakim-hakim Muslim cenderung lebih percaya pada kata-kata seorang Muslim daripada kesaksian dari orang-orang Kristen (berdasarkan syariah).

Ketidakadilan lainnya, yang berulang-ulang dialami oleh orang-orang Kristen minoritas di dunia Muslim, adalah cara dimana mereka mencari kambing hitam atas aksi-aksi yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah dan pihak lain di negara-negara ‘Kristen’ yang ada di Barat. Karena itu pada bulan Januari 2006, orang-orang Kristen yang ada di Irak, Nigeria, Turki, Pakistan dan di banyak negara lainnya menghadapi ancaman-ancaman dan kekerasan sebagai respon atas publikasi di sejumlah surat kabar sekular yang ada di Eropa, atas karikatur Nabi Muhammad yang aslinya dibuat oleh seorang kartunis Denmark pada tahun 2005. Bahkan anak-anak Kristen menjadi korban atas aksi-aksi yang dilakukan oleh para jurnalis Eropa ketika sekolah-sekolah milik gereja diserang di Pakistan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bishop Peshawar, ”Kami (orang Kristen Pakistan) tidak melakukan apapun; kartun-kartun itu tak ada urusannya dengan kami. Mereka (para perusuh Muslim) tidak mau mengerti bahwa orang-orang Kristen Pakistan bukanlah orang-orang Barat.”

Lebih jauh lagi, minoritas Kristen harus menerima penodaan atas apa yang mereka anggap sakral bagi mereka, tanpa mereka sanggup mengajukan keluhan. Para perusuh Pakistan di Mardan pada tanggal 6 Februari 2006, dilaporkan membuat sebuah salib yang besar, kemudian menginjak-injak dan membakarnya. Mereka melakukan balas dendam atas apa yang mereka anggap sebagai penghinaan pada nabi mereka (sebagaimana yang dilakukan oleh ratusan ribu orang-orang Muslim lainnya di seluruh dunia), dengan kesadaran penuh bahwa orang-orang Kristen minoritas di Pakistan tidak bisa melakukan apa-apa.

Mungkin saja kebebasan untuk melakukan protes terhadap ketidakadilan seperti itu tidak selalu dilakukan di Barat. Negara bagian Victoria di Australia, sudah mempunyai Undang-Undang Toleransi Rasial dan Agama (2001), yang dipakai untuk mencegah orang-orang Kristen agar tidak mengajarkan orang Kristen lain tentang Islam. Inggris hampir saja meloloskan undang-undang seperti itu pada bulan Januari 2006, yang dapat menghentikan setiap kritik terhadap Islam atau perlakuan terhadap minoritas non-Muslim. Orang-orang Kristen harus menghadapi tantangan ini selagi mereka bisa.

Isu mengenai keadilan bagi minoritas Kristen adalah salah satu hal yang – sama seperti isu para murtadin dari Islam – bisa dengan mudah menjadi hal yang kurang diperhatikan, yaitu ketika ada keinginan untuk melakukan ‘dialog’ mengenai hubungan Kristen-Muslim yang baik. Tetapi jika hal ini dilakukan, ini sama halnya dengan mengkhianati saudara-saudari Kristen yang sedang teraniaya. Pada bulan Januari 2006, Dr. Mouneer Hanna Anis, Bishop Anglikan di Mesir, bertemu dengan rohaniwan senior Muslim Mesir di Trinity College, Dublin untuk meluncurkan sebuah paket yang dinamakan “The Hand of History/Tangan Sejarah (Mengeksplorasi Dialog antara Kristen dan Muslim).” Salah seorang Muslim yang bergabung di situ adalah Mufti Besar Mesir dan Rektor dari Universitas Al Azhar yang prestisius di Kairo, Institusi Islam Sunni yang sangat terkenal di dunia. Muslim lainnya adalah presiden Al-Azhar yang terlibat dalam Dialog dengan Agama-Agama Monoteistik.

Bishop membuat sejumlah pernyataan mengenai situasi orang-orang Kristen Mesir yang memberi kesan pada mereka dari latar belakang Kristen seolah-olah di Mesir tidak ada masalah yang dihadapi oleh orang Kristen, dan bahwa murtad dari Islam hanya menyebabkan kesulitan-kesulitan yang sifatnya minor. Pernyataan-pernyataan seperti itu sesungguhnya adalah sebuah penyesatan ekstrim (karena menyangkali sakit yang dialami oleh orang-orang yang sudah murtad dari Islam di negara itu), dan sebab itu sebuah dialog sulit dilakukan. Orang bertanya-tanya, apakah sang bishop menyadari bagaimana pernyataannya bisa saja dikutip oleh orang lain sehingga merugikan orang-orang Kristen Mesir yang sangat membutuhkan bantuan dan dalam kondisi yang sangat rapuh. Metropolitan Glastonbury, kepala gereja Ortodoks Inggris, yang merupakan bagian integral dari Gereja Koptik Ortodoks, menulis pada Arcbishop Canterbury, mengkritik pernyataan Dr. Mouneer, kemudian memperlihatkan kesulitan yang luar biasa besar yang sedang dihadapi oleh orang-orang Kristen Mesir, dan mengakhirinya dengan kalimat:

Dukungan persaudaraan dari komunitas Anglikan sedunia, dan khususnya di Mesir, adalah sesuatu yang sangat bernilai, akan tetapi jika hal ini merupakan nilai terakhir demi memampukan komunitas-komunitas agama yang berbeda bisa hidup bersama dalam harmoni, adalah juga penting untuk memberikan penekanan pada sumber dan realitas masalah-masalah yang menghalangi hal ini.[33]



[1] Sahih Muslim Hadith Book 26, Number 5389, narrated by Abu Harayrah

[2] Interviewed by John Ware in “A Question of Leadership”, Panorama, BBC 1, August 21,

2005

[3] Sahih Al-Bukhari Hadith 5.338, narrated by Ibn Abbas

[4] Bassam Tibi, “Blessed are those who are Lied to: Christian-Islamic Dialogue in Based on Deceit – and furthers Western Wishful Thinking,” Die Zeit, 29 May 29, 2002. Professor Tibi is a Muslim of Syrian origin, now at Goettingen University, Germany.

[5] Fatwa # 16642, Islamic Q&A Online with Mufti Ebrahim Desai, April 25, 2008

http://www.askimam.org/fatwa/fatwa.php?askid=33c81b82424386ffbdcb419a799c578b (viewed April 29, 2008)

[6] Martyn Brown, “Outcry as Muslim M&S Worker Refuses to Sell ‘Unclean’ bible Book,” The Daily Express, January 15, 2008

[7] Answers to Common Questions from New Muslims, collected by Abu Anas Ali ibn Husain Abu Lauz, translated by Jamaal al-Din M. Zarabozo (Ann Arbor, Michigan: Islamic Assembly of North America, 1995) p.27

[8] See “Description of Program Content” on the “Three Faiths, One God” website http://www.3faiths1god.com/about.htm (viewed April 30, 2008)

[9] Karen Hughes, “Remarks at “Three Faiths, One God’ Film Screening and Discussion,” (April 27, 2006) http://www.state.gov/r/us/65326.htm (viewed May 1, 2008)

[10] David Gillett, “Banda Aceh – Symbol of our Inter Faith Agenda,” The Reader Vol. 102, No. 4, Winter 2005, p.8

[11] Stephen Lowe, “In a Divided World, the Best Answer is to Unite” in Manchester Diocese’s magazine Crux, August 2005, p.7. Emphasis in original.

[12] Many Muslims consider Ramadan 27 to be the Night of Power bur certain groups take other

dates in Ramadan

[13] There are many varieties of dialogue including human, discursive and existential.

[14] H.M. Baagil, M.D., Christian Muslim Dialogue WAMY Studies on Islam 1984 (Riyadh: World Assembly of Muslim Youth, 1984) p.5

[15] On January 29, 2008 the Court of Administrative Justice in Cairo Egypt, rejected a request from Mohammed Higazy, a convert from Islam to Christianity, to have his new religion written on his identity card. The judgment reasoned that, “Monotheistic religions were sent by God in chronological order…As a result, it is unusual to go from the latest religion to the one that preceded it… [a Muslim who opposes this and leaves the religion] is an apostate, manipulating the true religion and leading himself astray.” Sout Alumah, February 4, 2008 p.6 [Translated from the Arabic]; “Egyptian court rejects Christian’s request” Sapa-AFP http://www.iol.co.za/index.php?set_id=1&click_id=68&art_id=nw20080129184432778C629924 (viewed April 30, 2008)

[16] Ismail Raji al-Faruqi, Islam and Other Faiths (Leicester: The Islamic Foundation, 1998) p.91: “Evidently, far from being a national state, the Islamic State is a world order in which numerous religious communities, national or transnational, co-exist in peace. It is a universal Pax Islamica… Its constitution is divine law, valid for all…”

[17] To view the full text of The Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought letter from Muslim clerics, “A Common Word Between Us and You” http://www.acommonword.com/index.php?lang=en&page=option1

[18] To view the full text of the Yale Center for Faith and Culture Response “Loving God and Neighbor Together”: A Christian Response to ‘A Common Word Between Us and You’ http://www.yale.edu/faith/abou-commonword.htm

[19] Michelle Vu,”Christian, Muslim Relief Groups Launch Multi-Million Global Partnership,”The Christian

Post, June 26, 2007 http://www.christianpost.com/pages/print.htm?aid=28165 (viewed April 29,

2008)

[20] This is inferred from the fact that the bishop does not mention anything about Christians in Aceh in an article he wrote describing his visit. David Gillett, “Banda Aceh – Symbol of our Inter Faith Agenda” The Reader Vol. 102, No. 4 (Winter 2005) pp.7-8

[21]International Centre for Religion and Diplomacy, “Our Project/Pakistan” http://www.icrd.org/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=104 (viewed April 30, 2008)

[22] Dr. Douglas M. Johnston, “Faith-Based Diplomacy: Bridging the Religious Divide”, Remarks to the Secretary’s Open Forum, December 8, 2006

http://www.state.gov/s/p/of/proc/79221.htm (viewed April 30, 2008)

[23] Jim Landers, “With Coaxing, Pakistan’s Religious Schools Shed Militancy,” Dallas Morning News, March 10, 2008

[24] “Wolf Announces New Middle East Initiative,” on Congressman Wolf’s website, http://www.wolf.house.gov/index.cfm?sectionid=34&parentid=6&sectiontree=6,34&itemid=70 (viewed May 3, 2008)

[25] Rob Moll, “Q&A: Tony Hall,” Christianity Today, May 16, 2007,

http://www.christianitytoday.com/ct/article_print.html?id=45558 (viewed May 1, 2008)

[26] To read more about the place of love in Islam turn to pages 146-165 in the Appendix.

[27] Teresa Watanabe, “Evangelical Seminary Reaches Out to Muslims,” The Los Angeles Times, December 6, 2003

[28] http://www.fuller.edu/alumni_ae/E-News/2003-12/conflict_resolution.asp (viewed May 1, 2008)

[29] http://www.yale.edu/faith/abou-commonword.htm

[30] See for example “Christian clerics respond to Muslim hand of peace”, Gulfnews.com, November 26, 2007, a report on the Yale Center statement which began with the sentence “More than 300 Christian clergymen signed a letter, apologizing to Muslims for Crusades and the consequences of the war on terror, which resulted in human and faith.” http://archive.gulfnews.com/articles/07/11/27/10170624.html (viewed April 30, 2008)

[31] A particularly good work on evangelizing Muslims is Malcolm Steer, A Christian’s Evangelistic Pocket Guide to Islam (Fearn, Tain, UK: Christian Focus Publications, 2003).

[32] See, for example, Marwan Ibrahim Al-Kaysi, Morals and Manners in Islam: A Guide to Islamic Adab (Leicester: The Islamic Foundation, 1996)

[33] Letter from Metropolitan Seraphim of the British Orthodox Church to Dr. Rowan Williams, Archbishop of Canterbury, February 6, 2006

No comments:

Post a Comment