Tuesday 8 March 2011

APPENDIX 2

APPENDIX 2

Konsep Kasih Dalam Islam

Sebuah Paper oleh Barnabas Fund


Introduksi: Kontras dengan Kekristenan

Kasih Tuhan adalah tema sentral Perjanjian Baru dan dengan demikian juga merupakan tema sentral dari iman Kristen. Kasih adalah atribut Tuhan yang utama dan sangat penting. Pesan utama dari Perjanjian Baru adalah bahwa Tuhan adalah kasih dalam keberadaanNya, dan bahwa kasih ini telah dinyatakan dalam Yesus Kristus sebagai tindakan kasihNya yang terutama, yaitu dengan memberikan diriNya sendiri mati di kayu salib (Yohanes 3:16; 1 Yohanes 4:7-12).

Namun demikian, dalam Islam fokusnya terletak pada kepatuhan, karena itu kasih tidak pernah lebih dari sekedar banyak tema-tema minor lainnya. Para apologet Muslim modern di Barat kadang-kadang menyebut Tuhan sebagai Tuhan yang mengasihi. Ini bukanlah sebuah konsep yang diterima oleh Islam Ortodoks tradisional, tetapi muncul sebagai sebuah pendirian modern untuk beradaptasi dengan lingkungan dimana orang-orang Muslim ada.

Kasih dalam Qur’an dan Hadis

Dalam sebuah kesempatan yang jarang terjadi, ketika istilah kasih disebutkan dalam Qur’an, biasanya dalam pengertian kasih antara pribadi-pribadi dan kasih akan hal-hal yang bersifat materi. Kasih dalam Qur’an terutama berarti ‘menyukai’ atau ‘pilihan’. Qur’an sendiri tidak pernah menyebut Tuhan itu adalah kasih.

Ada sejumlah ayat yang berbicara mengenai kasih manusia terhadap Tuhan, sebagai contoh:

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Q 2:165)

Ada sedikit ayat yang berbicara mengenai kasih Tuhan terhadap manusia dengan kategori yang spesifik (Muslim yang saleh). Kasih ini berasal dari keinginan Tuhan, dan bukan dari naturNya sendiri. Tuhan mengasihi orang benar dengan memberikan upah pada mereka, sebagai hal yang berlawanan dengan orang-orang yang melakukan perbuatan jahat dan karena itu dihukum Tuhan.

... maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Q 3:76)

Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan; (Q 3:134)

Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Q 3:146)

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Q 2:222)

...Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q 49:9)

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Q 61:4)

Namun demikian, Tuhan tidak menyukai orang berdosa dan ia menolak musuh-musuhNya.

...Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar. (Q 30:45)

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (Q 16:23)

Kata yang paling sering dipakai dalam Qur’an untuk kasih adalah hub dan kata ini berasal dari kata (mahabba, yuhibbu, dsb). Kata ini bisa dikaitkan dengan kata dalam bahasa Ibrani Perjanjian Lama yaitu ahabah (akar: ahb) yaitu kata yang paling sering dipakai untuk melukiskan kasih, baik kasih Tuhan kepada manusia, maupun kasih manusia kepada Tuhan.

Mahabba, istilah Arab Islam yang paling umum untuk kasih, mengandung makna kasih sayang yang diinspirasikan dalam diri manusia sebagai ekspresi dari syukur atas berkat-berkat Tuhan. Pada sisi Tuhan, mahabba biasanya diberikan sebagai sebuah hadiah untuk orang-orang beriman yang baik, yang telah mengikuti Muhammad dan tunduk kepada Tuhan.

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q 3:31)

Kasih Tuhan disini, bagi Muslim yang mengikuti Muhammad adalah sebuah upah dan bukan sebuah relasi. Para penafsir klasik Qur’an mula-mula melihat ayat ini dalam kaitan dengan polemik terhadap orang-orang Kristen. Orang Kristen mengatakan bahwa mereka mengasihi Tuhan, tetapi karena mereka tidak mengikuti Muhammad maka klaim mereka itu salah. Ibn Kathir dalam komentarnya mengenai ayat ini berkata: ”Ayat ini adalah sebuah keputusan dalam kaitan dengan seseorang yang mengklaim bahwa ia mengasihi Tuhan, tetapi tidak mengikuti cara hidup yang sudah ditetapkan oleh Nabi Muhammad. Karena itu klaimnya itu sesungguhnya adalah dusta...”[1]

Kasih juga muncul dalam sumber Islam lainnya yaitu koleksi-koleksi Hadis. Dalam Hadis, ada referensi-referensi untuk mengasihi hal-hal tertentu, mengasihi kemartiran, kasih kepada Tuhan, dan kasih kepada Muhammad dan kepada orang-orang Muslim yang patut untuk dikasihi.

Kasih dalam Teologi Islam

Berdasarkan pengajaran Islam, hakekat dan natur Tuhan tidak bisa dikenal. Karena itu statemen seperti “Tuhan itu kasih” (yang muncul dalam Alkitab, 1 Yohanes 4:8,16) dianggap salah secara teologis, bahkan dianggap sebagai penghujatan dalam Islam klasik.

Islam tidak mengajarkan atribut Tuhan sebagai sesuatu yang bisa dikenal, dan ini digambarkan dalam bentuk ke “99 nama-nama Indah”. Nama-nama ini menekankan pada omnipotence (kemahakuasaan) dan ominiscience (Kemahatahuan) Tuhan, kasih dan anugerahNya, kedaulatan dan kehendakNya yang tidak bisa dimengerti, tetapi bukan kasihNya.

Dalam Islam, Tuhan menyatakan diriNya terutama melalui hukumNya (Syariah) yang memanggil orang untuk tunduk dan taat. Sementara dalam Kristen, Tuhan adalah sosok yang personal dan membangun relasi kasih yang bersifat pribadi dengan umatNya. Dalam Islam klasik, Tuhan dipandang sebagai Oknum yang ada untuk diriNya sendiri dan mustahil manusia bisa mengadakan relasi denganNya. Dalam Islam, kendati Tuhan mengasihi orang-orang Muslim tertentu sebagaimana yang ia kehendaki, namun Ia sendiri tidak terikat untuk senantiasa mengasihi mereka bahkan meskipun mereka layak untuk Ia kasihi. Tuhan tidak wajib untuk melakukan apapun, tetapi Ia bertindak sebagaimana yang Ia mau, terkadang dengan cara-cara yang sepenuhnya tidak terduga.

Islam Ortodoks klasik lebih peduli dengan kebesaran dan transendensi Tuhan, dengan hukum syariah dan aplikasi-aplikasinya, daripada mengenai kasih Tuhan. Tuhan itu mutlak berbeda, tidak bisa dikenal, jauh melampaui apa yang bisa diketahui atau diimajinasikan (wara’l wara – melampaui segalanya). Peran manusia adalah untuk tunduk, takut dan taat kepada Tuhan dan hukumnya.

Sebagai contoh, dengan adanya seruan dari seorang sarjana Islam yang dikenal luas, Tariq Ramadan, pada bulan Maret 2005, untuk mengadakan sebuah moratorium mengenai hukuman-hukuman hudud yang brutal, yang masih diimplementasikan di sejumlah negara Islam (amputasi, rajam, cambuk, dsb), sejumlah sarjana Islam menentang saran yang ia kemukakan. Sheikh Muhammad al-Shinqiti, direktur Pusat Islam South Plain di Lubbock – Texas, mengklaim bahwa hukuman yang keras seperti itu adalah bagian dari Syariah, dan setiap usaha untuk memperhalus sama dengan menerima konsep-konsep Kristen Barat yang tidak sesuai dengan Islam. Shinqiti menyatakan bahwa sebuah iman yang bersifat personal, sebagaimana yang ada dalam Kekristenan, akan membawa pada korupsi dan immoralitas. Ia lebih suka sikap yang tidak terpengaruh dan hukuman yang keras dari Islam, dengan mengutip ayat dari Qur’an,

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (Q 24:2)

Dalam pandangan ini, kekerasan dan bukannya kasih serta anugerah merupakan jantung dari Islam. Kesimpulannya adalah bahwa Kekristenan itu lemah dan rendah, sebab pada intinya, ia mempunyai kasih dan anugerah.

Kasih dalam Sufisme

Kita serahkan pada mistik Islam (Sufisme) untuk coba memperbaiki keseimbangan dan mengintroduksikan tema kasih ke dalam Islam. Sufisme menawarkan sebuah jalan keluar bagi guru-guru dan sarjana Islam Ortodoks yang kering dan bersifat legalistik dalam intelektualitas mereka. Ia memfokuskan pada kerinduan manusia yang sangat dalam untuk mengalami sebuah pengalaman pribadi yang otentik dengan Tuhan. Sufisme mengajarkan bahwa pengalaman ini bisa dimiliki melalui sebuah intepretasi spiritual mengenai tujuan Qur’an dengan cara mencari arti-arti yang rahasia dari Kitab Suci Muslim ini, dan dengan menjalankan asketisme secara disiplin, merapalkan secara berulang-ulang nama-nama Allah, mengontrol nafas, meditasi dan keadaan tidak sadar (trance).

Rabi’a al-Adawiyya (meninggal tahun 801 M), memperkenalkan tema Kasih Ilahi ke dalam Sufisme. Ia rindu untuk mengasihi Tuhan hanya bagi dirinya sendiri, bukan karena mengharapkan upah di surga dan juga bukan karena takut akan penghakiman dan neraka. Setelah kematiannya, tema kasih menjadi sebuah karakter dominan Sufisme, mengekspresikan pencarian tanpa akhir untuk menyatu dengan Yang Ilahi dan yang dikasihi. Kerinduan untuk sebuah relasi kasih dengan Tuhan diekspresikan oleh para Sufis dalam bahasa kasih manusia, mirip dengan yang ada dalam kitab Kidung Agung dan Mazmur. Puisi kaum Sufi menggambarkan secara simbolik hubungan antara Tuhan Sang Kekasih Ilahi dengan manusia yang mencari kasihNya.

Orang-orang Sufi memakai Qur’an 85:14 “Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih” (al-wadud) untuk mengekspresikan bahwa Tuhan itu adalah kasih. Dari ayat ini, muncullah salah satu dari ke-99 nama-nama Indah Tuhan, Al-Wadud (Dia yang Mengasihi, Yang Paling Mengasihi, Yang Penuh Dengan Kasih Sayang, Yang Dicintai). Wadud, dari akar kata wdd, punya kaitan dengan kata Ibrani dalam Perjanjian Lama yaitu dod atau dodim (plural) yang banyak dipakai dalam kitab Kidung Agung ketika berbicara mengenai cinta yang murni antara pria dan wanita. Dari kata inilah kita bertemu dengan nama Daud (David – artinya Yang Dicintai). Namun demikian, dalam Islam klasik legalistik, wadud ditafsirkan dengan pengertian seseorang yang ditentukan untuk mendapatkan kemurahan, yang menunjukkan kebaikan dan kemurahan hati, kebanyakan berbicara mengenai kasih sayang dan bukan mengenai kasih yang sejati.

Sebagai tambahan untuk istilah Qur’anik mahabba dan wudud, orang-orang Sufi juga memasukkan istilah ‘ishq untuk kasih. ‘Ishq menunjukkan sebuah hasrat yang tidak bisa dihilangkan dan tidak bisa ditolak demi penyatuan dengan Yang Dikasihi (Tuhan).

Biasanya Sufisme bisa ditemukan dalam setiap cabang Islam tradisional, tetapi para sarjana ortodoks legalistik selalu mengecam mereka. Gerakan pembaharuan Islam yang keras, yang sedang berkembang dengan pesat hari-hari ini, telah menolak Sufisme yang mereka anggap sebagai tambahan dan inovasi-inovasi bentuk-bentuk penyembahan berhala dan karenanya harus dibersihkan dari Islam. Konsep kasih ditolak oleh gerakan-gerakan seperti ini dan dikecam sebagai sebuah bentuk penyembahan berhala. Gagasan Kristen atau Barat memang tidak pernah cocok dengan Islam sejati.



[1] Quoted in Sayyid Qutb, In the Shade of the Qur’an, Vol.2, translated and edited by Adil

Salahi and Ashur Shamis, Leicester: The Islamic Foundation, 2000, p.65.

No comments:

Post a Comment