Bab 1
Introduksi
Peristiwa tragis 11 September 2001 telah memunculkan minat yang besar terhadap Islam. Dalam kurun waktu 7 tahun sejak saat itu Islam telah menjadi topik yang sering diperdebatkan dan dianalisa di media Barat, masyarakat dan gereja. Dapat dikatakan bahwa belum pernah sebelumnya kita mempunyai begitu banyak informasi mengenai banyak hal sehubungan dengan Islam dan orang Muslim. hal ini juga ditambah dengan faktor-faktor seperti pertumbuhan kelompok minoritas Muslim di Barat, “perang terhadap terorisme” (yang sejauh ini merupakan perang terhadap terorisme Islam), penyerangan-penyerangan Amerika terhadap Afghanistan dan Irak, reaksi-reaksi komunitas Muslim di seluruh dunia, proposal program nuklir Iran, dan reaksi orang Muslim sedunia terhadap publikasi kartun-kartun Muhammad, sang nabi Islam. Semua isu ini telah menempatkan Islam pada pusat perhatian dan mendorong adanya suatu pemikiran ulang yang radikal mengenai opini Barat mengenai natur Islam.
Awalnya debat mengenai Islam terutama sekali sangat diwarnai dengan faktor-faktor seperti rasa bersalah yang timbul setelah masa kolonialisme dan simpati bagi pihak-pihak yang direndahkan, namun kini debat mengenai Islam sangat dikompori dengan teori-teori seperti pendekatan revisionis terhadap sejarah, berdasarkan tesis Samuel Huntington mengenai “pertikaian peradaban” yang tidak terelakkan (antara Islam dan Barat), dan dekonstruksionisme filsafat dan linguistik yang meniadakan semua hal yang absolut.
Hal yang menarik adalah juga terjadinya suatu perubahan yang dramatis dalam cara orang Muslim mempresentasikan keyakinan mereka kepada orang luar. Fenomena ini dimulai sebelum 11 September 2001, tetapi jumlahnya meningkat dengan sangat cepat sejak hari itu. Pendorongnya adalah hasrat untuk membela Islam dari kritik negatif apapun dan menghadirkannya sebagai sesuatu yang benar-benar positif dan mengosongkannya dari kesalahan apapun yang ada di sepanjang sejarahnya. Ini digambarkan sebagai “membungkus pikiran dengan sorban”. Pemerintah-pemerintah Muslim dengan banyaknya agensi dan institusi dan juga komunitas-komunitas Muslim mereka di Barat berketetapan agar agama mereka dipahami dan dihormati, sehingga mereka meluncurkan gerakan-gerakan besar melalui televisi, radio, suratkabar, buku-buku, artikel-artikel, internet, penceramah-penceramah dan pengajar-pengajar untuk mendidik orang-orang non Muslim. Islam tampaknya hendak memberi inspirasi literal untuk menulis ulang buku-buku teks.
Sebagai tambahan bagi upaya-upaya pemerintah-pemerintah Muslim, adalah yang dilakukan oleh pemerintah Barat, yang semakin lama semakin percaya bahwa untuk menurunkan tingkat kekerasan Islam, mereka harus menghormati agama Islam. Oleh karena itu mereka telah meluncurkan gerakan-gerakan mereka sendiri untuk mendidik publik non Muslim mengenai natur Islam. Maka Pemerintah Amerika berusaha menangkis ancaman teroris di dalam dan luar negeri dengan mempromosikan konsep bahwa pada dasarnya Islam adalah agama damai, sama seperti kekristenan, tetapi telah diserongkan dan diputarbalikkan oleh sekelompok kecil kaum ekstrimis yang kejam. Lebih jauh lagi, pemerintah Barat telah menciptakan suatu “industri” lintas agama yang di dalamnya mereka meyakini bahwa melalui hubungan-hubungan antar agama, orang Muslim akan menjadi lebih moderat, kekerasan akan ditiadakan, dan sebagai hasilnya adalah lahirnya kedamaian dan keselarasan. Lintas agama kini telah menjadi sebuah kendaraan kebijakan-kebijakan, bukan hanya untuk pemerintah Amerika Serikat namun juga untuk pemerintah-pemerintah negara lainnya.
Gereja, pertama-tama yang beraliran liberal dan kini banyak juga yang injili, telah mengikuti agenda lintas agama oleh pemerintah ini. Pada sekitar tahun 1980-an Dewan Gereja Sedunia adalah arsitek dialog antar agama dan melahirkan gerakan lintas agama yang menekankan kesamaan semua agama, namun kini semakin banyak pula kaum injili yang juga mengenakan jubah ini.
Sudah barang tentu, pemerintah, gereja dan individu-individu Kristen berhak dan melakukan tindakan yang tepat untuk mengupayakan hal yang baik bagi komunitas dan hubungan-hubungan antar agama serta mencegah timbulnya kekerasan bermotivasi religius. Namun jika pemerintah pada prakteknya menggunakan gereja sebagai alatnya untuk menyelesaikan tugas ini, dampaknya akan sangat merusak; hal ini akan mengasosiasikan kekristenan dengan kebijakan pemerintah yang akan berdampak negatif bagi kelompok-kelompok minoritas Kristen di dunia Muslim yang dianggap bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan pemerintah Barat.
Melalui keterikatan dengan orang-orang Muslim, melalui dialog-dialog antar agama, melalui dukungan bagi tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan Islam, banyak orang Kristen dari berbagai aliran yang nampaknya kini percaya bahwa mereka harus membantu merehabilitasi Islam dan menegakkannya di wilayah publik. Bersama dengan para politisi sekuler, orang-orang Kristen muncul sebagai para pembela, pelindung dan pemersatu Islam. Beberapa pihak melakukan hal ini dengan pengharapan bahwa orang Muslim akan juga menghormati orang Kristen dan mengijinkan adanya kebebasan upaya-upaya penginjilan di dalam negara mereka. Yang lain melakukannya oleh karena rasa takut, karena mereka meyakini bahwa – demikian pula orang Muslim ingin agar mereka percaya – jika kedua agama ini dalam waktu yang tidak terlalu lama akan terlibat dalam peperangan yang sangat mengerikan. Dengan demikian mereka berusaha untuk mengenyahkan perang ini dengan cara menggabungkan kekuatan dengan Islam. Sedangkan yang lain melakukannya karena mereka telah membiarkan emosi mereka mengarahkan intelektualitas dan teologi mereka; mereka telah mengeneralisir segala sesuatu hanya karena mereka mengenal individu-individu Muslim yang moderat dan cinta damai, dan mereka ingin meyakini bahwa itulah karakteristik agama tersebut secara keseluruhan. Orang-orang Kristen seperti itu mengalami kesulitan besar dalam mengkritik Islam karena kasih mereka kepada orang-orang Muslim pada umumnya atau persahabatan mereka dengan individu-individu Muslim tertentu. Sementara sudah barang tentu orang-orang Kristen dipanggil untuk mengasihi orang Muslim, mereka yang mengafirmasi dan mempromosikan Islam nampaknya tidak mampu membedakan Islam sebagai sebuah teologi dan ideologi yang pada hekekatnya berbeda dengan orang-orang Muslim itu sendiri. Orang-orang Kristen seperti itu secara tidak sadar telah merangkul keyakinan Islam saat mereka berusaha merangkul orang-orang Muslim. Sehingga kemudian ada orang-orang Kristen yang percaya bahwa gereja harus banyak belajar dari Islam. Mereka menekankan kesamaan antara Islam dan kekristenan, dan melihat karya pendamaian Kristus itu mencakup kemanusiaan seluruhnya.
Posisi sedemikian terhadap Islam telah membawa kekacauan besar, dan kekristenan kini sangat terpecah-belah. Kenyataannya, Islam telah menjadi agen perpecahan di kalangan orang Kristen baik kelompok liberal dan juga injili. Beberapa denominasi seperti Gereja Katolik Roma yang dipimpin oleh Paus Benediktus XVI dan denominasi-denominasi ortodoks tidak memberi tanggapan terhadap meningkatnya tuntutan-tuntutan Islam. Melainkan, mereka berusaha untuk mempertahankan pondasi-pondasi teologis mereka. Sedangkan kelompok Kristen Protestan, dan terutama orang-orang Kristen Injili, yang terperangkap dalam post-modernitas dan mengalami kelonggaran dasar-dasar teologis, akan melihat Islam sebagai sesuatu yang lebih pasti, berkenaan dengan daya hidup mereka. Adalah Profesor Johan Bouman dari Marburg, Jerman, yang mengobservasi bahwa Islam akan memberikan tantangan yang jauh lebih besar terhadap kekristenan pada abad ke-21, daripada yang diberikan oleh Gnostisisme kepada gereja mula-mula.
Presiden Theodore Roosevelt pernah berkata,”Jika saya harus memilih antara kebenaran dan kedamaian, saya memilih kebenaran”. Bagi orang-orang Kristen di jaman sekarang, adalah penting bahwa kita memilih kebenaran yang mencakup kebenaran dan keadilan, dan bukannya mengorbankan kedua hal ini dalam ketidakpastian pengharapan adanya damai dengan Islam. Prinsip ini berlaku bagi gereja dan juga negara, demikianlah Roosevelt menyimpulkan.
Jadi sikap apakah yang seharusnya diambil oleh gereja Kristen terhadap salah satu agama dunia yang besar ini, yang nampaknya banyak kesamaan doktrin dengan kekristenan namun jelas sangat berbeda dalam kenyataannya? Buku ini bertujuan untuk menolong orang-orang Kristen dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pertama-tama kita akan melihat natur Islam, dan membandingkannya dengan kekristenan. Isu-isu kontemporer yang penting akan diuji secara bergantian. Setiap isu sangat penting berkenaan dengan bagaimana Islam dimanifestasikan dalam masyarakat kontemporer. Akhirnya, kita akan melihat beberapa isu praktis berkaitan dengan relasi antara Kristen dengan Muslim di Barat.
Islam kontemporer semakin fokus pada Islam klasik dan manifestasi-manifestasinya. Islam klasik diformulasikan pada beberapa abad pertama setelah masa Muhammad, dan pada abad ke-10 M, disepakati bahwa pekerjaan ini telah diselesaikan. Konsensus (dalam kelompok Islam Sunni, yang beranggotakan sekurang-kurangnya 80% orang Muslim pada masa kini) menetapkan bahwa kini tidak ada lagi perubahan yang dapat dilakukan terhadap regulasi yang telah ditetapkan oleh para sarjana Muslim mula-mula. Proses dimana perubahan semacam itu boleh terjadi disebut sebagai ijtihad dan inilah yang diklaim oleh kelompok Muslim liberal dan juga para Islamis sedang mereka lakukan dalam upaya mereka untuk mereformasi Islam dalam arah yang mereka tetapkan. Namun demikian, di antara sejumlah besar orang Muslim secara umum ada ketakutan yang besar jika melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan-peraturan tradisional, karena hal ini akan dipandang sebagai penghujatan atau murtad.
Dengan demikian, sebenarnya mustahil untuk mengubah atau mengadaptasi Islam. Akibatnya, ada konflik yang tidak terelakkan antara beberapa aspek tertentu dalam Islam dengan beberapa norma masyarakat modern. Konflik ini lebih dari sekadar sebuah pertanyaan yang mengusik mental orang per orang, karena bagian yang terpenting dalam Islam adalah menghidupi iman pribadi individu di tengah masyarakat. Iman atau keyakinan, bagi seorang Muslim, tidaklah semata-mata bersifat pribadi, namun iman memiliki implikasi-implikasi sosial, politis dan budaya. Seorang Muslim meyakini bahwa keyakinan mereka harus berdampak pada masyarakat dimana mereka tinggal dan harus berkontribusi pada karakter islami dari masyarakat tersebut. Aspek politis ini nampaknya telah menjadi fitur dominan dari Islam di Barat. Relatif hanya ada sedikit orang Muslim liberal yang berpikir untuk meninggalkan ortodoksi dengan berusaha mengadaptasi keyakinan mereka agar berintegrasi ke dalam masyarakat modern.
Almarhum Dr. Zaki Badawi, yang pernah menjadi presiden Muslim College di London, mengemukakan asumsi mendasar di dalam Islam yaitu bahwa orang Muslim harus tinggal di dalam masyarakat yang islami, sebagaimana yang diperintahkan oleh pengajaran-pengajaran Islam.
“Sejarah Islam sebagai sebuah keyakinan adalah juga sejarah suatu negara dan suatu komunitas orang-orang beriman yang hidup berdasarkan hukum Ilahi. Orang-orang Muslim, para ahli hukum dan teolog senantiasa menempatkan Islam baik sebagi sebuah pemerintahan dan suatu keyakinan. Ini merefleksikan kenyataan sejarah bahwa sejak awalnya, orang-orang Muslim hidup di bawah hukum mereka sendiri. Para teolog Muslim secara alamiah menghasilkan sebuah teologi berdasarkan pandangan ini – yaitu sebuah teologi mayoritas. Menjadi kelompok minoritas tidak pernah sungguh-sungguh dipikirkan dan direnungkan.”[1]
Badawi terus menjelaskan bahwa tidak ada konsensus di dalam Islam mengenai bagaimana orang-orang Muslim harus hidup sebagai kelompok minoritas di dalam sebuah kelompok masyarakat yang mayoritas non Muslim.
Omar Ahmed, pendiri Council on American Islamic Relations (CAIR), yang adalah kelompok “pembebasan sipil” terbesar di Amerika Serikat yang berupaya “mempromosikan citra Islam dan orang Muslim yang positif di Amerika”, meyakini bahwa Islam harus menjadi dominan di Amerika.
“Islam di Amerika tidak boleh menjadi setara dengan keyakinan manapun, namun harus menjadi dominan. Qur’an, kitab suci orang Muslim, harus menjadi otoritas tertinggi di Amerika, dan Islam adalah satu-satunya agama yang diakui di bumi”.[2]
Dengan demikian Islam harus berdampak pada masyarakat dimana Islam menemukan dirinya sendiri. Dampak ini dirasakan dalam 6 bidang utama, seperti yang dikemukakan oleh Pdt. Albert Hauser, yaitu: spiritual, teologi, misi, sosial-kemasyarakatan, politik dan keadilan.
“Islam adalah sebuah gerakan spiritual, yang di sepanjang sejarah telah berdampak besar terhadap gereja Kristen. Ada banyak tekanan dan penderitaan, oleh karena Islam memandang orang-orang Kristen telah tersesat dan oleh karena Islam menolak dan menganggap keyakinan-keyakinan mendasar kekristenan sebagai sesuatu yang sudah punah”.
Secara teologis keseluruhan konsep inkarnasi, kemenangan kematian Kristus dan karya penebusan-Nya di salib ditolak oleh Islam, demikian pula doktrin Tritunggal dalam memahami Tuhan. Salib ditutupi dan tantangan bagi gereja Kristen adalah untuk memahami dan mengakui dengan berani bahwa Yesus adalah Tuhan sejati dan manusia sejati. Oleh karena Islam percaya pada kesatuan antara yang sakral dengan yang sekuler, juga penyatuan negara dengan agama, Islam juga memberikan tantangan politik. Dalam banyak hal Islam harus dipandang sebagai sebuah ideologi yang berusaha mendapatkan kekuasaan politis. Islam tidak hanya sebuah agama seperti yang dipikirkan oleh Barat, namun juga sebuah ideologi yang mempunyai klaim total terhadap kehidupan sosial dan politik para penganutnya, diperintah oleh hukum yang bersifat ilahi, dan bukan hukum sekuler. Oleh karena hukum ilahi (Syariah) dianggap sebagai hukum yang tertinggi di atas semua hukum buatan manusia dari kelompok masyarakat sekuler, senantiasa ada kecenderungan untuk memaksakan legislasi lainnya agar bersesuaian dengan Syariah.[3]
Orang-orang Kristen Barat yang berpikir untuk bereaksi dengan sikap yang pantas, penuh kasih, alkitabiah dan menuruti teladan Kristus, di hadapan Islam dalam masyarakat mereka harus mempunyai pemahaman yang jelas mengenai natur Islam – teologi, etika, dan budayanya – sehingga dapat memilah hal-hal apa saja yang menjadi kesamaan dan apa saja yang menjadi perbedaan-perbedaan. Ini akan membantu dalam mengambil keputusan-keputusan penting berkenaan dengan pendekatan terhadap orang Muslim, dan tentu saja bagaimana merespon pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan terhadap orang-orang Kristen. Yang tidak boleh dilupakan adalah, sementara banyak orang Kristen berusaha mendekati Islam, pada saat yang sama banyak orang Muslim berupaya untuk menetralisir dan menafikan semua bentuk misi Kristen. Semakin banyak negara Muslim yang berupaya menyingkirkan semua misionaris asing dan menghentikan kegiatan-kegiatan misi. Penginjil-penginjil nasional dianiaya dan diancam, ada pula yang dibunuh. Kelompok-kelompok Islam internasional mengklaim bahwa misi dan penginjilan mendatangkan perpecahan, anti Islam dan bertanggung-jawab atas berkembangnya islamofobia, dan oleh karena itu harus dihentikan.
Lebih jauh lagi, orang-orang Muslim juga semakin aktif dalam memproselitkan mereka sendiri. Dalam kekosongan spiritual yang ada di Barat pada abad 21 yang materialistis ini, para misionaris Muslim seringkali menemukan bahwa pemberitaan atau dakwah mereka mengenai Islam mendapatkan sambutan yang baik. Mereka sangat mahir dalam mempresentasikan keyakinan mereka secara positif dan membujuk publik umum dengan mengatakan bahwa istilah-istilah seperti jihad dan Syariah benar-benar tidak mempunyai makna yang membahayakan. Mereka juga menggunakan istilah-istilah yang tidak asing seperti “kebebasan” dan “kesetaraan” dengan sangat baik, yang sesungguhnya mempunyai makna yang sangat berbeda dalam Islam, namun hal ini tidak diklarifikasi kepada para pendengar non Muslim. Mereka berupaya tidak hanya untuk mendapatkan “petobat-petobat baru” orang per orang tetapi juga mengubah cara masyarakat Kristen memandang dunia secara keseluruhan agar bersesuaian dengan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai Islam. Gereja – yang harus dapat melihat tantangan ini dengan lebih mudah daripada masyarakat pada umumnya – mempunyai peran penting untuk menjembatani jurang yang ada dan menolong masyarakat Kristen pada umumnya untuk melindungi warisan Yudeo-Kristennya dan untuk kembali mengkaitkan diri pada akar-akar spiritual dalam Alkitab yang telah lama dilupakan, yaitu akar-akar yang telah membentuk dan menuntun masyarakat Kristen sedemikian dalamnya. Di Barat, masyarakat Kristennya sangat tidak menyadari hal ini.
[1] Zaki Badawi, Islam in Britain (London: Taha Publishers, 1981) p.26
[2] Lisa gardiner, “American Muslim Leader Urges Faithful to Spread Word,” San Ramon Valley (CA) Herald, July 4, 1998
[3] Albrecht Hauser, unpublished lecture, January 23, 2006
No comments:
Post a Comment