APPENDIX 1
Dr. Murad Wilfried Hofmann,
“Perbedaan Antara Konsep Muslim dan Kristen Tentang Kasih Ilahi”[1]
Konperensi Umum Ke-14
Amman, 4-7 September 2007
“Perbedaan Antara Konsep Muslim dan Kristen Tentang Kasih Ilahi”
Dr. Murad Wilfried Hofmann
Amman – Kerajaan hashemite Yordania
1. Introduksi
Semua agama menggenapi beberapa fungsi. Mereka coba membangun sebuah hubungan antara manusia dengan Realitas yang lebih besar, yang mana manusia tersebut membentuk sebuah bagian kecil, menyesuaikannya ke dalam jagat raya yang sangat besar yang ia diami.
Biasanya hal ini membawa pada [1] sebuah intepretasi metafisik terhadap dunia dan melahirkan dalil mengenai sosok Keberadaan Tertinggi Yang Ilahi. Usaha-usaha ini, dengan cepat atau perlahan akan mencapai puncaknya dalam sebuah pengetahuan tentang Tuhan, secara verbal disebut “teologi” atau dalam Islam disebut sebagai al-aqida.
Dalam hidup sehari-hari, agama pun dipakai untuk menyediakan aturan-aturan untuk menyembah yang Ilahi (al-ibadat), dan untuk membimbing urusan-urusan manusia dalam semua bidang (al-mu’amalat). Aspek-aspek keagamaan ini cenderung membawa pada perhatian terbesar, tidak saja karena pengaruhnya yang bersifat langsung dalam urusan hidup sehari-hari, tetapi juga karena berdampak lebih banyak pada hal-hal yang bersifat konkret dan praktis, dibandingkan dengan kontribusi teologi yang bersifat esoterik dalam pengertiannya yang paling original dan murni.
Jeleknya, peran yang dimainkan oleh agama-agama dalam politik dewasa ini melahirkan para aktifis yang secara total mengalihkan aspek-aspek teologis agama. Hal ini benar bagi semua religiositas kontemporer atau fenomena pseudo-religius yang disebut “-isme”.
Termasuk di dalamnya Orang-orang Kristen Injili Amerika yang mempromosikan sebuah fundamentalisme menakutkan yang sudah dipolitisasikan, dan juga apa yang disebut sebagai Islamisme, yaitu ideologi politik militan yang dipraktekkan oleh orang-orang Muslim. [2]
Karena itu, sebagaimana yang diamati oleh the Royal Aal-Bayt Institute untuk Pemikiran Islam, adalah penting saat ini untuk berfokus pada akar utama religiositas Islam: yaitu keyakinan pada Allah ta’ala sebagai sebuah Ilah (Tuhan), Yang berinteraksi dengan ciptaanNya dalam kasih dan yang memberikan perintah untuk mengasihi dan menyayangi semua orang percaya sejati.
2. Mengasihi Tuhan dalam Islam dan Kristen
1. Konsep Kristen
Orang-orang Kristen menganggap iman mereka sebagai sebuah “agama iman”. Hal ini berarti bahwa secara komprehensif , ia merupakan agama yang menyerukan, bahkan memerintahkan (a) untuk mengasihi Tuhan dan (b) untuk mengasihi sesama, yaitu semua manusia, baik teman maupun musuh...
a. Mengasihi Tuhan
Perintah agar orang Kristen mengasihi Tuhan, disampaikan oleh Yesus, bisa ditemukan di Markus 12:30 sebagai berikut: Dan Kasihilah YAHWEH, Elohimmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Inilah perintah yang terutama.
Hugo Ball (d.1927) mengatakan, orang-orang yang setia tidak mencari alasan untuk menjustifikasi kasih Tuhan. Sebaliknya yang harus mereka lakukan adalah “menaruh diri mereka ke dalam kasih Tuhan seperti penyelam yang sedang mencari mutiara, menyelam ke dasar samudera.” [3]
Dalam kenyataannya, perintah ini sama sekali bukan inovasi seorang Kristen. Teks yang sama – secara verbal – sudah digambarkan di dalam kelima kitab Musa. Sesungguhnya berdasarkan Alkitab, Tuhan itu disebut kasih bukan semata-mata karena anugerah, keadilan dan kasih karuniaNya.
Kitab Kidung Agung, merupakan salah satu dari Lima kitab yang secara khusus berbicara mengenai kasih Tuhan di dalam Perjanjian Lama. Tidak mengherankan bagaimana Gereja menggabungkan Mazmur ke dalam pemahaman Kristen, sebagaimana orang-orang Muslim pun mengadopsinya (menyebutnya az-Zabur), dan menyebutnya sebagai salah satu dari sejumlah kecil kitab yang diyakini keasliannya di dalam Perjanjian Lama.
Aku mengasihi YAHWEH, oleh karena Dia mendengarkan suaraku, permohonan doaku. (116:1)
YAHWEH penuh rahmat dan kebenaran, ya, Elohim kita penuh kasih sayang. (116:5)
Dan aku akan menyukakan diriku dengan perintah-perintah-Mu yang aku suka. (119:47)
Ya, betapa aku mencintai torat-Mu (119:97). Aku mewarisi peringatan peringatan-Mu selamanya; karena inilah sukacita bagi hatiku. (119:111)
Perlu diperhatikan bahwa para penulis Mazmur, sebelum lahirnya para mistik Kristen di abad pertengahan, telah mencapai sebuah level cinta yang sangat dalam, yang mana mengasihi Tuhan dan mentaati perintahnya tidak lagi dilakukan karena takut tetapi sebagai ibadah kepadaNya.
Penulis surat Pertama Yohanes 4 menjelaskan lebih luas lagi perintah ini dengan mengatakan bahwa Tuhan itu adalah kasih. Ia yang tinggal dalam kasih, juga tinggal di dalam Tuhan (4:16).
b. Mengasihi sesama:
Perintah Kristiani untuk mengasihi Tuhan secara dalam berkaitan dengan “perintah kedua”, yaitu untuk mengasihi sesama:
Dan yang kedua, seperti ini: Kasihilah sesamamu, seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih besar daripada ini. (Markus 12:31)
Dalam kitab Mormon, perintah ini muncul kembali: Setiap orang harus mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. (Mosiah 23:15)
Teolog besar kaum Jesuit, Karl Rahner (wafat 1984) mengomentari peraturan ini sebagai berikut: “Mengasihi Tuhan hanya bisa direalisasikan melalui kasih yang tanpa syarat yang dilakukan seseorang kepada tetangga yang ada di sebelah rumahnya, karena itulah cara satu-satunya dimana kita bisa menghancurkan neraka kesombongan seseorang.” [5]
Alkitab membuatnya menjadi jelas, bahwa kemurahan hati yang diberikan kepada saudara yang lain merupakan cara mengasihi Tuhan:
Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, apa saja yang telah kamu lakukan kepada seseorang yang terkecil dari saudara-saudara-Ku ini, kamu telah melakukannya kepada-Ku. (Matius 25:40)
Ini diikuti dengan sebuah pernyataan yang dalam secara psikologis:
Jika seseorang mengatakan, “Aku mengasihi Elohim,” tetapi dia membenci saudaranya, ia adalah seorang pendusta, karena siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang ia lihat, bagaimana dia sanggup untuk mengasihi Elohim yang tidak ia lihat? (1 Yohanes 4:20)
c. Hal-hal yang khas
Ada 2 cara bagaimana konsep Kristen mengenai kasih menjadi hal yang khas:
i. Gagasan Kristen tentang mengasihi Tuhan secara dalam diwarnai oleh doktrin Kristen mengenai Inkarnasi, yang sejak Konsili Oikumene pertama di Efesus pada tahun 325, mengimplikasikan bahwa keilahian dan kemanusiaan Yesus tidak bisa dipisahkan, dan menurut Gereja ketiga pribadi Ilahi membentuk dogma Trinitas.
Sebagai konsekwensi, bagi orang-orang Kristen, mengasihi Tuhan diidentikkan sebagai mengasihi Yesus, yaitu sebagai hal yang konkret dan karena itu “bisa menyentuh” personalitas historis.
Sebuah definisi ensiklopedia umat Kristen mengatakan: “Kasih, yang dengan sempurna menjadi kelihatan di dalam Yesus Kristus, adalah jalan menuju pengharapan manusia.” Romano Guardini (wafat 1968) memiliki pandangan ekstrim ketika ia memformulasikan bahwa “Yesus Kristus adalah esensi Kekristenan – bukan sebuah ide, bukan sebuah program, bukan sebuah ideologi, tetapi satu pribadi.” [6]
Gagasan ini tetap dipelihara dalam Kitab Mormon, dimana kita membaca “Kamu harus setia sama seperti Kristus, dengan pengharapan yang sempurna, dengan mengasihi Tuhan dan semua orang.” (2 Nephi 31:20)
2. Konsep Muslim
a. Mengasihi Tuhan
i. Suasana penyembahan Muslim kepada Tuhan berbeda dengan orang Kristen sebab bagi orang Muslim, Tuhan tidak berinkarnasi sebagai bayi Yesus di dalam palungan – menyenangkan untuk disayangi – tetapi sebaliknya Tuhan tetap sebagai sosok Ilahi yang mempesona, begitu dekat dengan kita sehingga kita tidak bisa melihatNya.
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; (Q 6:103).
Pendek kata, Ia adalah Sosok yang melampaui waktu dan ruang, dan Yang secara total ada di luar kategori kita. Sesungguhnya kita tidak bisa menjangkau realitasNya dengan jaringan persepsi yang dibuat oleh manusia (bahkan dengan bahasa-bahasa yang ‘kaya’ sekalipun).
Pada kenyataannya, berbicara mengenai Tuhan merupakan sebuah jebakan linguistik. Ludwig Wittgenstein (wafat 1951) punya pandangan yang tepat, saat ia melalui bukunya Tractatus logico-philosophicus (pertama dicetak tahun 1921), melontarkan ungkapan yang sangat mencengangkan: “Mengenai apa yang tak bisa dikatakan oleh manusia, maka tentang hal itu seseorang haruslah tetap diam” (no. 7).
ii. Hal ini pun benar bagi orang-orang Muslim. Allah itu bukan hanya transenden tetapi Ia juga immanen, karena Allah itu bahkan lebih dekat daripada urat leher kita (Q 50:16). Dan ia maha mengenal apa yang ada dalam hati (atau dada) manusia (Q 11:5, 42:24; 57:6; 64:4; 67:13).
Karena itu orang-orang Muslim diharapkan untuk mengasihi Allah lebih daripada semua yang lain (Q 2:165).
Namun demikian, Allah tetap tidak bisa diselami, tidak bisa dibayangkan, tidak bisa diukur, tidak bisa dipahami, tidak bisa dilukiskan. Kita diajar bahwa Ia adalah seperti yang dikatakan lewat nama-nama/atribut paling indah (Q 7:180; 17:110; 20:8). Namun hal ini hanya sedikit saja membantu karena kita tidak boleh menciptakan apapun yang dianggap mirip dengan Tuhan (Q 6:74).
Tentu saja ini benar karena dalam Qur’an, sebagai contoh dari Sura 24:35, dan dalam ayat-ayat yang sangat terkenal yaitu Sura 59:22-24, Allah telah memberikan pada kita sebuah deskripsi diri. Tetapi apakah kita benar-benar datang lebih dekat pada hal yang rahasia ketika Allah dikatakan identik dengan Terang Surga dan bumi? Bisakah kita mengerti salah satu atribut ilahi selain yang bersifat nominal, sebagaimana yang coba dijelaskan oleh Ibn Hazm sebelumnya?
(Dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. (Q 24:40)
Karena itu, kita hanya bisa mendefinisikan Tuhan hanya dalam istilah-istilah negatif saja, mengumpulkan hal-hal apa yang tidak bisa dikatakan tentang Dia: Bahwa Ia tidak mungkin tidak ada, tidak bisa mati, tidak bisa memultiplikasikan diriNya sendiri karena Tuhan itu adalah Tuhan satu-satunya (Q 2:163; 16:22, 51).
iii. Semuanya ini benar dan penuh dengan kompleksitas. Namun demikian, mengasihi Tuhan secara naif adalah hal yang mungkin dilakukan bukan hanya bagi orang-orang Kristen, tetapi juga bagi orang-orang Muslim karena mereka sadar bahwa kebaikan Allah tidak terbatas (Q 57:21) dan bahwa rahmatNya meliputi segala sesuatu (Q 7:156).
Semua orang Muslim harus bersyukur bahwa orang-orang mistik Muslim – gerakan Sufi – berdasarkan hal ini sanggup mengembangkan sebuah mistik Islam mengenai kasih, meskipun mereka mengalami kesulitan untuk memvisualisasikan Allah. Pendekatan kaum Sufi tentu saja bersifat sangat spekulatif. Tetapi secara emosional pendekatan mereka itu jauh lebih memuaskan dibandingkan dengan pendekatan filosofis yang dingin (al-mu-takalim) sebagaimana yang dijelaskan di atas.
b. Mengasihi sesama
Sebagaimana iman Kristen, Islam mengajarkan bahwa mengasihi Tuhan harus diterjemahkan ke dalam berbelaskasihan pada sesama. Namun demikian, orang-orang Muslim sedikit ragu ketika ia menggunakan kata “kasih”. Secara umum, mereka lebih suka memperlihatkan sikap yang sama yaitu sebagai saudara.
Pernyataan-pernyataan mengenai persaudaraan dalam Qur’an jauh lebih eksplisit yaitu berbicara mengenai hubungan diantara sesama Muslim (Q 3:103; 9:11; 48:29; 49:10). Meskipun demikian, Qur’an menjelaskan bahwa pesan dasarnya ditujukan kepada semua manusia (Q 20:55; 40:64; 103; 114), bukan hanya ditujukan kepada audiennya, “Oh manusia!” atau “Oh anak-anak Adam” (2:169; 4:170; 174; 7:26, 31, 35; 10:23,57,104,108; 22:5; 31:33; 35:5,15; 49:13; 53:3). Sesungguhnya Qur’an adalah sebuah pelajaran yang jelas bagi semua manusia dan merupakan sebuah petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (Q 3:138)
Sejauh yang diamati oleh orang-orang Kristen, Qur’an tidak menyatakan sebuah konsep abstrak seperti “kasihilah sesamamu.” Namun demikian, dalam pengertian yang lebih konkret, ayat-ayat ini menyatakan apa yang dimaksudkan oleh Kekristenan. Karena itu orang Muslim pun dianjurkan untuk melakukan yang baik pada sesamanya (Q 4:36), menunjukkan kemurahan bahkan pada orang-orang kafir yang tidak aggresif (Q 60:8), memberikan sebagian dari harta mereka kepada yang paling membutuhkan (3:92; 4:114), dan untuk bersikap adil ketika berhubungan dengan orang lain, siapa pun orang itu (Q 4:58; 5:8,42; 7:29; 16:90; 68:34).
Meskipun bukan dengan kata-kata, secara substansial peraturan-peraturan untuk “mengasihi sesama” ditambahkan agar dilakukan oleh seorang Muslim.
3. Dalam Islam dan Kristen Tuhan mengasihi ciptaanNya
1. Konsep Kristen
a. Ide bahwa Tuhan “mengasihi” apa yang telah Ia ciptakan adalah sesuatu yang sangat jelas digambarkan dalam Alkitab. Sebagai kontras, seseorang mungkin berargumen bahwa kasih itu membentuk sebuah kerinduan dan ketergantungan antara yang mengasihi dan yang dikasihi, dan yang tidak bisa direkonsiliasikan dengan Tuhan.
Kelihatannya bisa dikerjakan dengan mudah oleh dewa-dewi kuno Yunani dan Roma, yang digambarkan sebagai dewi cinta dan keindahan, misalnya Aphrodit dan Venus, karena dalam mitologi kuno, cinta manusia dianggap sebagai sebuah kualitas dewa.
b. Di mata orang-orang Kristen, natur Yesus sebagai Tuhan dan manusia, juga kasihNya kepada manusia akan lebih mudah dimengerti oleh mereka sebagai hal yang berkaitan dengan sentimen manusiawi sebagaimana yang dialami oleh pria dan wanita. Kesimpulan yang sama bisa ditarik dengan menafsirkan sejarah Israel sebagai sebuah sentimen hubungan saling bertautan antara Tuhan yang adalah kasih itu dengan “Umat PilihanNya”, yang memperoleh hak istimewa dari Dia.
c. Dalam Kristen, natur Tuhan yang adalah kasih diambil sebagai sebuah kualitas esensial dari sosok Ilah, sebagaimana yang diekspresikan dalam 1 Yohanes 4:19: “Kita mengasihi karena Tuhan terlebih dahulu mengasihi kita.”
Berdasarkan hal ini, Yesus dipandang oleh orang-orang Kristen sebagai seorang Sufi yang sempurna. Pada kenyataannya, kebanyakan mistik Kristen didasarkan pada membangun intimasi dengan Yesus, yang bagi orang-orang Muslim, tindakan itu dipandang sebagai sebuah penghujatan.
Hal ini benar misalnya dalam kasus dengan Suster Spanyol, Santa Theresa dari Avila (wafat 1582) dan rekan spiritualnya Santo John dari Cross (wafat sekitar tahun 1581).
Trend ini membuka pintu terhadap humanisasi Yesus, melukiskannya sebagai pribadi yang mau menderita dengan manusia, bahkan dengan kita saat ini.
2. Konsep Islam
a. Di Qur’an, kita diberitahu bahwa Allah itu sudah sempurna dan tidak memerlukan apapun (Q 64:6, kalimat terakhir). Gambaran diri yang fundamental ini karenanya menolak gagasan bahwa Allah itu mengasihi ciptaanNya sebagaimana yang dipahami atau diinginkan oleh manusia. Kemudian manusia coba meleburkan diri mereka dengan pribadi yang mereka kasihi, dan yang kepadaNya mereka sepenuhnya bersandar.
Tuhan tak mungkin mengasihi ciptaanNya dengan cara yang biasa dilakukan oleh manusia! Karena itu, adalah lebih aman dan lebih akurat untuk tidak berbicara mengenai “kasih” ketika menunjuk pada pengampunan, belas kasihan, kebajikan, kebaikan, atau anugerahNya.
b. Penilaian ini tidaklah berkontradiksi dengan banyak ayat-ayat dimana Allah ta’ala disebutkan “mengasihi” sesuatu. Karena itu dikatakan bahwa Allah mengasihi,
· Orang-orang yang berbuat baik (Q 3:31,148; 5:93)
· Orang-orang yang sabar (Q 3:146)
· Mereka yang beriman padaNya (Q 3:159)
· Orang-orang yang bertakwa atau berlaku luruh kepadaNya (Q 9:7)
· Semua orang yang menyucikan diri mereka (Q 9:108)
· Mereka yang beriman dan melakukan perbuatan baik (Q 19:96)
· Orang-orang yang berlaku adil (Q 60:8)
Dalam keseluruhan kasus, “kasih” harus dipahami sebagai “persetujuan” Allah, “puas dengan” atau “melihat secara positif” mereka yang bertindak sebagaimana yang digambarkan di atas. “kasih” di sini sama sekali tidak melibatkan emosi.
Bahwa intepretasi ini tepat, bisa ditarik kesimpulan dari ayat-ayat yang mengatakan ketika Allah tidak mengasihi. Kita bisa baca ketika Allah tidak mengasihi:
· Orang kafir (Q 3:32)
· Orang yang berdosa (Q 5:87; 7:55)
· Orang yang boros (Q 7:31) dan,
· Para pengkhiatan (Q 8:58)
“Tidak mengasihi” di sini berbicara mengenai tidak setuju, mempersalahkan/mengecam, mengkritik dan menolak.
c. Meski demikian, dalam Sura 19:96, kita membaca, Yang Penuh dengan Rahmat akan memberikan kasihNya kepada mereka yang beriman dan melakukan perbuatan baik. Dalam Sura 3:31 dikatakan: Jika engkau mengasihi Allah...Allah akan mengasihimu, dan dalam Sura 5:54: “...maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya”. Dengan demikian, kutipan-kutipan ini bisa dilihat sebagai bukti akan kasih Tuhan pada ciptaanNya yang bisa diperbandingkan dengan kesanggupan manusia untuk mengasihi. Tetapi intepretasi ini tidak bisa dipakai untuk menjelaskan natur Tuhan sebagai Yang Maha Agung dan Tidak Memerlukan Apapun.
4. Kesimpulan
1. Pemahaman Kristen dan Islam mengenai kasih dalam konteks Ilahi sebagaimana yang sudah diperlihatkan di atas, bukan merupakan pemahaman yang identik meskipun ada kemiripan.
2. Perbedaan di antara kedua pendekatan muncul karena,
· Sikap bungkam Muslim untuk mengasosiasikan Tuhan dengan gagasan kasih yang bersifat manusiawi,
· Muslim lebih menyukasi istilah “persaudaraan” dalam kebanyakan kasus, sementara orang Kristen memilih istilah “kasih” dalam pengertian mengasihi sesama, siapa pun mereka.
3. Namun demikian, secara teoritis ada ketidaksesuaian mayor antara kedua denominasi karena konsep mengasihi musuh sama sekali tidak bisa ditemukan dalam doktrin Islam (jika kita mengabaikan mistik Muslim tertentu yang telah dikristenkan).
Perbedaan ini, lebih bersifat teoritis daripada sebagai hal yang nyata. Sebab dalam sejarah, sangat jarang doktrin mengasihi musuh ini menjadi perilaku Kristen, bahkan pada derajat yang sangat rendah sekali pun. Hidup berdasarkan konsep mengasihi musuh hanya diberikan pada sejumlah kecil orang suci seperti, Santo Fransiskus dari Asisi (wafat tahun 1226) pada sisi Kristen, dan Jalal ad-Din Rumi (wafat 1273) dari sisi orang Muslim. Kerendahan hati dan toleransi mereka, pengabdian mereka pada orang lain, serta semangat keagamaan mereka yang sedemikian tingginya, memberikan penegasan akan perwujudan kasih yang sejati.
4. Ini membawa saya kepada pemikiran final berkenaan dengan dampak psikologis menyampaikan aturan “mengasihi musuhmu”, yang tidak terlalu dipahami oleh 99,9% umat manusia. Bila melihat situasi ini, orang Kristen akan berpendapat, bagaimanapun juga kita membutuhkan gagasan-gagasan tinggi yang harus diperjuangkan, sekalipun nampaknya itu tidak dapat dicapai. Orang Muslim kemungkinan akan menjawab bahwa moralitas publik akan mengalami kerusakan apabila aturan-aturan yang jauh di awang-awang harus diterapkan, dan tentunya, semua orang pasti akan melanggarnya, karena pendekatan yang dilakukan Kristen akan menciptakan dan menganjurkan kemunafikan yang tinggi.
Ketika saya menyampaikan penilaian saya yang terakhir ini, dengan kekuatiran melihat orang terbiasa melanggar aturan-aturan dasar moral yang mereka akui, namun kemudian menjadi sinis terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan moralitas. Memang ada hikmat ilahi di balik kenyataan bahwa semua kewajiban religius dikenakan pada orang Muslim, sedangkan bagi orang beriman yang keimanannya biasa-biasa saja, hal itu sulit dipenuhi. Dengan pemikiran seperti ini, kesederhanaan Islam kelihatannya lebih masuk akal.
No comments:
Post a Comment