Tuesday, 8 March 2011

Bab 4 - Isu-Isu

Bab 4

Isu-isu

Ada banyak hal yang berkaitan dengan Islam dan terutama kehadirannya di Barat yang harus diwaspadai orang Kristen. Oleh karena Islam tidak memisahkan yang sakral dari yang sekuler atau agama dengan negara, kehadiran Islam senantiasa melibatkan aspirasi-aspirasi Islam bagi rekonstruksi masyarakat berdasarkan nilai-nilai Islam.

Dengan berkedok mencegah islamofobia, memerangi rasisme dan memperjuangkan persamaan hak dalam masyarakat yang multirasial, kelompok-kelompok lobi Islam di Barat menekan pemerintah, parlemen, media, sekolah, akademi dan sistem-sistem legal negara dimana mereka tinggal, untuk menggerakkan masyarakat Barat ke arah perluasan dasar Yudeo-Kristen mereka, dengan tujuan agar mereka memasukkan Islam ke dalamnya, sehingga menciptakan suatu masyarakat yang didasarkan pada Yudeo-Kristen-Islam. Dari sini mereka bergerak secara perlahan dalam mengupayakan agar Islam menjadi lebih utama daripada agama maupun komunitas manapun. Tahapan proses ini bisa ditemukan dalam Warsaw Declaration of the Council of Europe, yang disepakati pada bulan Mei 2005, dimana, sebagai hasil dari lobi yang dilakukan oleh Turki, untuk pertama kalinya islamofobia didaftarkan bersama anti Semitisme sebagai contoh intoleransi religius dan bentuk diskriminasi yang harus dikutuk dan dihapuskan. Tidak ada jenis diskriminasi religius lainnya yang disebutkan namanya.

Ada pula argumen yang diberikan oleh beberapa ahli strategi Muslim yang mengatakan bahwa, untuk menghindari konflik-konflik kultural, kaum “Muslim moderat” dan “orang Kristen moderat” harus bersatu melawan kelompok-kelompok “ekstrimis” yang ada di kedua belah pihak. Dikatakan bahwa kelompok-kelompok ekstrimis tersebut adalah bahaya yang mengancam keharmonisan komunal. Ini adalah pembengkokan isu secara halus, oleh karena hal ini meniadakan perbedaan besar antara kaum ekstrimis Muslim (yang menganjurkan pembunuhan terhadap orang-orang tidak beriman dan menolak kebebasan, demokrasi, dan sebagainya), dengan kaum konservatif Kristen (yang sama sekali tidak terlibat dalam hal-hal seperti itu). Semakin meningkatnya fenomena menyamakan kaum fundamentalis Islam dengan kaum fundamentalis Kristen sangatlah menyesatkan. Kekristenan yang fundamentalis sangat berdasar pada kasih dan semakin menjadi serupa dengan Kristus, serta menolak prinsip kekerasan, dan hal itu tidak sama dengan kaum fundamentalis Islam.

Proteksi legal

Beberapa negara Barat telah memberlakukan legislasi yang berusaha memproteksi agama-agama (yang ditentang para pengikutnya) dengan melarang adanya kebencian religius atau “penodaan” agama. Sebagai akibatnya hal ini membatasi kebebasan berekspresi yang sangat dihargai oleh demokrasi Barat. Orang Muslim bergegas mencaplok legislasi apapun yang ada dalam upaya untuk menyerang pencemaran sekecil apapun terhadap Islam.

Jurnalis Italia yang bernama Orianan Fallaci (1929-2006) menghadapi tuntutan legal di Switzerland (2002), Perancis (2003) dan Italia (2005) oleh karena bukunya yang berjudul La Rabbia e L’Orgoglio (Rage and Pride) yang memperingatkan bahaya Islam terhadap peradaban Barat dan kebebasan, dan menerima konsep pertikaian budaya antara Islam dan Barat. Para lawannya adalah kelompok-kelompok Islam dan kelompok-kelompok anti rasisme.

Pada September 2002 Michel Houellebecq, seorang filsuf Perancis, dibawa ke pengadilan oleh Mesjid Paris dan Liga Muslim Dunia karena menimbulkan kebencian rasial. Dalam salah satu novelnya ia mengisahkan seorang wanita yang dibunuh oleh para teroris islam. Ia juga mengemukakan bahwa Qur’an itu sangat menjijikkan. Pengadilan membebaskannya dari semua tuntutan pada 22 Oktober 2002, sepakat bahwa tulisan-tulisannya adalah penilaian terhadap sebuah agama, bukan upaya menimbulkan kebencian.

Di negara bagian Victoria Australia, dua pendeta Kristen divonis bersalah pada Desember 2004 karena mereka telah mengeluarkan pernyataan kritik terhadap Islam pada sebuah seminar yang diadakan khusus bagi orang-orang Kristen. Keluhan mengenai hal itu disampaikan oleh Islamic Council of Victoria berdasarkan Undang-undang Negara mengenai Toleransi Rasial dan Keagamaan (2001) dan pasal yang dikenakan atas kedua pendeta tersebut adalah pelarangan menimbulkan “kebencian, penghinaan serius atau penghinaan berat” terhadap orang atau kelompok lain atas dasar keyakinan atau aktivitas religius. Para pendeta tersebut mengajukan banding dan kasus itu akhirnya diselesaikan dengan mediasi pada 2007, tetapi telah meninggalkan intoleransi, ketidakpercayaan dan rasa takut di Victoria. Ironisnya, ini adalah hasil dari hukum yang dimaksudkan untuk menghidupkan toleransi.

Perserikatan Bangsa-bangsa dalam beberapa tahun terakhir ini mengeluarkan sejumlah resolusi di bidang-bidang seperti: menentang penodaan agama, intoleransi atau diskriminasi berdasarkan agama. Beberapa dari resolusi tersebut secara spesifik menyebut Islam sebagai contoh agama yang harus dilindungi, namun tidak menyebut agama-agama lainnya. Organization of the Islamic Conference (Organisasi Konperensi Islam) sangat aktif mendorong adanya proteksi terhadap Islam dengan cara demikian.

Di beberapa negara Muslim yang berdasarkan Syariah, hukum terhadap penghujatan dan murtad digunakan untuk mengintimidasi orang Muslim agar mencegah mereka untuk tidak mengekspresikan gagasan-gagasan reformis dan liberal ke dalam Islam. Orang-orang non Muslim juga sering didakwa berdasarkan hukum-hukum ini, sehingga mendapatkan penghukuman yang berat. Menindak-lanjuti protes Muslim internasional terhadap kartun-kartun Muhammad yang diterbitkan di Barat (lihat halaman 62-63), Organization of the Islamic[1] Conferencemenghimbau pemberlakuan legislasi-legislasi yang memproteksi kesucian agama dan para nabi.

Pendidikan

Orang Muslim menggunakan sistem pendidikan Barat untuk menghadirkan citra Islam yang ramah di Barat. Banyak pendidik dan institusi Muslim yang dihampiri oleh pemerintah Barat dan lembaga-lembaga publik guna meminta nasehat yang dipengaruhi islamisme. Oleh karena itu mereka menghadirkan cara pandang Islam yang telah dipoles, mengabaikan elemen-elemen yang oleh Barat sulit untuk diterima. Sementara itu mereka meluncurkan kritik yang tidak berimbang serta memandang rendah aliran-aliran Muslim lainnya yang bertentangan dengan mereka.

Dalam sebuah proses yang dapat disebut sebagai islamisasi pengetahuan, orang-orang Muslim berusaha untuk mempengaruhi kurikulum sekolah dan memberi masukan dalam proses penulisan ulang buku-buku teks yang digunakan untuk pendidikan agama dan sejarah. Suatu versi Islam tertentu dihadirkan; versi Islam yang mengabaikan aspek-aspek Islam yang kejam dan kejahatan-kejahatan dalam sejarah yang dilakukan dalam nama Islam. Panduan yang diberikan juga bungkam mengenai posisi wanita dan orang non Muslim yang rendah dalam masyarakat islami, seperti yang digarisbawahi oleh Syariah.[2]

Gencarnya tuduhan islamofobia membuat para guru di Eropa dan Amerika berusaha keras untuk menghindari kritik bahwa mereka tidak mampu mengajar tentang Islam dengan sudut pandang yang obyektif. Akibatnya adalah adanya kecenderungan untuk mengajar mengenai Islam yang lebih simpatik dibandingkan dengan kekristenan, sehingga para murid sekolah mempelajari kekristenan secara kritis, namun seringkali diajarkan mengenai Islam dengan sama sekali mengabaikan sikap mengkritisi Islam. Beberapa metode pengajaran mencakup, meminta para murid (bahkan murid usia sekolah dasar) untuk berpura-pura menjadi seorang Muslim dan berusaha masuk ke dalam proses pemikiran seorang Muslim. Anak-anak kecil juga dibawa untuk mengunjungi mesjid-mesjid.[3]

Tren signifikan lainnya adalah penyediaan sarana wudhu untuk orang Muslim di kampus-kampus perguruan tinggi di Amerika. University of Michigan-Dearborn mengalokasikan dana $25.000 untuk membuat tempat wudhu di toilet/kamar-kamar kecil di kampus. Ini menyebabkan protes publik berkenaan dengan penggunaan uang pembayaran pajak untuk kepentingan religius. Pada Agustus 2007, The New York Times melaporkan bahwa sejumlah universitas di seluruh Amerika Serikat telah membuat tempat-tempat wudhu, atau menjadikannya bagian dari bangunan-bangunan baru.[4]

Isu lainnya adalah sekolah-sekolah Islam yang mengajarkan para murid Muslim pemahaman Islam yang sangat ketat dan klasik. Pada Oktober 2007, sebuah panel federal di Amerika Serikat mendesak Departemen Dalam Negeri untuk menutup Saudi Academy di Fairfax, Virginia, sebuah daerah pinggiran Washington DC. Akademi itu adalah sekolah swasta yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah Saudi melalui kedutaanya di wilayah Washington DC. Islamic Saudi Academy membuka dua kampus di Fairfax County, dan ini membuat U.S. Commission on International Religious Freedom mengekspresikan “kekuatiran besar”. Menurut The Washington Post Komisi ini beralasan bahwa Akademi tersebut “menganjurkan intoleransi religius yang terbukti dapat membahayakan Amerika Serikat”.[5] Sekolah Islam lainnya di Amerika Serikat ternyata menjadi pusat ekstrimisme. Khalil Gibran International Academy di New York menyatakan diri sebagai sebuah tempat dimana anak-anak dapat mempelajari bahasa Arab, namun kemudian didapati ternyata memberikan pendidikan dalam cara pikir islami.[6]

Perlakuan terhadap wanita[7]

Beberapa wanita Muslim (terutama dari kaum elit sekuler Barat) menikmati status yang setara dengan pria, namun umumnya kaum wanita Muslim mengalami diskriminasi legal dan kultural dan pembatasan atas kebebasan pribadi mereka. Hal ini terutama terjadi sangat parah di negara-negara yang menyelenggarakan pengadilan Syariah sebagai tambahan untuk sistem pengadilan sekuler dan terlebih lagi di negara-negara yang sama sekali tidak mempunyai pengadilan sipil/sekuler.[8] Kaum wanita mempunyai hak yang lebih sedikit daripada pria dalam kasus-kasus perceraian dan hak asuh. Seperti yang telah disebutkan di atas, nilai kesaksian seorang wanita di pengadilan hukum sangat tidak berarti dibandingkan kesaksian seorang pria, dan wanita mendapatkan kompensasi yang lebih sedikit daripada pria untuk cedera yang sama. Di beberapa negara, para wanita membutuhkan ijin suaminya untuk pergi bekerja atau jika hendak bepergian keluar negeri. Pernikahan kanak-kanak, pernikahan yang dipaksakan, sunat pada perempuan, poligami, perkosaan, pembunuhan demi kehormatan dan penyiksaan yang dilakukan suami kepada istri masih terjadi di banyak tempat. Tidak semua hal dalam daftar ini adalah bagian dari Islam klasik, namun sikap Islam secara umum terhadap wanita menciptakan ruang yang mengijinkan penyiksaan terhadap orang lain berkembang dengan subur. Sementara rejim Taliban di Afghanistan adalah contoh ektrim penindasan terhadap wanita, PBB dan organisasi hak azasi manusia lainnya secara konsisten melaporkan banyaknya pelanggaran hak azasi manusia terhadap wanita di negara-negara Muslim.[9]

Beberapa wanita Muslim menyerukan penafsiran ulang aturan-aturan Syariah berkenaan dengan status wanita, tetapi itu adalah perjuangan yang berat yang sejauh ini hanya berdampak sedikit. Ayaan Ali Hirsi, seorang ilmuwan politik kelahiran Somalia dan mantan anggota Parlemen Belanda yang kini bermukim di Amerika Serikat, harus menyembunyikan diri pada tahun 2002 setelah menerima serangkaian surat kebencian dan ancaman mati dari orang-orang Muslim setelah mengadakan debat yang disiarkan secara langsung di Dutch TV, dimana ia menuduh Islam telah memperlakukan wanita dengan rendah. Kelompok-kelompok konservatif Muslim dituduhnya telah menutup-nutupi kasus kekerasan dalam rumah tangga dan penyiksaan anak. Hirsi Ali juga mengutuk dukungan pemerintah Belanda terhadap program-program yang mempromosikan multikulturalisme yang diklaimnya telah membiarkan kaum wanita Muslim tetap terisolasi dari masyarakat Belanda.

Mengejutkan sekali melihat penderitaan kaum wanita dalam Islam tidak diperhatikan di Barat. Perlakuan tradisional terhadap wanita dan anak-anak perempuan dipandang sebagai bagian dari budaya Islam, oleh karena itu berada di atas kritik, sekalipun perlakuan semacam itu akan dianggap sebagai penyiksaan dalam konteks yang lain (di luar Islam). The Sharia Council of Darul Uloom London telah mengeluarkan serangkaian aturan mengenai perceraian dan pernikahan kembali yang dengan jelas membuka kemungkinan anak-anak perempuan yang belum menginjak masa puber untuk dinikahi.[10] Yang mengejutkan adalah, hal ini tidak mendatangkan protes, terutama dari kalangan kaum feminis dan liberal Barat. Namun demikian, ada secercah harapan oleh karena beberapa wanita Muslim liberal sekuler tidak lagi bungkam namun menyuarakan diskriminasi yang dihadapi wanita di bawah Islam dan kengerian sunat pada perempuan, dan juga apa yang disebut sebagai pembunuhan demi kehormatan.

Implementasi Syariah

Para penguasa kolonial Barat sebagian meruntuhkan penetapan Syariah di banyak negara Muslim yang mereka perintah, dan menggantikannya hingga pada tingkat tertentu dengan aturan-aturan hukum bergaya Barat. Namun demikian, sejak kemerdekaan, banyak negara Muslim memperkenalkan kembali sebagian Syariah atau bahkan telah menetapkannya sebagai sumber legislasi mereka. Di Arab Saudi Syariah dipandang sebagai konstitusi, sedangkan di Iran Syariah adalah satu-satunya sumber sistem legal. Kelompok-kelompok Muslim yang berusaha mereformasi Syariah perlahan-lahan terpinggirkan.

Apakah Syariah diberlakukan secara resmi atau tidak di suatu negara tertentu saat ini, sejarah panjang orang-orang Muslim yang hidup di bawah Syariah telah menegaskan bahwa perlakuan jahat di belakangnya masih dialami orang-orang Muslim di berbagai belahan dunia. Tuntutan untuk memperkenalkan kembali Syariah adalah wacana utama banyak gerakan islamis. Bahkan di Inggris, Amerika dan negara-negara Barat lainnya sedikit demi sedikit islamisasi mulai memuncak hingga terjadinya penerapan Syariah secara de facto. Contoh-contoh di Inggris mengenai hal ini adalah pengenalan dana pensiun dan pinjaman Syariah, penyediaan makanan halal di sekolah, penjara dan rumah sakit. Polisi Metropolitan kini mengijinkan para petugas polisi Muslim untuk mengenakan sorban. Ada himbauan-himbauan untuk melegalkan poligami, ini dikemukakan sebagai hak azasi manusia bagi para pria Muslim. Suatu Dewan Berdasarkan Syariah di London telah ditetapkan dan ini hanyalah salah satu dari banyak Dewan Syariah dan Pengadilan Syariah yang beroperasi secara informal di Inggris untuk menangani perceraian dan pertikaian keluarga bagi komunitas Muslim. [11]

Situasi serupa berkembang di Amerika Serikat. The Wall Street Journal Online pada 2007 melaporkan bahwa kelompok islamis “pelan-pelan sedang menyingkirkan hukum-hukum hak sipil kita...dan perlahan bergerak ke sebuah sistem legal berlapis dua” dan mengemukakan beberapa peristiwa relevan yang terjadi dalam empat tahun terakhir ini.[12] Sebagai contoh, para supir taksi di Minneapolis-Bandara St.Paul mulai menolak penumpang yang membawa alkohol. Kemudian pada Juni 2006, Masyarakat Muslim lokal Amerika mengeluarkan fatwa melarang para pengemudi membawa alkohol. Metropolitan Airports Commission mengajukan dua proyek besar, untuk menandai pengemudi mana yang menerima penumpang dengan alkohol, tapi ini kemudian ditolak. Jika ini diloloskan maka untuk pertama kalinya agensi pemerintahan Amerika secara formal mengakui Syariah. Beberapa pengemudi taksi juga menolak membawa penumpang tuna netra yang dituntun anjing atau penumpang yang membawa binatang peliharaan lainnya. Berdasarkan keterangan para petugas bandara, dalam lima tahun hingga Januari 2007, ada 5.400 penumpang yang ditolak para supir taksi karena membawa alkohol maupun membawa binatang peliharaan mereka naik taksi. Demikian pula para kasir Muslim di toko-toko Twin Cities Target kini menolak memindai produk apapun yang mengandung babi dan berkeras agar kasir-kasir lainnya menangani produk tersebut, atau bahkan mempersilahkan para pelanggan memindainya sendiri.

Dana pinjaman Syariah di Amerika pertama dibuka pada tahun 2000 melalui Fannie Mae. Sebagai respon terhadap permintaan New York office of the United Bank of Kuwait yang meminta produk finansial residen Islam agar diijinkan sebagai aturan “yang secara fungsional ekuivalen”, the Office of Comptroller of the Currency Adminstrator of National Banks (OCC) mengeluarkan “Interpretive Letters” pada Desember 1997 dan November 1999.[13]

Pada Juni 2004, the Treasury Department Amerika mengangkat Mahmoud A. El-Gamal sebagai penasehat utama dan sebagai “scholar-in-residence” untuk keuangan islami. The Treasury beranggapan bahwa dengan adanya pertumbuhan keuangan islami di Amerika, maka pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu-isu yang berkaitan adalah prioritas utama.[14] El-Gamal adalah penulis buku Islamic Society of North America (ISNA), yaitu buku tentang panduan keuangan islami.

Di Inggris, pasar finansial islami bertumbuh subur dengan dukungan dari bisnis dan media populer, serta mendapatkan simpati serta antusiasme dari Perdana Menteri Gordon Brown yang menunjukkan keinginannya untuk menjadikan London sebagai pusat dana pinjaman Syariah ketika ia menjabat sebagai kepala pemerintahan.

Bangkitnya Islam diiringi dengan peningkatan tajam kekerasan terhadap orang-orang non Muslim di negara-negara seperti Sudan, Nigeria dan Indonesia. Ini adalah hasil dari kebangkitan konsep-konsep Syariah mengenai jihad dalam pengertian militer dan inferioritas kelompok non Muslim.

Penyebaran aturan Syariah tidak diragukan lagi merupakan bagian dari strategi global kaum islamis. Salah satu wilayah dimana penyebaran ini sangat aktif diupayakan pada masa kini adalah sub Sahara Afrika, dimana kekristenan dan juga Islam mengalami pertumbuhan yang pesat. Pengenalan Syariah secara efektif menguatkan klaim superioritas Muslim terhadap tuntutan yang diajukan Kristen agar semua orang mempunyai kesetaraan di hadapan hukum. Ini juga membuka pintu adanya kemungkinan kelompok minoritas Muslim mengendalikan negara, sementara membentuk semua kelompok masyarakat dalam cetakan islami.

Mengijinkan orang Muslim di Barat mempunyai perbedaan dalam hal budaya adalah hal yang sah saja. Namun jika berangkat dari “hak untuk berbeda” ini membuat mereka juga berhak untuk diperintah oleh suatu tatanan hukum yang berbeda pula, maka ini tidak dapat diterima, oleh karena ini akan mengakibatkan disintegrasi negara dan akhirnya terjadi “Balkanisasi” terhadap masyarakat Barat.

Media dan kebebasan berbicara

Pada umumnya Islam menolak komentar negatif jenis apapun dan berusaha untuk melindungi dirinya sendiri dari kritik. Di Pakistan kejahatan “pencemaran nama Muhammad” dipandang sebagai penghujatan dan mendatangkan hukuman mati. Pada tahun 2005, seorang pengajar kimia di sebuah sekolah di Arab Saudi dihukum 40 bulan penjara dan 750 cambukan karena ia berbicara menentang kekerasan para jihadis, mengolok-olok janggut para ulama Muslim, dan “lebih menyukai” orang orang Kristen dan Yahudi. Di Mesir kritik apapun mengenai Muhammad atau agama itu sendiri, walaupun bersifat akademis, cenderung ditafsirkan sebagai murtad dan mendatangkan penghukuman berat. Sebagai contoh, Profesor Nasr Hamid Abu-Zayd dinyatakan sebagai seorang yang murtad, diperintahkan agar dipisahkan dari istrinya. (perpisahan dalam pernikahan adalah salah satu hukuman dalam Islam klasik untuk orang yang murtad, dan ini sebagai tambahan untuk hukuman mati). Profesor dan istrinya meninggalkan negara itu bersama-sama. Abu-Zayd adalah seorang akademisi sekuler liberal yang mengepalai Studi Mengenai Islam dan Arab di Universitas Kairo. Dalam penelitiannya ia mempelajari Qur’an dan hadith; membawanya pada memandang Qur’an sebagai teks linguistik, yang ia gambarkan sebagai sebuah produk budaya dan menyangkali pre-eksistensinya sebagai loh batu di surga. Di Sudan, Mahmoud Muhammad Taha dieksekusi karena murtad pada 20 Januari 1985 karena ia menolak untuk bertobat dari pandangan-pandangannya yang liberal mengenai Islam. Ia diberi waktu 3 hari untuk bertobat, sesuai dengan peraturan Syariah.

Oleh karena takut dipandang menghina atau dituduh islamofobia, beberapa bagian dalam media Barat membentuk semacam sensor diri agar Islam tidak dikritik. Namun demikian belum lama ini, nampaknya pendulum mulai berayun ke arah yang berlawanan, dengan tumbuhnya kemauan untuk menyatakan komentar-komentar negatif mengenai beberapa aspek tertentu dalam Islam.

Media Muslim di Barat cenderung menyalahkan kekristenan karena telah melakukan praktek kolonialisme, sekulerisme dan imoralitas, juga bersikap irasional dan sulit dimengerti. Kekristenan dihadirkan sebagai sekutu Orientalisme dan Yudaisme, yang oleh banyak orang Muslim dianggap terlibat dalam perjuangan untuk merendahkan dan menghancurkan Islam.[15] Apabila sayap kiri yang mencakup sikap anti Kristen, rasa bersalah karena kolonialisme, kepatutan politik dan relativisme post-modern mendominasi, maka para pelobi Muslim akan mempunyai kemudahan untuk memberi pengaruh yang besar. Para komentator sekuler cenderung untuk sering mengkritik kekristenan dengan tidak adil dan meninggikan Islam. Suatu jenis Islam yang ideal dikemukakan dan dibandingkan dengan banyak kelemahan hidup kristiani sehari-hari.

Perlu diperhatikan juga penghujatan-penghujatan terhadap Tuhan Yesus Kristus yang setiap hari muncul di media, sedangkan nama Muhammad sangat jarang mendapat perlakuan yang salah, bahkan senantiasa diawali dengan gelar “Sang Nabi”[16]. Muhammad dihormati tetapi Kristus dihina.

Pada 30 September 2005, surat kabar harian ternama di Denmark, Jyllands-Posten, menerbitkan 12 kartun Muhammad, yang salah satunya menggambarkan Muhammad mengenakan sorban yang berbentuk bom dengan sumbu yang menyala. Seorang pemimpin Muslim Denmark, Imam Ahmed Abu-Laban mengatakan, kartun-kartun itu mendatangkan penyiksaan mental terhadap orang Muslim karena kartun-kartun tersebut bernada menghujat dan menghina Islam. Editor yang meloloskan kartun-kartun tersebut melakukannya sebagai respon terhadap sensor diri yang menurutnya telah menguasai Eropa sejak pembuat film Belanda Theo Van Gogh dibunuh pada tahun 2004 oleh kelompok Muslim radikal karena telah membuat film yang mengkritik perlakuan Islam terhadap wanita. Ia ingin menguji apakah orang akan menyensor diri mereka sendiri karena takut telah memprovokasi orang Muslim. Di bawah kepemimpinan Mesir dan Arab Saudi, orang-orang Muslim yang murka di seluruh dunia meluncurkan protes, demikian pula para duta besar negara-negara Muslim, menteri-menteri luar negeri Arab, dan Organisasi Konferensi Islam. Pada awal 2006, orang Muslim melakukan kerusuhan dan menyerang kelompok-kelompok minoritas Kristen dan kedutaan-kedutaan Barat. Protes-protes juga diterima dari PBB, Dewan Eropa dan Persatuan Eropa. Apakah mereka semua juga akan meluncurkan protes terhadap gambar penghujatan terhadap Tuhan Yesus Kristus atau dewa Hindu?

Politik

Dalam Islam, politik membentuk suatu bagian yang integral dari agama dan harus mendukung tujuan melindungi dan mempromosi Islam, memperluas wilayahnya dan memberlakukan Syariah semaksimal mungkin. Pada tingkat lokal dan nasional, orang Muslim di Barat bertindak hati-hati dan sabar dalam upaya mendapatkan kekuasaan politik. Di Jerman orang-orang Muslim radikal mendesak orang Muslim lainnya untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman sehingga mereka mempunyai hak untuk memilih dalam pemilu. Mereka menghendaki kehadiran seorang Muslim di semua partai politik sehingga mereka dapat memaksimalkan pengaruh mereka terhadap ranah politik Jerman. Di Inggris, dimana banyak orang Muslim berasal dari sub kontinen India, jejaring klan yang kuat yang dikenal dengan biraderis memudahkan para kandidat Muslim mendapatkan “jatah suara”. Kesepakatan partai si kandidat atau “electoral platform”- nya sama sekali tidak relevan, karena semua anggota biraderi bagaimanapun juga pasti akan memilih mereka karena loyalitas terhadap biraderi mengatasi segalanya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, negara-negara Muslim telah mendirikan organisasi-organisasi internasional seperti Organization of the Islamic Conferensi dan Muslim World League untuk mengkoordinir tujuan-tujuan politik global Muslim, juga sikap dan respon-respon. Organisasi-organisasi ini juga mendanai dan mengarahkan upaya misi (dakwah) di seluruh dunia.

Penghukuman-penghukuman Syariah yang kejam

Berdasarkan Syariah, pengadilan harus memberlakukan hukuman yang telah ditetapkan (hudud, bentuk tunggal hadd) bagi kejahatan-kejahatan tertentu yang diklaim merupakan kejahatan terhadap Allah dan hak-Nya. Ini mencakup pencurian, perampokan di jalan raya, perzinahan dan percabulan, tuduhan palsu mengenai perzinahan dan percabulan, dan minum alkohol. Beberapa orang Muslim juga memasukkan murtad dari Islam sebagai sebuah kejahatan hadd. Dalam kasus-kasus ini hakim tidak mempunyai pilihan lain dalam menjatuhkan hukuman, karena hukuman-hukuman itu telah ditetapkan dalam Qur’an atau hadith.

Walaupun ada 4 mazhab utama hukum Syariah Sunni dengan sedikit perbedaan diantara ke-4 mazhab tersebut, berikut ini adalah daftar penghukuman yang diterima secara umum:

· Pencurian: pemotongan tangan pada pergelangan untuk pelanggaran yang baru pertama kali dilakukan. Pemotongan selanjutnya untuk pelanggaran berikutnya.

· Perampokan di jalan raya: kehilangan tangan dan kaki. Jika perampokan itu juga mencakup pembunuhan, maka hukuman mati akan dijatuhkan.

· Perzinahan: rajam batu sampai mati.

· Percabulan oleh orang yang belum menikah: 100 kali cambukan

· Tuduhan palsu mengenai perzinahan atau percabulan: 80 kali cambukan

· Minum alkohol: 40 kali cambukan

· Murtad: mati

Sementara tingkat kekejaman penghukuman itu secara teoritis harus dibarengi dengan aturan ketat mengenai bukti, ini tidak menghentikan mereka dari mempraktekkannya di beberapa negara modern, sebagai contoh di Arab Saudi, Iran, Sudan, beberapa bagian di Nigeria dan Somalia, dan Afghanistan pada masa pemerintahan Taliban.

Kaum Dhimmi

Tidak dapat disangkali bahwa Syariah mendiskriminasi orang non Muslim, memberikan orang Yahudi dan Kristen status warga negara kelas dua sebagai kaum dhimmi; ini dapat diistilahkan dengan “ketidakadilan institusional”. Kaum dhimmi seringkali digambarkan sebagai kaum yang “dilindungi”, karena mereka diijinkan untuk tetap memeluk iman mereka dan hidup. Berdasarkan Islam klasik, orang non Muslim lainnya harus memeluk Islam atau dibunuh.

Tetapi kaum dhimmi, walaupun diijinkan untuk hidup, berdasarkan Islam klasik mereka tidak diberikan status yang setara dengan orang Muslim. Serangkaian aturan dan regulasi mempengaruhi hidup mereka sehari-hari, misalnya pakaian, transport dan tempat-tempat ibadah. Pemberlakuan aturan-aturan ini bermaksud untuk menandai kaum dhimmi dengan jelas sebagai non Muslim, untuk menunjukkan bahwa mereka dipandang lebih rendah daripada orang Muslim, dan mengekang kegiatan-kegiatan religius mereka sehingga mereka tidak mempengaruhi nurani mayoritas Muslim. Perlakuan semacam ini terhadap orang Yahudi dan Kristen seringkali oleh orang Muslim disebut sebagai “toleransi”; untuk menyadari bahwa kata ini tidak berarti adanya kesetaraan atau respek. Ada semacam pajak yang disebut jizya yang wajib dibayar kaum dhimmi. Pajak ini dibayarkan dalam seremoni di depan publik yang penuh penghinaan, sesuai dengan pengajaran Qur’an bahwa orang Yahudi dan Kristen harus “membayar jizya dengan kerelaan untuk tunduk, dan mereka merasa telah ditaklukkan”.[17]

Sementara sistem dhimmi sepenuhnya tidak secara formal diberlakukan di negara dengan penduduk mayoritas Muslim modern, warisan Islam dari ratusan tahun yang lalu yaitu penghinaan secara resmi dan diskriminasi terhadap non Muslim, telah meninggalkan jejaknya di banyak masyarakat Muslim dalam bentuk prasangka buruk terhadap non Muslim. Inilah alasan bagi banyak ketidakadilan yang diderita kelompok-kelompok minoritas Kristen di negara-negara Muslim. Inilah alasan mengapa seringkali polisi, pejabat yudisial, media, para majikan dan guru – belum lagi massa yang marah – dapat dengan bebas menunjukkan sikap anti Kristen, karena mayoritas masyarakat merasa bahwa sikap seperti itu adalah benar dan pantas, dan merupakan bagian dari rencana Allah bagi ciptaan-Nya.

Di beberapa negara bahkan masih ada regulasi-regulasi dhimmi tertentu dalam sistem legal abad 21. Pengadilan hukum Islam berfungsi di beberapa negara dan mempunyai sikap bias didalamnya terhadap non Muslim (dan terhadap wanita). Dalam hukum Islam tradisional, sejumlah saksi pada masing-masing pihak memainkan peranan penting dalam menentukan keputusan. Tapi Islam menyatakan bahwa kesaksian seorang Kristen bernilai lebih sedikit dibandingkan kesaksian seorang Muslim. (Demikian pula kesaksian seorang wanita lebih rendah nilainya daripada kesaksian seorang pria). Jadi jika sebuah kasus bergantung pada perkataan seorang Muslim melawan perkataan seorang Kristen, maka secara otomatis orang Muslim itu harus dipercayai. Ini menjadikan orang-orang Kristen sangat lemah jika diadili di pengadilan-pengadilan Islam.

Cara pikir yang sama juga dapat mempengaruhi kasus-kasus di pengadilan-pengadilan non islami. Sebagai contoh, apabila seorang Kristen dituduh oleh seorang Muslim di bawah “hukum penghujatan” yang sangat terkenal di Pakistan. Banyak tuduhan licik yang telah dibuat orang Muslim terhadap orang Kristen yang tidak berdosa. Si penuduh mengetahui bahwa ada perintah hukuman mati karena “mencemarkan” nama Muhammad, tapi tidak ada hukuman sama sekali untuk tuduhan palsu. Si penuduh juga mengetahui bahwa, sebagai seorang Muslim perkataannya akan lebih dipercayai daripada pembelaan yang diajukan si Kristen.

Demikian pula ada penyimpangan dalam hal pembayaran kompensasi untuk cedera atau kematian. Dalam Islam klasik, cedera yang diderita seorang Kristen (atau seorang wanita) hanya mendapatkan jumlah yang lebih sedikit daripada cedera yang sama yang diderita seorang Muslim (atau seorang pria). Orang-orang Kristen Iran bersukacita pada tahun 2003 ketika untuk pertama kalinya pengadilan memberikan kepada keluarga dari seorang Kristen yang dibunuh, kompensasi yang sama banyaknya dengan jumlah yang biasanya dibayarkan kepada keluarga dari seorang Muslim yang dibunuh. Sebelumnya, non Muslim di Iran menerima hanya sebagian kecil dari yang diterima orang Muslim.

Murtad

Bagi banyak orang Muslim kontemporer dari berbagai spektrum keyakinan dan ideologi, murtad dari Islam masih diasosiasikan sebagai dosa yang besar. Secara teologis, dalam Islam ini adalah salah satu dari dosa-dosa yang tidak dapat diampuni Allah. Bahkan bagi beberapa kaum modernis dan sekularis, murtad mempunyai konotasi negatif yaitu pengkhianatan terhadap komunitas dan penolakan akan warisan. Ini menjelaskan mengapa hanya ada sedikit suara orang Muslim yang membela orang-orang yang dituduh telah murtad.

Dalam yurisprudensi Islam, murtad (irtidad) dikaitkan dengan ketidakpercayaan, penghujatan dan bidat (semua digabungkan dalam istilah kafir), yang kadangkala digunakan bertimbal-balik. Semua itu dipandang sebagai kejahatan yang serius, namun ada konsensus bersama dalam semua mazhab Syariah bahwa murtad yang dilakukan oleh seorang Muslim dewasa yang waras harus mendapatkan hukuman mati. Tiga dari lima versi utama Syariah juga menetapkan hukuman mati bagi wanita yang meninggalkan Islam; dua mazhab lainnya mengatakan bahwa wanita yang murtad harus dipenjarakan hingga mereka kembali kepada Islam. Dalam prakteknya hukuman mati pada masa kini tidak sering diberlakukan, namun banyak kali yang terjadi adalah perampasan hak-hak sipil orang yang murtad tersebut (Syariah mempunyai regulasi-regulasi yang terperinci mengenai jenis penghukuman untuk orang-orang yang murtad, sebagai tambahan untuk hukuman mati). Sekalipun tidak ada hukuman resmi, orang-orang yang meninggalkan Islam pasti akan menderita pelecehan atau penolakan dari keluarga dan komunitas, bahkan kadangkala kematian.

Orang Muslim juga dapat dituduh tidak beriman, menghujat, bidat, bahkan murtad, jika keyakinan mereka tidak sejalan dengan arus utama. Inilah yang seringkali dialami kaum liberal yang melakukan modernisasi terhadap agama Islam. (Lihat hal.62-63 sebagai contoh yang terjadi di Mesir dan Sudan). Mereka kemudian akan dihukum, dibunuh oleh kaum islamis yang fanatik, bahkan dieksekusi oleh negara. Fitur signifikan tuduhan murtad dan penghujatan di negara-negara mayoritas Muslim adalah betapa seringkali tuduhan-tuduhan itu dengan mudahnya dianggap benar oleh anggota-anggota polisi dan penegak hukum, walau hanya ada sedikit bahkan tidak ada bukti sama sekali yang mendukung tuduhan palsu tersebut. Yang ada/diterima hanyalah perkataan orang-orang yang menuduh.

Jihad dan perluasan teritori Islam

Panggilan untuk berjihad dalam pengertian kekerasan fisik semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan gerakan islamis. Semua kelompok teroris Islam membenarkan tindakan-tindakan mereka atas dasar teologi klasik Islam mengenai jihad. Mereka memandang perintah-perintah Qur’an untuk memerangi orang Yahudi dan Kristen hingga tunduk kepada dominasi Islam sebagai perintah yang permanen dan literal. Rejim-rejim Muslim sekuler dianggap sebagai orang kafir karena gagal mengimplementasikan Syariah seutuhnya dan oleh karena itu juga harus diperangi dengan jihad hingga mereka digantikan dengan pemerintahan yang benar-benar islami. Kelompok Al-Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden dan banyak organisasi serupa terinspirasi oleh pemahaman jihad yang demikian.

Di Barat, metode-metode anti kekerasan digunakan untuk memperoleh kedaulatan Islam atas wilayah-wilayah geografis. Implementasi Syariah dalam urusan keluarga dan keterlibatan orang Muslim dalam politik telah disebutkan sebelumnya. Perluasan ruang sakral dalam pengertian pembersihan teritori fisik juga terlihat dalam perubahan nama-nama yang diberlakukan oleh beberapa Muslim Inggris di London Borough of Tower Hamlets yang keberatan dengan nama-nama orang suci Kristen atau nama-nama lain yang berbau Kristen untuk tempat-tempat seperti taman kota, dan tempat-tempat umum lainnya.

Kelompok Muslim Sufi juga “mengambil” teritori secara spiritual melalui sarana prosesi religius (julus) dimana nama Allah dikumandangkan/dinyanyikan dalam berbagai frasa pendek. Zikir semacam ini adalah karakteristik Sufisme. “Zikir tidak hanya memurnikan hati dan jiwa, tapi juga mensakralkan dan ‘mengislamkan’ bagian bumi yang terdalam, bangunan-bangunan, jalan-jalan dan lingkungan-lingkungan yang mereka lewati”. Prosesi-prosesi semacam ini diadakan dua kali setahun di kota-kota tertentu di Inggris termasuk Birmingham, Manchester dan London. Juga diadakan di Amerika Utara, sebagai contoh di Toronto dan New York.[18] [19]



[1] The Organization of the Islamic Conference is an inter-governmental grouping of 57 Muslims states dedicated to promoting the cause of Islam in the world.

[2] See Gilbert T. Sewell Islam and the Textbooks A report of the American Textbook Council (New York: American Textbook Council, 2003). A recent examination of a draft for the teaching of Islam in state primary schools in the UK, prepared for a regional Standing Advisory Council on Religious Education, revealed similar tendencies.

[3] When Muslim school-children are taken to visit churches, they are often allowed a Muslim adviser to accompany them and explain everything to them from an Islamic point of view. It is doubtful whether Christian children going to a mosque would ever be allowed to have a Christian with them to guide their understanding.

[4] Tamar Lewin, “Universities Install Footbaths to Benefit Muslim Students, and Not Everyone is Pleased,” The New York Times, August 7, 2007

[5] Jacqueline L. Salmon and Valerie Strauss, “State Dept. Urged to shut Saudi School in Fairfax”, The Washington Post, October 19, 2007

[6] Robin Shulman, “In New York, a Word starts a Fire,” The Washington Post, August 24, 2007

[7] For a detailed study of the situation of Muslim women living in the West, see Rosemary Sookhdeo, Secrets Behind the Burqa: Islam, Women and the West (Pewsey: Isaac Publishing, 2004)

[8] See, for example, “Memorandum on Reform of the Islamic Family Laws and the Administration of Justice in Syariah System in Malaysia” (Sisters in Islam, 2000)

[9] See for example “Crime or Custom? Violence Against Women in Pakistan,” Human Rights Watch, 1999. Also Joe Stork, “Human Rights Watch and the Muslim World”, ISIM Newsletter, March 2, 1999

[10] Instructions are given on how long a woman must wait after divorce before marrying again. The ruling is that she must wait for three menstrual cycles, but in the case of a girl who has not yet started menstruation, she must wait three months. Sharia Council “Terms and Conditions for Talak or Divorce” at http://www.darululoomlondon.co.uk/sharia.htm (viewed January 8, 2004)

[11] For more examples of shari’a councils and shari’a courts see Islam in Britain (details in note 2) pp.26-27 or Faith, Power and Territory (details in note 2) p.189

[12] Katherine Kersten, “Shariah in Minnesota?: Radical Muslim activists go fishing in troubled waters, “Wall Street Journal Online, March 25, 2007

http://www.opinionjournal.com/cc/?id=110009832 (viewed February 12, 2008): Barbara Pinto, “Muslim Cab Drivers Refuse to Transport Alcohol, and Dogs” ABC News, January 26, 2007 http://abcnews.go.com/print?id=2827800 (viewed May 1, 2008)

[13] OCC Interpretive Letter #806, Dec. 1997, 12 U.S.C.24(7); OCC Interpretive Letter #867, Nov. 1999, 12 U.S.C.24(7) 12 U.S.C.29

[14]“Treasury Department Appoints Islamic Finance Adviser”, June 2, 2004, Bureau of International Information Programs, US Department of State, http://usinfo.state.gov/xarchives/display.html?p=washfile-english&y=2004&m=June&x= 20040602180450ndyblehs0.2986959 (viewed October 26, 2007)

[15] Christianity is portrayed in the same way in many Muslim-majority contexts.

[16] Christians wanting to refer to Muhammad more politely that simply “Muhammad” or to indicate which Muhammad is in question could use the phrase “the Islamic prophet Muhammad” or “Muhammad the prophet of Islam.” This avoids implying that his prophethood is valid, as suggested by the media’s phrase “the Prophet Muhammad.” Another option would be “Muhammad the founder of islam”.

[17] Sura 9, verse 29

[18] Pnina Werbner, “Stamping the Earth with the Name of Allah: Zikr and the Sacralizing of space among British Muslims” in Barbara Daly Metcalf (ed.), Making Muslim Space in North America and Europe (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1996) pp.167-185. The quote is from p.167

[19] Any Christians engaging in “prayer walks” in Muslim areas should be aware of this Islamic practice.

No comments:

Post a Comment