Tuesday, 8 March 2011

The Challenge of Islam to The Church And Its Mission



The challenge of Islam

to the Church

And its Mission

By Patrick Sookhdeo

Daftar Isi

Kata pengantar dari penulis .........................................

Pembukaan .................................................................

1. Introduksi ..........................................................

2. Memahami Islam ..................................................

Teologi dasar

Masalah-masalah Sosial

Spiritualitas, Moralitas dan Budaya

Keragaman Dalam Islam

Tren-tren dalam Islam Kontemporer

3. Membandingkan Islam Dengan Kristen ..............................

Pemahaman Teologis Mengenai Islam

4. Isu-isu .................................................................

Proteksi Legal

Pendidikan

Perlakuan Terhadap Wanita

Implementasi Syariah

Media dan Kebebasan Berbicara

Politik

Hukuman-hukuman Kejam Syariah

Kaum Dhimmi

Murtad

Jihad dan Perluasan Teritori Islam

5. Hubungan Antara Kristen dan Muslim ...................

Membangun Persahabatan

Tempat-tempat Ibadah

Keikutsertaan Dalam Ibadah Islam

“Dialog”

Kerjasama Kristen-Muslim dalam Proyek-proyek Non-religius

Kerjasama Kristen-Muslim dalam Bantuan Lintas Laut, Tanggap Bencana dan Pengembangan

Kerjasama Kristen-Muslim dalam Proyek-proyek Religius

Rekonsiliasi

Misi dan Penginjilan

Penanganan Petobat

Keterlibatan dalam Masyarakat

Keadilan

6. Kesimpulan .....................................................

Appendiks ........................................

Respons Barnabas Fund Terhadap Pernyataan Yale Center for Faith and Culture

Appendix 1............................................

Perbedaan Antara Konsep Muslim dan Kristen Mengenai Kasih Ilahi – Dr. Murad Wilfried Hofmann

Catatan Kaki - Bibliografi - Literatur

Appendiks 2 ................................

Konsep Kasih dalam Islam – sebuah makalah oleh Barnabas Fund

Daftar Istilah .......................

Kata Pengantar dari Penulis

Kata Pengantar Dari Penulis

Saya dilahirkan di Guyana, Amerika Selatan pada tahun 1947 dan tinggal disana sampai saya berusia 12 tahun. Guyana pada tahun 1950-an, juga pada masa kini, sangat diwarnai oleh percampuran antara etnisitas, budaya dan agama. Ada orang-orang Muslim, Hindu dan Kristen, dan orang-orang keturunan Afrika, Asia dan Eropa sebagaimana juga para penduduk asli Amerika-Indian.

Namun kami semua hidup bersama dalam damai dan harmoni. Kami saling berbagi makanan dan turut merayakan hari raya orang yang mempunyai keyakinan lain. Tidak ada keyakinan yang berusaha untuk mempunyai dominasi religius atau politik. Tidak ada agama yang merasa terancam atau terintimidasi oleh agama lain. Tidak ada agama yang lebih diuntungkan secara legal dari agama-agama lainnya; demikian pula tidak ada agama yang kurang dihargai daripada agama-agama lainnya. Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Muslim dan mulai diajari Qur’an pada usai empat setengah tahun. Imam yang menjadi guru kami tidak mengajari kami untuk membenci atau menghina keyakinan-keyakinan lain, dan tidak mengatakan bahwa adalah kewajiban kami untuk menyerang agama lain; ia hanya mengajari kami bagaimana membaca dan melantunkan Qur’an.

Sekarang saya adalah seorang Kristen dan tinggal di tengah masyarakat plural lainnya yang diwarnai dengan keragaman budaya, etnis dan religi, yaitu Inggris Raya. Saya terkenang pada tahun 1960-an bagaimana kami para imigran sungguh-sungguh berusaha untuk berbaur dengan budaya mayoritas dan dengan sesegera mungkin menjadi orang Inggris sejati dengan segenap kemampuan kami. Saya sedih dan sekaligus was-was melihat bagaimana kesetaraan, damai dan harmoni dalam masyarakat Inggris pudar dengan cepat, dan sebab utama hal ini terjadi nampaknya adalah tingkah-laku sekelompok minoritas dalam agama Islam. Ada semacam ketakutan terhadap Islam radikal sehingga hanya sedikit orang yang berani berbicara mengenai apa yang sedang terjadi.

Mestinya tidak harus seperti ini. Saya tahu akan hal ini berdasarkan pengalaman pribadi saya. Ratusan ribu orang Guyana lainnya seusia saya memiliki kenangan yang sama. Harmoni antar agama juga eksis di tempat-tempat lain pada masa yang berbeda. Bukan hal yang mustahil bila berbagai keyakinan berbeda hidup berdampingan dalam damai, dan yang satu tidak menundukkan yang lainnya.

Penulis Muslim liberal berkebangsaan Iran, Amir Taheri, mengemukakan betapa politisasi Islam di Barat telah menjadi-jadi, hingga ke titik dimana Tuhan hampir-hampir tidak disebutkan lagi dalam khotbah-khotbah. Ia mengatakan bahwa sekitar 2000 mesjid di Inggris pada dasarnya adalah “sebuah selubung untuk pergerakan politik”, yaitu Islam Inggris telah menjadi “suatu pergerakan politik berkedok agama”. Taheri memberikan 3 alasan terjadinya hal ini. Pertama-tama, orang Muslim di Barat berasal dari beragam latar belakang. Namun disini mereka tidak mampu meneruskan pertikaian-pertikaian sektarian mereka yang telah ada sejak lama. Oleh karena itu mereka mengesampingkan isu-isu teologis dan bersatu dalam isu-isu lain seperti kebencian terhadap pernikahan sejenis atau terhadap Israel. Kedua, kebebasan Barat telah mengijinkan pergerakan-pergerakan politik Islam berkembang, pergerakan-pergerakan yang dikekang atau dilarang di banyak bagian dunia Muslim. Ketiga, ada semacam kemajuan dalam hubungan baik antara Islam Inggris dengan ekstrim Kiri, yang bekerja bersama dalam isu-isu seperti anti perang, anti Amerika dan anti Israel.[1]

Kita harus menjaga kemerdekaan kita, dan tidak menerimanya dengan percuma atau menganggap remeh. Walaupun kita mengetahui bahwa pintu-pintu gerbang neraka pada akhirnya tidak akan berhasil mengalahkan Gereja yang dibangun oleh Tuhan, ada beberapa bagian dari Gereja-Nya yang benar-benar telah terhilang atau dikalahkan di hadapan tantangan Islam. Sebagai contoh, Afrika Utara yang dahulu merupakan pusat kekristenan yang besar. Orang-orang Kristen di Victoria State – Australia dalam kepahitan menyesali sikap mereka yang tidak menentang diloloskannya Undang-undang Toleransi Religius dan Rasial pada tahun 2001 yang kini mengekang khotbah dan pengajaran mereka. “Ketika itu kami tidak terlalu memikirkannya”, kata beberapa orang diantara mereka kepada saya pada Januari 2006.

Tantangan besar lainnya yang diberikan Islam kepada Gereja adalah penanganan para petobat. Menjadi seorang Kristen adalah pengalaman yang sulit untuk saya, dengan banyak persidangan dan pengasingan yang harus saya jalani. Menjadi seorang Kristen yang berasal dari latar belakang bukan dunia Barat juga sangat sulit, mengingat saya telah menjalani hidup pada masa akhir kolonialisme dan juga telah menghadapi sikap membedakan ras yang ditunjukkan oleh komunitas Kristen kulit putih.

Saya berharap dan berdoa agar buku ini dapat menolong orang-orang Kristen di Barat dalam memikirkan isu-isu yang ada di sekitar Islam, sehingga mereka dimampukan untuk meresponi tantangan dari Islam sebelum semuanya menjadi sudah sangat terlambat.

Patrick Sookhdeo

McLean VA

29 April 2008



[1] Amir Taheri, “We don’t do God, we do Palestine and Iraq,” The Sunday Times, February 12, 2006

Pembukaan

PEMBUKAAN

Islam adalah agama dengan banyak hukum, ritual-ritual, kewajiban-kewajiban, iman, kekuasaan dan teritori. Cara seorang Muslim memandang dunia dan nilai-nilai yang dianutnya berasal dari prinsip-prinsip dasar Islam ini, sama halnya dengan cara seorang Kristen memandang dunia dan nilai-nilai yang dianut seorang Kristen juga berasal dari spiritualitas Kristen.

Buku ini bertujuan untuk menolong orang-orang Kristen di Barat untuk memahami Islam dan tantangan yang diberikan dengan adanya kebangkitan Islam di Barat terhadap Gereja dan misinya. Mengingat tantangan-tantangan ini mempengaruhi individu-individu Kristen tidak hanya sebagai orang Kristen namun juga sebagai anggota masyarakat, buku ini terutama akan terfokus pada tantangan Islam terhadap hidup, kerja dan kesaksian Tubuh Kristus.[1]

Buku ini ditulis dalam konteks Barat dimana orang-orang Kristen telah mengalami banyak kehilangan keyakinan diri, ditambah dengan kebingungan, ketidakpastian, bahkan kadangkala malu. Konteks ini adalah hasil dari sebuah proses yang nyata terbukti setelah akhir Perang Dunia Kedua, sebuah proses dimana individualisme, utilitarianisme, materialisme dan hedonisme perlahan-lahan mulai menonjol dan memberikan pengaruh. Sementara itu, kewajiban, loyalitas bahkan kekristenan itu sendiri semakin menjadi bahan olokan. Kekosongan yang ditinggalkan oleh kegagalan kekristenan pertama-tama diisi oleh humanisme sekuler, namun kemudian Islam berhasil mendapatkan banyak pengikut dari kalangan orang-orang yang menderita kelaparan rohani, yaitu mereka yang mencari-cari keyakinan apa untuk dianut.

Ada semakin banyak kelompok Islam radikal yang menyatukan kekuatan dengan pergerakan-pergerakan ateis tradisional seperti garis Kiri yang juga anti globalisasi, sentimen-sentimen anti kapitalisme dan kebencian mereka yang mendalam pada demokrasi liberal Barat. Sekutu ketiga untuk rekanan Islamis Ekstrim Kiri adalah Kristen liberal.

Pada saat yang sama ada peningkatan rasa malu di kalangan orang Barat kulit putih, terutama orang-orang Inggris, yang telah diajari untuk percaya pada keburukan Kerajaan Inggris. Mereka merasa bahwa mereka tidak dapat melakukan hal yang benar, dan percaya bahwa oleh karena “dosa-dosa” generasi terdahulu (seperti kolonialisme dan Perang Salib), mereka telah kehilangan hak bahkan untuk mengomentari budaya atau agama orang lain. Dengan demikian, dalam persiapan peringatan menjelang dua abad penghapusan perdagangan budak pada 2007 oleh Parlemen Inggris, Gereja Inggris di bawah kepemimpinan Uskup Agung Canterburry, mengeluarkan pernyataan permohonan maaf kepada keturunan para korban perdagangan budak, namun sama sekali tidak menyebutkan kemenangan abolisi.

Rasa malu yang sedemikian besar ini, dan merasa tidak pantas untuk mengkritik orang-orang bukan Barat, dapat menjadi satu alasan (hingga saat ini) mengapa hanya sedikit sekali orang Inggris yang mengkritik kelompok radikal dan aspek-aspek yang kejam dalam Islam.

Di Amerika Serikat masalahnya bukanlah rasa malu dan hilangnya keyakinan diri seperti yang terjadi di Inggris dan beberapa bagian Eropa, namun meningkatnya kepatutan politis. Multikulturalisme yang dibangun dengan kokoh menentang pengakuan atau penetapan budaya umum apapun yang terlalu erat berkaitan dengan sejarah dan nilai-nilai kelompok mayoritas, dan terutama yang berakar dalam konsep-konsep tradisional Yudeo-Kristen mengenai moralitas dan nalar. Aspek selanjutnya adalah bagaimana identitas kulit hitam yang semakin membaur dengan sejenis Islam yang baru, yang diyakini oleh banyak orang Muslim ortodoks sebagai aliran sesat, yaitu Nation of Islam (Kebangsaan Islam).

Tuduhan Islamofobia seringkali dilontarkan kepada mereka yang memperhatikan aspek-aspek Islam yang tidak sesuai dengan standar-standar modern hak azasi manusia dan sebagainya. Sangat penting untuk mengetahui perbedaan antara Islam sebagai ideologi religius dan orang-orang Muslim, yaitu mereka yang menganut Islam. Walaupun hal itu mungkin dilakukan, dan dalam situasi tertentu kita perlu memperhatikan aspek-aspek negatif suatu ideologi religius, sikap orang Kristen kepada orang Muslim sebagai sesama manusia haruslah selalu diwarnai dengan kasih, belas kasihan dan kepedulian.

Penting juga untuk menyadari bahwa semua agama, termasuk kekristenan, telah disalahgunakan oleh para penganutnya di berbagai tempat dan waktu. Kita harus mengakui bahwa kekejaman dan ketidakadilan juga telah dilakukan dalam nama Kristus, dan kita harus menghindari jurang membandingkan gagasan-gagasan indah dari suatu keyakinan dengan praktek-praktek keyakinan lain yang kurang dari sempurna.

Walaupun Islam pada dasarnya bersifat totaliter dan perbedaan pendapat jarang diijinkan, secara paradoks selalu ada banyak keragaman opini dalam Islam, dan sejumlah besar perpecahan karena tidak adanya sikap toleransi menyebabkan munculnya sekte-sekte dan kegerakan-kegerakan yang baru. Walaupun demikian, ada inti ortodoksi yang sangat mudah untuk dikenali, dan “standar” dalam Islam inilah yang akan menjadi fokus utama kita. Secara singkat kita juga akan melihat perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok besar dan tren-tren dalam Islam.

Islam mempunyai banyak sisi yang tidak sama dengan agama manapun. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara yang sakral dengan yang sekuler, atau antara spiritual dan material. Islam mencakup aspek-aspek sosial, legal, kultural, dalam hidup, bahkan aspek politik dan militer. Oleh karena itu, ada masalah serius berkenaan dengan pemahaman sehubungan dengan upaya pendekatan orang Kristen kepada Islam; banyak istilah yang identik yang digunakan kedua agama ini, memberikan kesan adanya kemiripan besar dalam proses-proses pemikiran, namun maknanya sangat jauh berbeda.

Orang-orang Kristen yang berusaha untuk melakukan dialog dengan orang Muslim harus memahami inti ortodoksi ini dan kesatuan yang terkandung di dalam agama Islam. Tahun-tahun belakangan ini kita telah menyaksikan kebangkitan pendekatan fenomenal terhadap agama-agama lain, yang berupaya mencari kesamaan antara agama-agama yang berbeda seperti orang-orang suci, tempat-tempat suci atau benda-benda suci. Pendekatan semacam ini tidak cocok dengan Islam. Fokus pada aspek-aspek fenomena religius dalam Islam yang kelihatannya biasa dalam kekristenan, tidak akan membawa kepada pemahaman yang tepat mengenai Islam. Oleh karena itu buku ini berusaha melihat Islam melalui mata seorang Muslim, yaitu melihat keseluruhannya dan bukan bagian-bagian yang terpisah. Saat menguji kemajemukan isu, setiap isu yang ada harus dipahami dalam terang keseluruhan sistem, yaitu Islam.

Kita telah menyadari pentingnya membedakan Islam sebagai agama, yang bukan hanya merupakan sebuah keyakinan namun juga yang berusaha mendapatkan kekuasaan politis dan wilayah, dengan orang-orang Muslim yang adalah penganut agama tersebut. Orang-orang Muslim sama seperti semua manusia lainnya di bumi ini, dicptakan dalam citra Tuhan. Mereka dikasihi Tuhan dan juga harus dikasihi oleh orang Kristen. Kita dipanggil untuk mengasihi musuh-musuh kita dan mendoakan orang-orang yang menganiaya kita (Matius 5:44). Tidak boleh ada tempat untuk kebencian dan ketakutan dalam hubungan kita dengan orang Muslim. Lebih jauh lagi, sebagai orang Kristen kita mempunyai mandat ilahi untuk bersaksi pada orang Muslim mengenai karya penyelamatan yang dikerjakan Tuhan kita Yesus Kristus, yang telah mati tidak hanya untuk kita tapi juga untuk mereka. Ini kita lakukan dengan kasih Kristus, seperti yang ditulis oleh Rasul Paulus, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa...satu orang sudah mati untuk semua orang” (2 Korintus 5:14). Diharapkan buku ini tidak hanya menolong untuk memahami Islam sebagai sebuah agama tapi juga bertindak sebagai ujung tombak kesaksian kita kepada orang-orang Muslim yang sangat membutuhkan Sang Juruselamat.



[1] For more information on the societal challenge which Islam poses in the West, see (1) Islam in Britain: The British Muslim Community in February 2005 A report by the Institute for the Study of Islam and Christianity (Pewsey, UK: Isaac Publishing, 2005); (2) Patrick Sookhdeo, Faith, Power and Territory: A Handbook of British Islam (McLean, VA: Isaac Publishing, 2008)

Bab 1 - Introduksi

Bab 1

Introduksi

Peristiwa tragis 11 September 2001 telah memunculkan minat yang besar terhadap Islam. Dalam kurun waktu 7 tahun sejak saat itu Islam telah menjadi topik yang sering diperdebatkan dan dianalisa di media Barat, masyarakat dan gereja. Dapat dikatakan bahwa belum pernah sebelumnya kita mempunyai begitu banyak informasi mengenai banyak hal sehubungan dengan Islam dan orang Muslim. hal ini juga ditambah dengan faktor-faktor seperti pertumbuhan kelompok minoritas Muslim di Barat, “perang terhadap terorisme” (yang sejauh ini merupakan perang terhadap terorisme Islam), penyerangan-penyerangan Amerika terhadap Afghanistan dan Irak, reaksi-reaksi komunitas Muslim di seluruh dunia, proposal program nuklir Iran, dan reaksi orang Muslim sedunia terhadap publikasi kartun-kartun Muhammad, sang nabi Islam. Semua isu ini telah menempatkan Islam pada pusat perhatian dan mendorong adanya suatu pemikiran ulang yang radikal mengenai opini Barat mengenai natur Islam.

Awalnya debat mengenai Islam terutama sekali sangat diwarnai dengan faktor-faktor seperti rasa bersalah yang timbul setelah masa kolonialisme dan simpati bagi pihak-pihak yang direndahkan, namun kini debat mengenai Islam sangat dikompori dengan teori-teori seperti pendekatan revisionis terhadap sejarah, berdasarkan tesis Samuel Huntington mengenai “pertikaian peradaban” yang tidak terelakkan (antara Islam dan Barat), dan dekonstruksionisme filsafat dan linguistik yang meniadakan semua hal yang absolut.

Hal yang menarik adalah juga terjadinya suatu perubahan yang dramatis dalam cara orang Muslim mempresentasikan keyakinan mereka kepada orang luar. Fenomena ini dimulai sebelum 11 September 2001, tetapi jumlahnya meningkat dengan sangat cepat sejak hari itu. Pendorongnya adalah hasrat untuk membela Islam dari kritik negatif apapun dan menghadirkannya sebagai sesuatu yang benar-benar positif dan mengosongkannya dari kesalahan apapun yang ada di sepanjang sejarahnya. Ini digambarkan sebagai “membungkus pikiran dengan sorban”. Pemerintah-pemerintah Muslim dengan banyaknya agensi dan institusi dan juga komunitas-komunitas Muslim mereka di Barat berketetapan agar agama mereka dipahami dan dihormati, sehingga mereka meluncurkan gerakan-gerakan besar melalui televisi, radio, suratkabar, buku-buku, artikel-artikel, internet, penceramah-penceramah dan pengajar-pengajar untuk mendidik orang-orang non Muslim. Islam tampaknya hendak memberi inspirasi literal untuk menulis ulang buku-buku teks.

Sebagai tambahan bagi upaya-upaya pemerintah-pemerintah Muslim, adalah yang dilakukan oleh pemerintah Barat, yang semakin lama semakin percaya bahwa untuk menurunkan tingkat kekerasan Islam, mereka harus menghormati agama Islam. Oleh karena itu mereka telah meluncurkan gerakan-gerakan mereka sendiri untuk mendidik publik non Muslim mengenai natur Islam. Maka Pemerintah Amerika berusaha menangkis ancaman teroris di dalam dan luar negeri dengan mempromosikan konsep bahwa pada dasarnya Islam adalah agama damai, sama seperti kekristenan, tetapi telah diserongkan dan diputarbalikkan oleh sekelompok kecil kaum ekstrimis yang kejam. Lebih jauh lagi, pemerintah Barat telah menciptakan suatu “industri” lintas agama yang di dalamnya mereka meyakini bahwa melalui hubungan-hubungan antar agama, orang Muslim akan menjadi lebih moderat, kekerasan akan ditiadakan, dan sebagai hasilnya adalah lahirnya kedamaian dan keselarasan. Lintas agama kini telah menjadi sebuah kendaraan kebijakan-kebijakan, bukan hanya untuk pemerintah Amerika Serikat namun juga untuk pemerintah-pemerintah negara lainnya.

Gereja, pertama-tama yang beraliran liberal dan kini banyak juga yang injili, telah mengikuti agenda lintas agama oleh pemerintah ini. Pada sekitar tahun 1980-an Dewan Gereja Sedunia adalah arsitek dialog antar agama dan melahirkan gerakan lintas agama yang menekankan kesamaan semua agama, namun kini semakin banyak pula kaum injili yang juga mengenakan jubah ini.

Sudah barang tentu, pemerintah, gereja dan individu-individu Kristen berhak dan melakukan tindakan yang tepat untuk mengupayakan hal yang baik bagi komunitas dan hubungan-hubungan antar agama serta mencegah timbulnya kekerasan bermotivasi religius. Namun jika pemerintah pada prakteknya menggunakan gereja sebagai alatnya untuk menyelesaikan tugas ini, dampaknya akan sangat merusak; hal ini akan mengasosiasikan kekristenan dengan kebijakan pemerintah yang akan berdampak negatif bagi kelompok-kelompok minoritas Kristen di dunia Muslim yang dianggap bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan pemerintah Barat.

Melalui keterikatan dengan orang-orang Muslim, melalui dialog-dialog antar agama, melalui dukungan bagi tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan Islam, banyak orang Kristen dari berbagai aliran yang nampaknya kini percaya bahwa mereka harus membantu merehabilitasi Islam dan menegakkannya di wilayah publik. Bersama dengan para politisi sekuler, orang-orang Kristen muncul sebagai para pembela, pelindung dan pemersatu Islam. Beberapa pihak melakukan hal ini dengan pengharapan bahwa orang Muslim akan juga menghormati orang Kristen dan mengijinkan adanya kebebasan upaya-upaya penginjilan di dalam negara mereka. Yang lain melakukannya oleh karena rasa takut, karena mereka meyakini bahwa – demikian pula orang Muslim ingin agar mereka percaya – jika kedua agama ini dalam waktu yang tidak terlalu lama akan terlibat dalam peperangan yang sangat mengerikan. Dengan demikian mereka berusaha untuk mengenyahkan perang ini dengan cara menggabungkan kekuatan dengan Islam. Sedangkan yang lain melakukannya karena mereka telah membiarkan emosi mereka mengarahkan intelektualitas dan teologi mereka; mereka telah mengeneralisir segala sesuatu hanya karena mereka mengenal individu-individu Muslim yang moderat dan cinta damai, dan mereka ingin meyakini bahwa itulah karakteristik agama tersebut secara keseluruhan. Orang-orang Kristen seperti itu mengalami kesulitan besar dalam mengkritik Islam karena kasih mereka kepada orang-orang Muslim pada umumnya atau persahabatan mereka dengan individu-individu Muslim tertentu. Sementara sudah barang tentu orang-orang Kristen dipanggil untuk mengasihi orang Muslim, mereka yang mengafirmasi dan mempromosikan Islam nampaknya tidak mampu membedakan Islam sebagai sebuah teologi dan ideologi yang pada hekekatnya berbeda dengan orang-orang Muslim itu sendiri. Orang-orang Kristen seperti itu secara tidak sadar telah merangkul keyakinan Islam saat mereka berusaha merangkul orang-orang Muslim. Sehingga kemudian ada orang-orang Kristen yang percaya bahwa gereja harus banyak belajar dari Islam. Mereka menekankan kesamaan antara Islam dan kekristenan, dan melihat karya pendamaian Kristus itu mencakup kemanusiaan seluruhnya.

Posisi sedemikian terhadap Islam telah membawa kekacauan besar, dan kekristenan kini sangat terpecah-belah. Kenyataannya, Islam telah menjadi agen perpecahan di kalangan orang Kristen baik kelompok liberal dan juga injili. Beberapa denominasi seperti Gereja Katolik Roma yang dipimpin oleh Paus Benediktus XVI dan denominasi-denominasi ortodoks tidak memberi tanggapan terhadap meningkatnya tuntutan-tuntutan Islam. Melainkan, mereka berusaha untuk mempertahankan pondasi-pondasi teologis mereka. Sedangkan kelompok Kristen Protestan, dan terutama orang-orang Kristen Injili, yang terperangkap dalam post-modernitas dan mengalami kelonggaran dasar-dasar teologis, akan melihat Islam sebagai sesuatu yang lebih pasti, berkenaan dengan daya hidup mereka. Adalah Profesor Johan Bouman dari Marburg, Jerman, yang mengobservasi bahwa Islam akan memberikan tantangan yang jauh lebih besar terhadap kekristenan pada abad ke-21, daripada yang diberikan oleh Gnostisisme kepada gereja mula-mula.

Presiden Theodore Roosevelt pernah berkata,”Jika saya harus memilih antara kebenaran dan kedamaian, saya memilih kebenaran”. Bagi orang-orang Kristen di jaman sekarang, adalah penting bahwa kita memilih kebenaran yang mencakup kebenaran dan keadilan, dan bukannya mengorbankan kedua hal ini dalam ketidakpastian pengharapan adanya damai dengan Islam. Prinsip ini berlaku bagi gereja dan juga negara, demikianlah Roosevelt menyimpulkan.

Jadi sikap apakah yang seharusnya diambil oleh gereja Kristen terhadap salah satu agama dunia yang besar ini, yang nampaknya banyak kesamaan doktrin dengan kekristenan namun jelas sangat berbeda dalam kenyataannya? Buku ini bertujuan untuk menolong orang-orang Kristen dalam menjawab pertanyaan tersebut. Pertama-tama kita akan melihat natur Islam, dan membandingkannya dengan kekristenan. Isu-isu kontemporer yang penting akan diuji secara bergantian. Setiap isu sangat penting berkenaan dengan bagaimana Islam dimanifestasikan dalam masyarakat kontemporer. Akhirnya, kita akan melihat beberapa isu praktis berkaitan dengan relasi antara Kristen dengan Muslim di Barat.

Islam kontemporer semakin fokus pada Islam klasik dan manifestasi-manifestasinya. Islam klasik diformulasikan pada beberapa abad pertama setelah masa Muhammad, dan pada abad ke-10 M, disepakati bahwa pekerjaan ini telah diselesaikan. Konsensus (dalam kelompok Islam Sunni, yang beranggotakan sekurang-kurangnya 80% orang Muslim pada masa kini) menetapkan bahwa kini tidak ada lagi perubahan yang dapat dilakukan terhadap regulasi yang telah ditetapkan oleh para sarjana Muslim mula-mula. Proses dimana perubahan semacam itu boleh terjadi disebut sebagai ijtihad dan inilah yang diklaim oleh kelompok Muslim liberal dan juga para Islamis sedang mereka lakukan dalam upaya mereka untuk mereformasi Islam dalam arah yang mereka tetapkan. Namun demikian, di antara sejumlah besar orang Muslim secara umum ada ketakutan yang besar jika melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan-peraturan tradisional, karena hal ini akan dipandang sebagai penghujatan atau murtad.

Dengan demikian, sebenarnya mustahil untuk mengubah atau mengadaptasi Islam. Akibatnya, ada konflik yang tidak terelakkan antara beberapa aspek tertentu dalam Islam dengan beberapa norma masyarakat modern. Konflik ini lebih dari sekadar sebuah pertanyaan yang mengusik mental orang per orang, karena bagian yang terpenting dalam Islam adalah menghidupi iman pribadi individu di tengah masyarakat. Iman atau keyakinan, bagi seorang Muslim, tidaklah semata-mata bersifat pribadi, namun iman memiliki implikasi-implikasi sosial, politis dan budaya. Seorang Muslim meyakini bahwa keyakinan mereka harus berdampak pada masyarakat dimana mereka tinggal dan harus berkontribusi pada karakter islami dari masyarakat tersebut. Aspek politis ini nampaknya telah menjadi fitur dominan dari Islam di Barat. Relatif hanya ada sedikit orang Muslim liberal yang berpikir untuk meninggalkan ortodoksi dengan berusaha mengadaptasi keyakinan mereka agar berintegrasi ke dalam masyarakat modern.

Almarhum Dr. Zaki Badawi, yang pernah menjadi presiden Muslim College di London, mengemukakan asumsi mendasar di dalam Islam yaitu bahwa orang Muslim harus tinggal di dalam masyarakat yang islami, sebagaimana yang diperintahkan oleh pengajaran-pengajaran Islam.

“Sejarah Islam sebagai sebuah keyakinan adalah juga sejarah suatu negara dan suatu komunitas orang-orang beriman yang hidup berdasarkan hukum Ilahi. Orang-orang Muslim, para ahli hukum dan teolog senantiasa menempatkan Islam baik sebagi sebuah pemerintahan dan suatu keyakinan. Ini merefleksikan kenyataan sejarah bahwa sejak awalnya, orang-orang Muslim hidup di bawah hukum mereka sendiri. Para teolog Muslim secara alamiah menghasilkan sebuah teologi berdasarkan pandangan ini – yaitu sebuah teologi mayoritas. Menjadi kelompok minoritas tidak pernah sungguh-sungguh dipikirkan dan direnungkan.”[1]

Badawi terus menjelaskan bahwa tidak ada konsensus di dalam Islam mengenai bagaimana orang-orang Muslim harus hidup sebagai kelompok minoritas di dalam sebuah kelompok masyarakat yang mayoritas non Muslim.

Omar Ahmed, pendiri Council on American Islamic Relations (CAIR), yang adalah kelompok “pembebasan sipil” terbesar di Amerika Serikat yang berupaya “mempromosikan citra Islam dan orang Muslim yang positif di Amerika”, meyakini bahwa Islam harus menjadi dominan di Amerika.

“Islam di Amerika tidak boleh menjadi setara dengan keyakinan manapun, namun harus menjadi dominan. Qur’an, kitab suci orang Muslim, harus menjadi otoritas tertinggi di Amerika, dan Islam adalah satu-satunya agama yang diakui di bumi”.[2]

Dengan demikian Islam harus berdampak pada masyarakat dimana Islam menemukan dirinya sendiri. Dampak ini dirasakan dalam 6 bidang utama, seperti yang dikemukakan oleh Pdt. Albert Hauser, yaitu: spiritual, teologi, misi, sosial-kemasyarakatan, politik dan keadilan.

“Islam adalah sebuah gerakan spiritual, yang di sepanjang sejarah telah berdampak besar terhadap gereja Kristen. Ada banyak tekanan dan penderitaan, oleh karena Islam memandang orang-orang Kristen telah tersesat dan oleh karena Islam menolak dan menganggap keyakinan-keyakinan mendasar kekristenan sebagai sesuatu yang sudah punah”.

Secara teologis keseluruhan konsep inkarnasi, kemenangan kematian Kristus dan karya penebusan-Nya di salib ditolak oleh Islam, demikian pula doktrin Tritunggal dalam memahami Tuhan. Salib ditutupi dan tantangan bagi gereja Kristen adalah untuk memahami dan mengakui dengan berani bahwa Yesus adalah Tuhan sejati dan manusia sejati. Oleh karena Islam percaya pada kesatuan antara yang sakral dengan yang sekuler, juga penyatuan negara dengan agama, Islam juga memberikan tantangan politik. Dalam banyak hal Islam harus dipandang sebagai sebuah ideologi yang berusaha mendapatkan kekuasaan politis. Islam tidak hanya sebuah agama seperti yang dipikirkan oleh Barat, namun juga sebuah ideologi yang mempunyai klaim total terhadap kehidupan sosial dan politik para penganutnya, diperintah oleh hukum yang bersifat ilahi, dan bukan hukum sekuler. Oleh karena hukum ilahi (Syariah) dianggap sebagai hukum yang tertinggi di atas semua hukum buatan manusia dari kelompok masyarakat sekuler, senantiasa ada kecenderungan untuk memaksakan legislasi lainnya agar bersesuaian dengan Syariah.[3]

Orang-orang Kristen Barat yang berpikir untuk bereaksi dengan sikap yang pantas, penuh kasih, alkitabiah dan menuruti teladan Kristus, di hadapan Islam dalam masyarakat mereka harus mempunyai pemahaman yang jelas mengenai natur Islam – teologi, etika, dan budayanya – sehingga dapat memilah hal-hal apa saja yang menjadi kesamaan dan apa saja yang menjadi perbedaan-perbedaan. Ini akan membantu dalam mengambil keputusan-keputusan penting berkenaan dengan pendekatan terhadap orang Muslim, dan tentu saja bagaimana merespon pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan terhadap orang-orang Kristen. Yang tidak boleh dilupakan adalah, sementara banyak orang Kristen berusaha mendekati Islam, pada saat yang sama banyak orang Muslim berupaya untuk menetralisir dan menafikan semua bentuk misi Kristen. Semakin banyak negara Muslim yang berupaya menyingkirkan semua misionaris asing dan menghentikan kegiatan-kegiatan misi. Penginjil-penginjil nasional dianiaya dan diancam, ada pula yang dibunuh. Kelompok-kelompok Islam internasional mengklaim bahwa misi dan penginjilan mendatangkan perpecahan, anti Islam dan bertanggung-jawab atas berkembangnya islamofobia, dan oleh karena itu harus dihentikan.

Lebih jauh lagi, orang-orang Muslim juga semakin aktif dalam memproselitkan mereka sendiri. Dalam kekosongan spiritual yang ada di Barat pada abad 21 yang materialistis ini, para misionaris Muslim seringkali menemukan bahwa pemberitaan atau dakwah mereka mengenai Islam mendapatkan sambutan yang baik. Mereka sangat mahir dalam mempresentasikan keyakinan mereka secara positif dan membujuk publik umum dengan mengatakan bahwa istilah-istilah seperti jihad dan Syariah benar-benar tidak mempunyai makna yang membahayakan. Mereka juga menggunakan istilah-istilah yang tidak asing seperti “kebebasan” dan “kesetaraan” dengan sangat baik, yang sesungguhnya mempunyai makna yang sangat berbeda dalam Islam, namun hal ini tidak diklarifikasi kepada para pendengar non Muslim. Mereka berupaya tidak hanya untuk mendapatkan “petobat-petobat baru” orang per orang tetapi juga mengubah cara masyarakat Kristen memandang dunia secara keseluruhan agar bersesuaian dengan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai Islam. Gereja – yang harus dapat melihat tantangan ini dengan lebih mudah daripada masyarakat pada umumnya – mempunyai peran penting untuk menjembatani jurang yang ada dan menolong masyarakat Kristen pada umumnya untuk melindungi warisan Yudeo-Kristennya dan untuk kembali mengkaitkan diri pada akar-akar spiritual dalam Alkitab yang telah lama dilupakan, yaitu akar-akar yang telah membentuk dan menuntun masyarakat Kristen sedemikian dalamnya. Di Barat, masyarakat Kristennya sangat tidak menyadari hal ini.



[1] Zaki Badawi, Islam in Britain (London: Taha Publishers, 1981) p.26

[2] Lisa gardiner, “American Muslim Leader Urges Faithful to Spread Word,” San Ramon Valley (CA) Herald, July 4, 1998

[3] Albrecht Hauser, unpublished lecture, January 23, 2006